Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEMULAI program vaksinasi jelas bukan kemenangan yang harus dirayakan. Upaya menciptakan kekebalan komunal ini justru baru langkah awal untuk menghentikan pandemi Covid-19, yang sudah berkecamuk hampir setahun. Pemerintah sepatutnya mengurangi seremonial yang tak perlu dan berfokus memastikan vaksinasi massal berlangsung dengan lancar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Program vaksinasi Covid-19 dimulai pada Rabu, 13 Januari lalu, dengan penyuntikan vaksin Sinovac kepada Presiden Joko Widodo. Prosesi di Istana Negara ini kemudian diikuti acara serupa untuk gubernur, bupati, dan wali kota. Acara-acara itu dirancang tak ubahnya perayaan yang sangat mungkin menciptakan rasa aman palsu di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak kedatangan vaksin dari Cina pada Desember 2020, pemerintah memang memperlakukannya bak dewa penyelamat. Upacara-upacara penyambutan digelar. Distribusi vaksin ke berbagai daerah dari laboratorium Bio Farma di Bandung diawali dengan kibaran bendera dan letusan konfeti.
Padahal, saat selebrasi itu berlangsung, vaksin Sinovac belum mendapatkan izin penggunaan untuk kondisi darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Lembaga itu baru memberi lampu hijau, pekan lalu, setelah jadwal vaksinasi pertama untuk Presiden diumumkan. Beberapa hari sebelumnya, Majelis Ulama Indonesia lebih dulu menyatakan vaksin Sinovac halal.
Gegap gempita perayaan vaksinasi ini juga tak tepat karena kontras dengan situasi genting di masyarakat. Penularan kini meluas tak terkendali. Kasus aktif terus meningkat seusai libur Natal dan tahun baru lalu. Rumah sakit di berbagai kota kehabisan ruang perawatan. Tenaga kesehatan kewalahan. Angka kematian harian juga menanjak. Pemerintah bahkan membatasi pergerakan masyarakat di Jawa dan Bali pada 11-25 Januari 2021.
Bisa jadi pemerintah menjadikan aneka seremoni itu sebagai cara membujuk masyarakat agar bersedia divaksin. Belakangan, memang santer terdengar penolakan dari sebagian kelompok masyarakat. Mereka ragu terhadap kemanjuran dan keamanan vaksin Sinovac. Skeptisisme semacam itu tentu tak bisa dijawab dengan menghadirkan selebritas semacam Raffi Ahmad dan Ariel “Noah”.
Sebaliknya, mengancam mereka yang menolak vaksin dengan pidana juga tak bakal efektif. Pernyataan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward O.S. Hiariej soal penolak vaksin yang bisa dituntut pidana karena melanggar Undang-Undang Kekarantinaan justru kontraproduktif. Pendekatan legal formal semacam itu bisa memicu antipati dan penolakan.
Publik seharusnya diyakinkan dengan penjelasan yang transparan dan didukung data yang kredibel. Hanya dengan cara itu kepercayaan publik akan terbangun dan semua orang sukarela divaksin. Sosialisasi vaksinasi yang hati-hati dan simpatik perlu dirancang dengan saksama.
Keraguan sebagian masyarakat atas kualitas vaksin Sinovac yang digunakan pada fase awal vaksinasi ini memang banyak dipicu kesimpangsiuran. Sejumlah misinformasi beredar di khalayak ramai menyambut pengumuman efikasi Sinovac yang 65,3 persen. Meski di atas standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), nilai efikasi itu memang di bawah sejumlah merek vaksin lain. Untuk itu, BPOM harus aktif menjelaskan prosedur penerbitan izin darurat dan segala pertimbangannya. Jangan sampai ada dugaan izin BPOM terbit karena jadwal vaksinasi Jokowi sudah diumumkan.
Pemerintah juga harus telaten menjelaskan ihwal ketersediaan vaksin. Indonesia membutuhkan sedikitnya 360 juta dosis vaksin, untuk dua kali penyuntikan bagi 180 juta orang. Jumlah penerima vaksin itu merupakan dua pertiga dari total jumlah penduduk minimal yang diperlukan guna menciptakan kekebalan komunal. Agar tak ada keraguan, kontrak pengadaan seluruh kebutuhan vaksin Indonesia dan klausul-klausulnya perlu diumumkan secara terbuka. Apalagi jika ada permintaan yang menimbulkan tanda tanya, seperti jaminan bebas dari gugatan hukum.
Pertanyaan besar lain yang perlu dijawab pemerintah adalah jaminan kelancaran distribusi vaksin sampai titik-titik terpencil negeri ini. Tanpa ketersediaan infrastruktur pendingin yang memadai untuk menjaga suhu vaksin, program ini bisa berantakan. Tak ada salahnya pemerintah menggandeng perusahaan swasta yang punya kapasitas dan infrastruktur yang diperlukan demi kelancaran distribusi. Model pelibatan swasta yang pas tentu perlu dirumuskan dengan mempertimbangkan kepentingan publik.
Keberhasilan program vaksinasi massal Covid-19 akan membawa kita maju selangkah dalam perang besar mengakhiri pandemi. Taruhannya terlalu besar jika program ini gagal mencapai target. Membangun kepercayaan publik adalah kunci agar ikhtiar ini disokong secara meluas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo