Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Cara Pengecut Berangus Kebebasan

Meretas dan meneror masyarakat sipil merupakan tindakan pengecut. Kebebasan sipil bukanlah semata persoalan hak publik untuk didengarkan, tapi juga kebutuhan negara untuk “diluruskan”.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Cara Pengecut Berangus Kebebasan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERETASAN telepon seluler, akun media sosial, serta akses layanan digital lain tampaknya kini menjadi modus baru memberangus kebebasan menyampaikan pendapat pada periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Intensitas gangguan terhadap mereka yang bersuara kritis kepada pemerintah terus bertambah belakangan ini, mengindikasikan ada upaya sistematis untuk membungkam mereka yang berseberangan dengan penguasa.

Pada September 2019, telepon seluler sejumlah aktivis di Yogyakarta dibajak untuk mengacaukan koordinasi saat mereka akan menggelar demonstrasi anti-pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi. Delapan bulan kemudian, telepon seluler panitia dan pembicara diskusi Universitas Gajah Mada tentang pemakzulan presiden juga dibobol. Selain dibanjiri pesan teror, telepon mereka dipakai untuk memesan makanan dari aplikasi online dalam jumlah besar. Cerita yang sama dialami mahasiswa Lampung yang menggelar diskusi tentang rasisme di Papua pada awal Juni lalu.

Tanpa data yang memadai, memang tak mudah menuduh pemerintah berada di belakang aksi pemberangusan itu—meski indikasi ke sana bukan tak ada. Dalam setiap insiden peretasan, misalnya, selalu ada upaya intimidasi, kriminalisasi, dan pengawasan oleh mereka yang mengklaim diri sebagai aparat negara atau terkait dengannya.

Sudah seharusnya pemerintah turun tangan dan tak membiarkan gangguan semacam ini terus terjadi. Konstitusi jelas menyebutkan kewajiban negara menjaga keamanan warganya—tak peduli mereka mendukung kebijakan pemerintah atau mengkritiknya.

Sayangnya, sampai saat ini, pemerintah terkesan lepas tangan. Alih-alih melaknat teror, sejumlah pejabat pemerintah malah meminta korban “jangan cengeng”. Pernyataan yang terkesan meremehkan dampak serangan digital di era serba online ini serempak memenuhi percakapan publik tak lama setelah kasus intimidasi merebak. Seolah-olah bersimpati kepada korban, mereka sesungguhnya sedang menimpakan tangga kepada korban yang sudah jatuh.

Alasannya sederhana. Mengecam teror dan menganjurkan keberanian melawan teror adalah dua sikap berbeda. Menolak melakukan yang pertama tapi mengadvokasi yang kedua tak hanya bisa dipersepsikan sebagai sikap cuci tangan, tapi juga terkesan menutup mata terhadap potensi dampak lebih besar yang bisa terjadi. Dengan kata lain, ketika Presiden Jokowi tak segera mengecam teror ini, tapi mereka yang berada di sekitarnya justru meminta korban tak gentar melawan, sikap Presiden itu sendiri merupakan bentuk kekerasan lain kepada korban.

Membandingkan teror di masa Orde Baru dengan era sekarang juga tak tepat. Mereka yang menepuk dada pernah melawan teror Soeharto tapi membiarkan teror terjadi di era Jokowi adalah mereka yang mendua. Pendapat seorang pejabat publik bahwa teror ini bisa dilakukan oknum aparat negara untuk kepentingan persaingan politik antar-pejabat tak kalah menggelikan. Dalam hal yang terakhir ini, jika benar, kapasitas Presiden mengelola konflik di dalam pemerintahan layak dipertanyakan.

Situasi ini makin parah karena aparat penegak hukum terkesan ogah-ogahan menelusuri kasus peretasan aktivis masyarakat sipil. Tak ada pengaduan korban yang ditindaklanjuti hingga penetapan tersangka pelaku. Polisi seolah-olah tak berdaya mengungkap dalang misterius di balik aksi pengecut pembungkaman suara-suara kritis ini.

Presiden Jokowi semestinya menyadari pentingnya kebebasan masyarakat sipil dalam demokrasi. Kebebasan bukanlah aksesori yang menempel, melainkan demokrasi itu sendiri. Ia bukan semata persoalan hak publik untuk didengarkan, tapi juga kebutuhan negara untuk “diluruskan”.

Kebebasan publik mengasumsikan ada gerowong dalam kebijakan negara—betapapun kebijakan itu disusun secara saksama dengan melibatkan lembaga-lembaga demokrasi. Ruang kosong itulah yang harus diisi, dibahas, dan diperdebatkan lewat diskusi publik masyarakat sipil. Memberangus kebebasan publik merupakan laku lajak yang menganggap semua kebijakan pemerintah sudah sempurna hingga tak perlu lagi kritik.

Menutup mata terhadap peretasan, teror, dan pemberangusan merupakan kombinasi sikap pengecut dan antidemokrasi. Memang, operasi anonim meretas dan meneror membuat pelaku menjadi subyek yang samar. Karena itu, Presiden mesti memerintahkan polisi mengusut dan menemukan pelaku. Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat meminta operator telepon seluler melacak identitas eksekutor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membiarkan kasus teror terkatung-katung hanya akan memperkuat keyakinan orang ramai bahwa pemerintah mengetahui dan diam-diam mensponsori operasi terkutuk tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus