Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SECARA hukum, tak ada yang salah dengan politik dinasti. Undang-Undang Pemilihan Umum tak melarang seorang kerabat pejabat negara mencalonkan diri sebagai kandidat gubernur, bupati, atau wali kota. Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan bahwa larangan bagi kerabat elite politik untuk maju dalam pemilihan kepala daerah bertentangan dengan konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yang dilanggar dalam praktik politik dinasti adalah etika publik. Dengan akses terhadap kekuasaan, seorang kerabat pejabat memiliki privilese untuk dapat memenangi pemilihan dibandingkan dengan kandidat lain. Sang pejabat, misalnya, dapat membuat program untuk memenangkan kerabatnya. Seorang pejabat dapat pula memobilisasi aparatur negara di bawahnya guna membantu pemenangan anggota keluarga yang berlaga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik dinasti juga memperkecil kemungkinan kandidat di luar kelompok atau keluarganya masuk ke lingkar kekuasaan. Ditambah koneksi yang kuat dengan partai politik, politik kekerabatan ini menjadikan lingkup rekrutmen politik menjadi terbatas. Di sisi lain, penguasaan struktur partai oleh elite politik ini pada akhirnya membuat partai seperti kartel yang serba tertutup.
Dari 1.000 lebih kandidat yang bakal bertarung di 270 daerah dalam pemilihan kepala daerah pada 9 Desember 2020, setidaknya 124 calon terindikasi merupakan kerabat elite politik. Yang sudah ramai dibicarakan adalah anak dan mantu Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming yang akan berlaga di Solo dan Bobby Nasution di Medan. Ada pula anak Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Siti Nur Azizah, yang maju sebagai calon Wali Kota Tangerang Selatan. Di daerah ini, keponakan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo, juga menjadi kontestan. Tiga kerabat dari tiga menteri lain di pemerintahan Jokowi juga ikut bertanding di daerah lain.
Membiarkan anak, mantu, dan kerabatnya maju dalam pilkada, para pejabat sesungguhnya tengah membiarkan pertarungan berpotensi tidak adil. Tentu sang pejabat bisa membantah tudingan bahwa ia telah menggunakan kekuasaan untuk membela kerabat yang bertarung. Jikapun benar ia tidak melakukannya, tak ada yang bisa menjamin aparatur negara di bawah pejabat tersebut bisa bersikap adil.
Tengoklah yang terjadi di Solo dan Medan. Memang belum ada bukti Jokowi memerintahkan anak buahnya untuk memenangkan kedua kandidat. Tapi, di lapangan, banyak aparatur negara bergerak. Di Solo, staf Jokowi dikabarkan turut membantu Gibran. Sedangkan di Medan, ada lurah yang mengarahkan warganya untuk memilih Bobby. Lurah itu bergerak karena diperintahkan camat dan personel kepolisian daerah. Polisi juga diduga menggalang dukungan dari sejumlah kelompok masyarakat untuk mendukung Bobby.
Peraturan yang mengharuskan aparat netral bukan tidak ada. Tapi simbiosis aparat dengan para politikus membuat aturan yang terang-benderang tersebut menjadi macan kertas. Para politikus terus memelihara budaya patrimonial ala Orde Baru: mengkooptasi aparatur untuk memenangi pemilihan kepala daerah.
Kondisi ini diperburuk oleh budaya “asal bapak senang”. Aparatur kerap menyediakan dirinya untuk dimanfaatkan elite politik karena menganggap hal tersebut akan menguntungkan kariernya. Dua sisi hubungan politikus dan aparat inilah yang mendorong demokrasi masuk jurang.
Sejumlah studi menunjukkan dampak buruk politik kekerabatan ini. Di Indonesia, seperti temuan Setyaningrum dan Saragih (2019), politik dinasti berdampak pada buruknya kinerja pemerintah daerah. Politik dinasti cenderung menghasilkan kebijakan yang menguntungkan segelintir orang. Di Filipina dan Jepang, politik kekerabatan menyebabkan kemiskinan meningkat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo