Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika bersekolah di SMP di Kota Pati, Jawa Tengah, saya mempunyai teman bernama Berliki, asal Timor Timur. Dia yatim piatu. Kedua orang tuanya korban penembakan ABRI. Sejak saat itu, dia dipungut anak oleh anggota Polisi Militer dan diboyong ke Pati. Anak ini pendiam dan penyayang. Dari dialah saya untuk pertama kalinya berempati tentang Tim-Tim. Kini, kabarnya, dia menjadi petinju di Sasana Arseto.
Saya mengenal Kompleks Seroja di Kelurahan Harapan Jaya, Bekasi, pada 1990. Saya terkejut saat menyaksikan penghuni perumahan itu--belakangan baru saya tahu berasal dari nama operasi militer "Seroja"--anggota tubuhnya tidak ada yang lengkap, bukan karena cacat bawaan.
Kemudian, pada 1994, ketika kuliah di kawasan Lentengagung, saya mengenal anak muda beranama Safio, asal Tim-Tim. Perkenalan ini berlanjut menjadi persahabatan. Sembari kuliah, Safio bekerja menjadi reporter kantor berita Reuters di Jakarta. Ia cerdas jika beragumentasi. Bahasanya campuran Indonesia-Inggris.
Kami sering berdiskusi dengannya soal Tim-Tim sambil makan cemilan pisang goreng. Dari dia saya tahu, bagi orang Tim-Tim, pisang itu makanan pembuka, bukan penutup. Sambil bercanda, dia bilang, itulah bedanya orang Tim-Tim dengan orang Jawa.
Saya kaget ketika Safio mengajak ke rumahnya di Kompleks Kopassus, Cijantung. Rumah itu bertingkat dua, dijaga dua anjing herder, ditempati empat orang. Di antaranya seorang perempuan dan anggota Taruna Akmil. Para penghuni itu anak yatim piatu dari Tim-Tim, yang orang tuanya mati ditembak Kopassus. Atas kebaikan anggota Kopassus lainnya, mereka dapat menghuni rumah dinas anggota Kopassus.
Kini saya kehilangan Safio. Konon, dia mendapat ancaman dan harus meninggalkan Indonesia akibat kegiatannya melompati pagar di Kedutaan Besar Belanda dan Rusia pada 1995.
Ilustrasi di atas menunjukkan, kejadian di Tim-Tim sudah sedemikian rupa menjadi ingatan kolektif tidak saja buat orang Tim-Tim, tapi juga buat bangsa Indonesia. Kebaikan Polisi Militer atau Kopassus tetap tidak dapat menghilangkan ingatan yang mengendap dan dendam karena orang tua mereka dibunuh.
Peradaban mana pun tidak menghendaki penghilangan nyawa manusia secara paksa. Negara di sini menjadi alat legitimasi sekelompok masyarakat yang diberi privilese dan dibenarkan menghilangkan nyawa dengan paksa. Kalau sekelompok masyarakat lain yang tidak punya privilese melakukan pembunuhan, dikatakan kriminal. Maka di sini negara telah mengingkari fungsinya dan berubah menjadi makhluk yang mengancam jiwa setiap warganya.
Keputusan politis pemerintah memberikan dua opsi kepada Tim-Tim, yakni otonomi khusus atau dilepas dari Indonesia, menggambarkan konsistensi perjuangan akan membuahkan hasil, seperti optimisme Xanana.
Tidak ada pihak mana pun yang bisa menjamin keutuhan negara ini. Dan keutuhan bangsa bukan prioritas utama. Keutuhan dan persatuan nasional hanyalah ideologi elite politik yang dicekokkan kepada kaum akar rumput. Sebab rakyat tidak butuh persatuan. Perbedaan adalah sesuatu yang natural. Seni mengelola perbedaan inilah yang tidak kita punyai. Bukan persatuan yang kita perlukan. Maka sosok NKRI juga tidak harus ajek seperti tergambar di peta saat ini. Dia senantiasa berubah dengan evolusi berpikir manusia.
E. Pudjiachirusanto
Bekasi
(Alamat lengkap pada Redaksi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo