Kendala utama bagi masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah yang tinggal di pinggiran kota, adalah alat transportasi pengganti becak. Upaya yang dilakukan Pemda DKI Jakarta selama ini belum memadai. Akibatnya tumbuh menjamur apa yang disebut "morli", akronim dari motor liar yang lazim disebut ojek. Kehadiran ojek ini sebetulnya cukup membantu. Tapi ada kendalanya, antara lain, daya angkutnya terbatas, ongkosnya tidak seragam, dan kurang aman. Bajaj adalah alternatif yang ditawarkan untuk menggantikan becak. Namun, ongkosnya relatif tinggi untuk jarak tempuh yang relatif pendek. Ini tentu saja sangat memberatkan sebagian masyarakat. Apalagi bila dibandingkan dengan ketika becak masih beroperasi. Untuk beberapa lokasi memang ada bemo yang menyusuri rute tertentu secara reguler dengan ongkos relatif murah: Rp 200 sampai Rp 300. Tarif ini rasanya cukup ideal. Tapi, sayangnya, keberadaan kendaraan ini sangat terbatas, di samping usianya cukup tua. Berdasarkan beberapa catatan di atas, saya mengusulkan kepada Pemda DKI Jakarta dan instansi yang berwenang agar segera mengadakan "modifikasi" Bajaj, sehingga dapat ditumpangi secara kolektif (maksimal empat orang) dengan rute tertentu dan ongkosnya murah seperti bemo. Menetapkan rute janganlah kaku, sehingga tidak menutup kemungkinan bagi masyarakat untuk menggunakan Bajaj tersebut secara perseorangan atau borongan di luar rute yang sudah ditentukan. CHAERUL AMRI R. Kramatjati 40 Jakarta 13510
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini