Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setujukah Anda dengan alasan pemerintah memblokir media sosial dan aplikasi pesan, seperti Telegram, untuk mencegah terorisme?
|
||
Ya | ||
44,9% | 500 | |
Tidak Tahu | ||
9,4% | 104 | |
Tidak | ||
45,7% | 509 | |
Total | (100%) | 1.113 |
Maraknya aksi terorisme yang menggunakan aplikasi media sosial sebagai sarana komunikasi memaksa pemerintah mengambil tindakan drastis. Dua pekan lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokir layanan Telegram versi web. Ada 11 domain name server yang ditutup, antara lain t.me, telegram.me, dan telegram.org. Langkah itu diambil karena Telegram tak menyediakan prosedur operasi standar untuk penanganan terorisme. Sudah lama beredar informasi bahwa aplikasi Telegram menjadi pilihan favorit kelompok radikal pelaku teror. Sekadar informasi, di Rusia, pelaku pengeboman di stasiun metro Saint Petersburg, 3 April 2017, juga menggunakan aplikasi Telegram. Tak mau kecolongan, polisi bahkan mengancam akan menutup semua layanan media sosial-selain Telegram-yang tak mau bekerja sama mengantisipasi terorisme. Pasalnya, setelah Telegram ditutup, besar kemungkinan kelompok teroris akan beralih menggunakan layanan pengiriman pesan lain. Karena itu, Kepolisian RI akan memperketat pemantauan terhadap aktivitas Internet, terutama yang mengandung konten radikalisme. "Kami akan memonitor akun radikal bersama lintas sektoral," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul kepada Tempo, Selasa pekan lalu. Martinus menjelaskan, jika ada akun media sosial atau aplikasi pesan yang terbukti berkonten radikal, polisi akan meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika memblokirnya. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani Pangerapan meminta semua penyedia aplikasi bekerja sama dengan pemerintah dalam mencegah radikalisme dan terorisme di Indonesia. "Intinya, bagaimana kita bisa mempersempit ruang gerak mereka," ujarnya. Saat ini, menurut Semuel, pemerintah sudah bekerja sama dengan WhatsApp dan Facebook. Ketika pemerintah atau masyarakat menemukan konten radikal yang belum diblokir oleh penyedia layanan, pemerintah bisa segera berkoordinasi dengan kedua pihak tersebut untuk menutup atau memblokirnya. Semuel menjelaskan, Kementerian juga akan memperkuat tim pengawasan yang selama ini bertugas memantau konten-konten yang beredar di Internet. Selama ini tim khusus tersebut aktif memantau konten bermuatan radikal, pornografi, dan terorisme. Langkah kontroversial pemerintah ini memicu respons pro dan kontra di publik. Ada yang menilai pemblokiran aplikasi saja tidak cukup. Praktisi media sosial, Nukman Luthfie, menilai pemblokiran Telegram berbasis web merupakan langkah percuma jika tanpa diiringi dengan edukasi masyarakat. Masyarakat, menurut dia, perlu dibekali pengetahuan agar tidak gampang terbujuk konten provokatif. Selain itu, penegakan hukum penting dilakukan untuk menghentikan terorisme. "Kalau ada teroris, ya, kejar terorisnya," kata Nukman saat dihubungi pada Senin pekan lalu. "Kejar tikusnya, bukan membakar ladangnya." Pendapat Nukman disetujui banyak orang. Namun hasil jajak pendapat di Tempo.co pekan lalu menunjukkan publik sebenarnya terbelah. Separuh responden tidak setuju pemblokiran media sosial ataupun aplikasi pesan seperti Telegram dilakukan dengan alasan mencegah terorisme. Separuh lainnya menilai tak ada masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 22 Juli 2017 PODCAST REKOMENDASI TEMPO surat-pembaca surat-dari-redaksi angka kutipan-dan-album kartun etalase event Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |