Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEBAT Aisah Amini dengan Luhut Pangaribuan di SCTV, siang, 30 Januari 1999, tentang rencana pemerintah memindahkan Xanana Gusmao dari LP Cipinang ke LP cabang khusus, sangat menarik. Ketua Komisi I DPR dan anggota Komnas HAM ini menggunakan logika kolonialis ketika menyikapi maksud pemerintah. Sebab, argumentasi yang disampaikannya mengingatkan kita pada sikap Belanda ketika menghadapi pejuang kemerdekaan Indonesia.
Pertama, ketika ia menyebut Xanana Gusmao sebagai narapidana kriminal, alasannya adalah karena Xanana membunuh tentara Indonesia serta melakukan perusakan. Dia lupa bahwa pejuang kita melakukan hal serupa ketika menghadapi Belanda. Kedua, Aisah menolak pernyataan bahwa kemerdekaan Timor Timur hanya pengakuan sepihak, belum mewadahi seluruh aspirasi masyarakat. Alasannya, pernyataan kemerdekaan tidak harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Tim-Tim. Analogi yang digunakan adalah pernyataan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya dilakukan oleh dua orang. Tampaknya, beliau alpa, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan setelah ada proses panjang dari pemimpin-pemimpin pergerakan ketika itu yang akhirnya dihimpun di BPUPKI. Proses panjang itu setidaknya diawali pada 1908, kemudian mulai menemukan bentuknya yang agak konkret pada 1928 dengan lahirnya Sumpah Pemuda.
Pemimpin-pemimpin saat itu dipercaya rakyat sebagai penyambung lidahnya, sehingga, ketika kemerdekaan dinyatakan, mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Kenyataan itu tidak dapat dimungkiri. Kalaupun ada pernik-pernik pemberontakan di beberapa wilayah Indonesia, umumnya itu karena mereka tidak puas dengan kebijakan pemerintah, bukan semata-mata ingin memisahkan diri dari Indonesia, kecuali dr. Sumokil dengan Republik Maluku Selatan-nya itu. Tentu hal itu sangat berbeda dengan kondisi Timor Timur saat ini.
Kita belum tahu persis bagaimana kemauan masyarakat sana sebenarnya. Memaksakan kehendak kita sama saja dengan sikap Belanda ketika memaksakan mendirikan Republik Indonesia Serikat yang tak bertahan lama. Kita akan dapat memahami aspirasi rakyat Timor Timur dengan mempertajam empati kita. Upaya nyatanya adalah dengan mempersilakannya melakukan referendum yang akan dihormati semua pihak. Juga bagi pejuang kemerdekaan Timor Timur, meski misalnya ternyata sebagian besar rakyat menghendaki tetap bergabung dengan Indonesia.
Akhirnya, marilah kita menumbuhkembangkan rasa empati kita agar segala perbedaan pendapat dengan arif diselesaikan tanpa kekuatan senjata.
Moeljadi Hd.
Jalan Taman Brotojoyo 4-B/34
Pondok Indraprasta, Semarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo