Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kecelakaan Sriwijaya itu menambah daftar panjang kecelakaan pesawat di Indonesia.
Dalam lima tahun terakhir, empat kecelakaan pesawat terjadi termasuk pesawat Lion Air yang membawa 189 penumpang jatuh di Laut Jawa pada Oktober 2018.
Dua dekade lalu kecelakaan menimpa pesawat CN 235 buatan IPTN
PESAWAT Sriwijaya Air SJ 182 rute Jakarta-Pontianak jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu, 9 Januari lalu. Jatuhnya pesawat Boeing 737-500 yang berusia 26 tahun itu mengakibatkan 62 orang meninggal, terdiri atas 6 kru, 46 penumpang dewasa, 7 anak-anak, dan 3 bayi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jatuhnya pesawat Sriwijaya itu menambah panjang daftar kecelakaan pesawat di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, empat kecelakaan pesawat terjadi, termasuk jatuhnya pesawat Lion Air yang membawa 189 penumpang di Laut Jawa pada Oktober 2018. Hampir dua dekade lalu, kecelakaan serupa terjadi. Kali ini menimpa pesawat CN 235 buatan Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN). Kecelakaan itu diulas oleh majalah Tempo edisi 31 Oktober 1992 dalam artikel berjudul "Musibah Terbang Rendah".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“MERPATI five six zero one. We are from Semarang." Sapaan itu mengalir lewat gelombang radio dari balik kokpit pesawat CN 235 Merpati Mz 5601 ke menara di Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, pukul 13.35, Ahad pekan sebelumnya. Dalam kontak radio itu, Pilot Fierda Basaria Panggabean, 29 tahun, mengabarkan pesawatnya berada di atas Cirebon pada ketinggian 12.500 kaki (4.144 meter).
Trangadi, nama pesawat Merpati itu, siap mendarat di Bandung 21 menit kemudian. Cuaca Bandung ketika itu kurang bersahabat. Sumardi, petugas di APP (Approach Control Office) Husein Sastranegara, mengabarkan kepada Pilot Fierda bahwa hujan turun disertai guntur. Awan yang bergelantungan, kendati tak terlalu tebal, membuat pandangan visual hanya menjangkau jarak 4-5 km. “Maintain one two five,” Sumardi berpesan agar Fierda mempertahankan ketinggian pesawatnya di 12.500 kaki.
Bagi pilot dengan pengalaman 6.000 jam terbang seperti Fierda, cuaca Bandung saat itu boleh jadi tak terlalu mencemaskan. Maka, dengan sepengetahuan APP di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, Fierda menurunkan Trangadi sampai 8.500 kaki (2.833 meter). Dia mengabarkan manuver itu ke Bandung pada pukul 13.40 dan memutuskan melakukan pendaratan dengan visual approach, mengandalkan pandangan mata. Sumardi menyilakan Fierda membuka kontak kembali setelah Trangadi melihat ujung landasan Bandara Husein. Namun kontak itu tak pernah terjadi.
Trangadi tak pernah mencapai Bandung. Pesawat CN 235 nahas itu mengakhiri perjalanan secara tragis di Gunung Puntang pada ketinggian 2.040 meter, sekitar 60 kilometer arah tenggara Bandung. Tubuh pesawat hancur berkeping-keping, hangus terbakar. Hidung pesawat menancap ke tebing, menghadap selatan. Agaknya pada detik-detik terakhir Trangadi masih mencoba menghindari tebing dengan mengangkat tubuhnya. Seisi pesawat, 27 penumpang dan empat awak, tewas.
Jenazah Fierda ditemukan tim Search and Rescue dengan tubuh hangus, kedua tangannya masih memegang tangkai kemudi pesawat. Meka Fitriyani, 9 tahun, tewas dalam dekapan ibunya. Seorang penumpang terlempar 20 meter dari pesawat akibat benturan keras. Dia hanya beruntung lolos dari api, tapi tak luput dari renggutan maut. Akibat musibah ini Wilson Panggabean, 54 tahun, seperti tersengat derita ganda. Dia sedih kehilangan anak sulungnya, Fierda, dan menghadapi tuduhan bahwa musibah itu terjadi akibat kesalahan pilot. “Mengapa anak saya harus dikambinghitamkan?” ujarnya.
Bagi Wilson, tak adil menjatuhkan vonis sebelum ada analisis terhadap kotak hitam. Mudah ditebak kekesalan Wilson itu dialamatkan kepada Menteri Riset dan Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie yang juga Direktur Utama IPTN, produsen CN 235. Dua hari setelah musibah, Habibie mengatakan kepada pers bahwa Trangadi, yang baru punya 2.000 jam terbang, dalam kondisi bagus, siap terbang.
Habibie justru mempertanyakan keputusan pilot yang dianggapnya terburu-buru menurunkan ketinggian pesawat. Kesimpulannya: Fierda menyalahi prosedur yang baku.
Karena kesimpulan itu Wilson berniat menggugat Direktur Utama IPTN lewat pengacara Yan Apul. “Saya bersedia membantu. Alasannya, pembuat pesawat itu menuding pilot yang salah dan mengatakan pesawatnya tahan hujan, petir, dan lain-lain,” kata Yan Apul.
https://majalah.tempo.co/edisi/1214/1992-10-31
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo