Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Politik Keluarga

Arsip 4 Oktober 1987.

5 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Anak dan Saudara dalam Pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Nepotisme dilakukan oleh elite PPP dengan mencalonkan anak dan saudara kandung.

  • PPP disebut akan menjadi partai politik keluarga.

  • Kontroversi serupa terjadi di partai lain.

PRESIDEN Joko Widodo dianggap hendak membangun dinasti politik lewat pencalonan anak dan menantunya dalam pemilihan kepala daerah 2020. Bobby Nasution, menantunya, diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dalam pilkada di Medan sebagai calon wali kota. Bobby dipasangkan dengan Aulia Rachman, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Medan dari Partai Gerakan Indonesia Raya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasangan ini diusung oleh koalisi partai politik, yakni PDIP, Gerindra, Partai Golkar, Partai NasDem, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Hanura. Sementara itu, di Solo, Jawa Tengah, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, akan bertarung dalam pemilihan wali kota. Gibran berpasangan dengan Teguh Prakosa sebagai calon wakil wali kota. Keduanya mendapat surat rekomendasi dari PDIP pada Jumat, 17 Agustus 2020. Pasangan ini didukung oleh koalisi gemuk Gerindra, Golkar, PAN, dan Partai Solidaritas Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pencalonan anak, menantu, dan kerabat keluarga untuk mengisi jabatan tertentu bukan baru ini saja terjadi di Indonesia. Konteksnya pun tak melulu mengincar posisi kepala daerah. Pada masa pencalonan anggota DPR untuk Pemilihan Umum 1987, misalnya, isu nepotisme berembus kencang karena dianggap menjadi parasit demokrasi. Tempo menggambarkan situasi ini dalam laporan berjudul “Dari Anak Naro hingga Anak Bung, yang terbit pada 4 Oktober 1987.

Menteri Dalam Negeri saat itu, Soepardjo Rustam, menerima daftar calon anggota DPRD yang berisi 2.216 nama. Padahal kursi yang tersedia di DPR hanya 400. Di antara nama-nama itu, mengemuka nama yang merupakan anak, saudara kandung, menantu, dan kerabat dekat lain. Yang paling kentara adalah calon-calon dari PPP yang diusung oleh H.J. Naro.

Naro tak malu-malu mengusung anaknya, Hussein Naro, sebagai calon jadi dari Jawa Barat. Ia juga mengusung adiknya, Wibowo Naro, dari Sumatera Barat; dan Yulinar Naro, adiknya juga, dari DKI Jakarta. Karena hal ini, Naro diberi julukan Ampi, yang berarti anak, menantu, dan pamili. Naro dituduh melakukan praktik nepotisme tanpa tedeng aling-aling karena memasukkan nama-nama itu tanpa mempedulikan aspirasi partai di cabang ataupun wilayah.

Nepotisme ini dilakukan Naro di tengah-tengah konfliknya dengan Soebardji di tubuh PPP. Buntut konflik tersebut, ia menghapus nama-nama “musuh”-nya dari kubu Soebardji, yaitu Syarifuddin Harahap, Nuddin Lubis, dan Soebardji sendiri. Ketiga nama tersebut merupakan inkumben, pemenang Pemilu 1982, dalam pertarungan di Sumatera Utara. “PPP akan menjadi partai keluarga,” kata Ali Imron Kadir, politikus PPP.

Soebardji meradang atas keputusan Naro ini. Menurut dia, yang merupakan ketua fraksi, kelompok Naro selama ini tidak aktif sebagai anggota DPR. Ia mengatakan tahu benar siapa saja yang aktif dalam penyusunan undang-undang dan siapa saja yang hanya menjadi loyalis Naro tanpa berkontribusi. “Mereka tidak ikut membuat puluhan undang-undang tapi malah mereka yang diterima Depdagri, ini kan aneh,” ujarnya.

Sementara itu, politikus Senayan yang lain, Ridwan Saidi, mengatakan tipis peluang PPP untuk menang besar dalam pemilu nanti. Syahwat politik Naro ia tuding sebagai penyebabnya. “Pencalonan itu harus disusun dengan taktik. Jika mengutamakan taktik, ia harus bersedia mengorbankan kepentingan pribadinya,” katanya. Tapi nyatanya Naro terjebak dalam pusaran nepotisme yang akan ikut menenggelamkan partai. “Naro akan jatuh,” ujarnya.

Kontroversi juga muncul di tubuh Partai Demokrasi Indonesia karena adanya pencalonan anak-anak Bung Karno. Guruh Sukarno muncul sebagai calon dari DKI Jakarta, Megawati dari Jawa Tengah. Di Golkar, regenerasi dari anak-anak pejabat juga terjadi. Salah satu yang paling kentara adalah munculnya Dewi Ria Nasution, yang baru berusia 24 tahun, anak Gubernur Sumatera Utara Kaharuddin Nasution.

Menurut Ridwan, regenerasi “karbitan” ini tak sehat. Sebab, regenerasi yang dilakukan sekarang bersandar pada reproduksi biologis, bukan sebagai hasil persaingan kemampuan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus