Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berduit, Bergengsi, Berbahaya

Indonesia jadi tuan rumah konferensi internasional tentang limbah berbahaya. Di dalam negeri, pemerintah kedodoran mengawasinya.

23 Juni 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kampung Sempu, Desa Pasir Gembong, Bekasi, dua tahun lalu dikunjungi suatu aroma yang tak terlupakan. Bau yang menyengat tersebut begitu menekan hingga salah satu war­ganya, Budi Susanto, masih belum bisa melupakan peristiwa yang terjadi Selasa pagi, 13 Juni itu. ”Kepala pusing, perut mual-mual, dan tenggorokan ke­ring,” ujarnya. Ketika dia sadar, Budi sudah berada di rumah sakit bersama 90 tetangganya, termasuk anaknya, Nur Afifah, 21 tahun.

Rupanya, warga kampung yang berada di belakang kawasan industri Jababeka itu keracunan massal. Penyebabnya adalah limbah bahan berbahaya dan beracun, yang dibuang oleh PT Dongwoo Environmental Indonesia di Kampung Sempu. Ambulans hilir-mudik mengangkut penduduk yang pingsan ke Rumah Sakit Cikarang. Warga desa yang selamat kemudian diungsikan ke luar kampung.

Dongwoo, yang mengantongi izin dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup untuk mengolah limbah cair di Jababeka, membuang begitu saja sampah berbahaya itu. Selama setahun, limbah tersebut digelontorkan ke empang. ”Kami pernah memprotes tapi tidak dapat tanggapan dari pemerintah dan perusahaan,” kata Budi.

Baru setelah korban berjatuhan dan media massa meributkannya, pemerintah turun tangan. Polisi menetapkan enam pemimpin PT Dongwoo sebagai tersangka, termasuk tiga warga Korea Selatan pemilik perusahaan, yakni Kim Young-woo beserta anaknya, Kim Byung-seok, dan supervisor Lim Jong-su. Pengadilan Negeri Bekasi masih menyidangkan kasus ini.

Kasus Kampung Sempu ini bukan satu-satunya. Lihat saja, hampir tidak ada sungai yang selamat dari pencemaran. Itu karena rendahnya kesadar­an pengusaha mengolah limbahnya. Limbah sektor industri pertambangan, energi dan migas, misalnya, hanya lima persen dari 64,4 juta ton yang dikelola dengan baik. Di sektor manufaktur berskala besar dan sedang, hanya sekitar 800 dari 20 ribuan industri yang me­ngelola limbah dengan benar. Sisanya, ”Banyak yang dibuang sembarangan,” kata Syarif Hidayat, Manajer Teknik PT Prasadha Pamunah Limbah Industri, perusahaan pengelola limbah.

Banyaknya perusahaan yang belum mengelola limbahnya dengan benar membuat investor tertarik terjun ke bisnis pengolahan sampah pabrik ini. Menurut Deputi Menteri Bidang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun Kementerian Lingkungan Hidup Ya­nuardi Rasudin, sejak tiga tahun lalu sejumlah perusahaan mengajukan izin ke kantornya. ”Limbah berbahaya kini jadi komoditas ekonomi dan rebutan banyak pihak,” ujarnya. Oli bekas, misalnya, bisa didaur ulang kembali. Begitu juga minyak kotor dan aki bekas. Industri semen memburu limbah berbahaya untuk bahan bakar.

Sepanjang 2005-2007, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar menandatangani 511 surat izin pengolahan limbah. Sebagian besar per­usahaan yang memperoleh izin itu ada di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Di sisi lain, sepanjang 2007, Yanuardi sebagai deputi menteri mengeluarkan 515 surat tidak keberatan pengelolaan limbah. Dari jumlah ini, 318 untuk kegiatan penyimpanan, 39 untuk penyimpanan dan pengumpulan, lalu 41 untuk pengolahan, serta sisanya untuk kegiatan pemanfaatan limbah berbahaya.

Menurut Yanuardi, surat tidak keberatan bisa disamakan dengan resi atau surat sementara sebelum izin resmi dikeluarkan Menteri Lingkungan Hidup. Tapi keluarnya banyak surat itu di­protes sejumlah daerah, di antaranya Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bekasi, karena pihak di da­erah sama sekali tidak pernah diajak bicara. ”Padahal, kalau ada warga protes karena pence­maran, mereka datang ke kami,” kata Kepala Dinas Bambang ­Sulaksana.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup, menurut Bambang, seharusnya meminta masukan terlebih dulu dari ­kabupaten atau kota yang lebih tahu permasalahan di daerah. Pendapat senada juga diungkapkan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kota Batam Dendi Purwono. Pusat, kata dia, seyogianya meminta rekomendasi terlebih dulu sebelum mengeluarkan izin. ”Jangan sampai izin yang keluar tidak sesuai dengan kondisi di lapangan,” ujarnya.

Sayangnya, keluarnya banyak izin itu tidak dibarengi dengan pengawasan yang memadai. Itu sebabnya, muncul kasus Dongwoo, yang baru ditangani setelah jatuh banyak korban.

Lemahnya kontrol dalam pengeluaran surat izin juga terlihat pada protes dari PT Pelabuhan Indonesia II Cabang Tanjung Priok. Perusahaan ini tidak terima karena pada 11 Maret 2008, Yanuardi Rasudin mengeluarkan surat tidak keberatan kepada PT Gamter Jaya untuk mengangkut limbah berbahaya. Pasalnya, Gamter mengakui kapal tongkang BPP-105, yang digunakan mengangkut barang, sebagai miliknya untuk bisa mendapatkan izin. ”Kapal ini milik perusahaan kami,” kata Cipto Pramono, General Manager Cabang Pelabuhan Tanjung Priok.

Frederik, pemilik Gamter Jaya, mengakui pihaknya mencantumkan tongkang BPP-105 dalam permohonan izin. Perusahaan lain, dikatakannya, juga menggunakan tongkang itu. ”Yang penting sudah bayar sewanya,” ujarnya. Yanuardi pada 23 Mei lalu merevisi surat tersebut dengan menyebut bahwa tongkang BPP-105 milik PT Pelindo II Tanjung Priok. Menurut dia, kasus ini cuma berebut bisnis sesama perusahaan.

Di tengah masih karut-­marutnya manajemen pengolahan limbah, Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Antarbangsa tentang Pengelolaan Limbah di Bali pada 23-27 Juni 2008. Wakil dari 170 negara penanda tangan Konvensi Basel, yang mengatur perpindahan limbah berbahaya lintas negara, akan hadir.

Pada pertemuan kali ini, ada empat agenda besar yang dibahas seribu peserta. ”Yakni bongkar-muat limbah berbahaya, limbah elektronik, limbah telepon seluler, dan limbah komputer bekas,” kata Emma Rachmawati, Asisten Deputi Urusan Pengelolaan Bahan Berbahaya, Manufaktur, dan Agrobis­nis Kementerian Lingkungan Hidup. Bagi Indonesia, kata dia, Konvensi Basel sangat penting karena melindungi masyarakat dan lingkungan dari limbah beracun yang diselundupkan pengusaha asing.

Mungkin begitu. Tapi sebenarnya, masalah yang juga perlu mendapat perhatian adalah pencemaran oleh pabrik-pabrik di dalam negeri. Kasus Dongwoo, misalnya, masih belum selesai. Perusahaan pengolah ini memang sudah menghentikan operasinya. Hanya tiga anggota satuan pengamanan yang ada di kantor perusahaan ini di kawasan industri Jababeka, Selasa pekan lalu.

Padahal mereka masih mempunyai kewajiban membersihkan sisa limbah, yang sudah mengotori ribuan ton tanah di Kampung Sempu. Pemerintah terkesan mengalah dan tidak mempunyai daya untuk memaksa perusahaan Korea itu membereskannya. ”PT Dongwoo tidak punya uang lagi untuk mengangkut sisa limbah itu,” Yanuardi berkilah.

Peristiwa tragis di Sempu, yang sudah lewat dua tahun, masih membuat warga kampung menderita. Sisa limbah kimia dan logam berat mengandung gas berbahaya, seperti amonia (NH3), hidrogen sulfida (H2S), dan metana (CH4), masih bertebaran di lahan dan empang seluas 14 hektare. Bau seperti pestisida masih tercium. Masyarakat pun tidak bisa lagi mengkonsumsi air sumur, sehingga mereka terpaksa mengeluarkan dana tambahan untuk berlangganan air minum.

Untung Widyanto, Hamluddin (Bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus