Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat kriminalitas di Jakarta selama beberapa bulan terakhir cenderung meningkat sekitar 10 persen
Tingkat kejahatan di Jakarta pernah meningkat pesat pada 1974 hingga meresahkan warga
Kepala Staf Kopkamtib Laksamana Sudomo pernah memerintahkan aparat keamanan menembak para pelaku kejahatan
POLISI menangkap John Refra alias John Kei beserta anak buahnya pada Ahad malam, 21 Juni lalu. John diduga terlibat penganiayaan dan penembakan di Kota Tangerang, Banten, pada Ahad siang. Pada hari yang sama, Yustus Corwing Rahakbau, 46 tahun, tewas setelah dikeroyok sejumlah orang bersenjata tajam di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan catatan Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, tingkat kriminalitas di Jakarta beberapa bulan terakhir meningkat sekitar 10 persen. Majalah Tempo edisi 12 Desember 1974 pernah menulis berita bertajuk “Di Sela-sela Kejahatan di Jakarta” yang mengulas maraknya kejahatan di Ibu Kota.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tingkat kejahatan di Jakarta berada pada titik yang mengkhawatirkan. Para bandit kerap beraksi di jalanan Ibu Kota, bahkan di sekitar Monumen Nasional atau Monas di jantung Jakarta. Sekitar lapangan Monas memang pernah dinyatakan sebagai daerah rawan. Setaraf dengan Pasar Senen ketika masih seram, atau di bawah jembatan Semanggi sebelum berlampu dan memiliki pos keamanan.
Sewaktu becak belum dilarang berkeliaran, hampir tak ada rasa aman bagi penumpang kalau si abang membawanya lewat sekitar kaki tugu Monas meski saat siang. Apalagi ketika malam dan pagi gelap. Tiba-tiba, entah dari mana munculnya, dua atau tiga orang bisa saja menghadang dan mengancam menggunakan pisau belati. Kadang-kadang juga besi dingin, sebuah pistol, menempel di jidat calon korban.
Perkelahian antargangster juga kerap terjadi. Salah satunya kerusuhan di restoran Niagara pada akhir Oktober 1974. Sebanyak tiga pegawai restoran terluka tembak akibat kerusuhan yang dilatarbelakangi persaingan antara kelompok Legos dan Sartana itu.
Kejahatan juga kerap terjadi di bus kota. Para penumpang kerap menjadi korban pencopetan atau penjambretan. Saking maraknya jambret dan copet, Jaksa Agung Ali Said menduga bahwa kejahatan di atas kendaraan umum di Ibu Kota dilatarbelakangi tujuan politik. Fakta apa yang mendorong sinyalemen Jaksa Agung ini tidak dijelaskan lebih jauh. “Ini baru sinyalemen,” ujar Kepala Humas Kejaksaan Agung M.A. Tomasouw.
Kondisi Pelabuhan Tanjung Priok lebih parah. Gudang-gudang di sana kerap dibobol. Para bandit juga kerap mencegat dan merampok truk pengangkut hasil pembongkaran kapal. Bersamaan dengan itu, di tempat-tempat hiburan rakyat yang murah, seperti tempat joget massal di Taman Ria, kerap terjadi peristiwa berdarah.
Tidak hanya terjadi di luar, kejahatan juga mengincar warga saat di rumah. Pada awal November 1974, Siswoyo, pegawai Departemen Pertahanan dan Keamanan, dianiaya empat pemuda tak dikenal. Sebelumnya, Harjono, 38 tahun, Wakil Direktur Sandra Tex, kedapatan meninggal di rumahnya akibat penganiayaan dengan pacul.
Kerawanan itu membuat warga Jakarta resah. “Seolah-olah tak ada lagi tempat yang aman di Ibu Kota ini,” ujar Bismar Siregar, ketua pengadilan Jakarta. Menurut Bismar, jumlah kasus kriminal yang disidangkan di pengadilan terus meningkat.
Kepala Staf Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Laksamana Sudomo ikut geram. Ia lantas meminta aparat keamanan meningkatkan patroli serta menembak pelaku kejahatan. Dari perintah tembak di tempat itulah Komando Daerah Militer V/Jayakarta membentuk pasukan antibandit bernama Tumpas Bandit atau Tuba. Pasukan ini dipersenjatai pistol mitraliur M-10 yang dilengkapi peredam suara.
Menurut Kepala Dinas Penerangan Kodam Letnan Kolonel Anas Malik, senjata itu digunakan hanya jika penjahat melawan dan tidak bisa dilumpuhkan dengan ilmu karate. “Lebih banyak mengharapkan ketakutan bandit akan ancaman M-10 daripada akibat peluru mitraliur itu sendiri,” ujarnya.
Sudomo juga memerintahkan aparat keamanan menggelar razia senjata api dan senjata tajam. Sedikitnya 616 pucuk senjata api disita dan 1.020 tersangka ditahan. Sedangkan pembersihan di bus kota telah berhasil menjaring 128 pencopet.
Komando Daerah Kepolisian Metro Jaya ikut meningkatkan kesiagaan patroli dengan satuan Samapta Bhayangkara. Untuk lebih dekat dengan kepentingan warga kota, patroli ini menggunakan sepeda. Banyak untungnya patroli bersepeda ini. Di samping aparat dapat putar kayuh mengelilingi pelosok kampung, warga juga cukup melambaikan tangan bila memerlukan bantuan pengamanan.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 12 Desember 1974. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo