Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN segera berganti. Luka dalam setiap sendi kehidupan akibat pandemi Covid-19 mungkin belum akan mengering setahun ke depan. Ketika ekonomi 2021 diprediksi mulai menggeliat, ada pertanyaan terpenting yang mendesak dijawab: bagaimana agar ekonomi tetap tumbuh dalam jangka panjang tanpa memicu wabah serupa di masa depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tahu wabah Covid-19 dipicu virus SARS-CoV-2 yang berasal dari kelelawar hutan. Ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa kekeliruan praktik ekonomi masa kini bisa berbalik mematikan umat manusia. Hasrat memupuk kemakmuran sebesar-besarnya, dengan pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam secara agresif, terus menggerus habitat satwa liar. Praktik ini yang membuka lebar-lebar pintu penularan virus dari hewan ke manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan 700-an ribu virus pada mamalia dan burung yang berpotensi menjadi infeksi baru manusia, para ilmuwan penyakit zoonosis memperingatkan bahwa pandemi tahun ini bisa jadi bukan pukulan balik terakhir yang mematikan. Sebelum ada pandemi baru pun alam akan memukul lebih cepat dengan berbagai bencana lingkungan jika manusia tak mengerem laju kegiatan ekonomi yang merusak bumi.
Maka, jelas, pandemi yang melahirkan krisis kesehatan masyarakat dan resesi ekonomi sejagat kali ini semestinya menjadi momentum memperbaiki masa depan dunia. Kita membutuhkan politik-ekonomi baru yang lebih berdamai dengan bumi. Dalam bahasa Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, semua negara perlu mengatur ulang ekonominya dengan mempertimbangkan aksi-aksi pro-iklim. Berbicara dalam forum World Conference of Speakers of Parliament pada 19 Agustus lalu, Guterres berseru, tidak ada yang lebih penting dilakukan sekarang ini selain menangani krisis iklim seiring dengan mengatasi Covid-19.
Indonesia semestinya bisa menjadi aktor utama untuk mewujudkan visi itu. Hutan hujan tropis di negeri ini adalah yang terbesar ketiga di dunia. Dua pertiga wilayahnya juga berupa lautan yang mahakaya. Dengan meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016, Indonesia sebenarnya sudah mengayunkan langkah menuju ke sana. Sejumlah proyek dan pendanaan hijau telah bergulir untuk memenuhi komitmen Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara swadaya hingga 41 persen dengan bantuan internasional pada 2030.
Namun, belakangan, visi pemerintah untuk menepati janji itu kian buram. Alih-alih mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan, kebijakan pemerintah kian kencang melangkah mundur ke zaman batu. Kita makin kecanduan mengeksploitasi sumber daya alam yang tak tergantikan. Presiden Joko Widodo tampaknya terjebak pada teori-teori pengembangan ekonomi yang usang.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada awal Oktober lalu adalah indikasi kekeliruan arah yang dipilih pemerintah. Undang-undang sapu jagat alias omnibus law ini memudahkan konversi hutan untuk kepentingan industrialisasi. Insentif yang lebih besar justru mengalir ke pengusaha pertambangan. Sedangkan berbagai kewajiban lingkungan yang sebelumnya kudu dipenuhi pelaku usaha justru dihapuskan. Pasal-pasal yang mengancam hutan itu jelas mengabaikan fakta bahwa deforestasi adalah penyumbang utama kerusakan bumi ini.
Tendensi serupa tampak dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang diteken Jokowi pada 17 November lalu. Proyek-proyek utama yang telah diseleksi sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah tersebut didominasi oleh program-program berbasis lahan yang mengancam lingkungan hidup. Program ketenagalistrikan, misalnya, masih mengandalkan pembangunan pembangkit listrik batu bara, yang kini makin ditinggalkan banyak negara di dunia.
Presiden Joko Widodo harus menghentikan langkahnya yang terus menggeber pembangunan tanpa memperhatikan keseimbangan terhadap alam. Di masa pandemi ini, pemerintah perlu memberi porsi lebih besar terhadap prinsip ekonomi hijau. Program pemulihan ekonomi nasional yang akan berlanjut tahun depan seharusnya dirancang sejalan dengan misi pembangunan rendah karbon. Langkah ini telah dilakukan Selandia Baru, Singapura, India, Malaysia, Korea Selatan, Cina, dan Australia. Negara-negara itu menjadikan belanja penanganan dampak Covid-19 sebagai investasi negara ke proyek-proyek infrastruktur ramah lingkungan.
Jokowi mesti ingat, janjinya mengurangi emisi gas rumah kaca pada 2030 bukan semata-mata untuk rakyat Indonesia, tapi buat seluruh umat manusia. Dia berutang kepada generasi masa depan yang juga berhak hidup di bumi yang sehat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo