DI Kalimantan ada juga cerita sejenis Malin Kundang - pemuda
yang dikutuk ibunya kemudian menjelma jadi batu - seperti di
pantai Sumatera Barat. Cuma nama dan jalan cerita agak berbeda.
Seorang ibu bernama Diang Ingsun mempunyai anak lelaki bernama
Raden Penganten. Si anak durhaka kemudian dikutuk oleh sang ibu
dan kapal serta isinya kemudian menjadi batu.
Batu besar yang kemudian menjadi sebagian dari pebukitan di desa
Pagat, hingga kini ramai dikunjungi orang. Terutama di hari-hari
libur, banyak orang bersampan ke seberangnya, di mana tepian
dari sungai Benawa banyak dihiasai oleh batu-batu besar, air
sejuk dan bersih yang menetes di sela-selanya, pohon rimbun dan
tentu saja, tempat yang romantis.
Sungai Benawa yang mengalir di desa Pagat terletak di kabupaten
Hulu Sungai Tengah, 170 km dari Banjarmasin. Di situ ada pula
kota kecil bernama Barabai. Tidak ada hiburan lain, juga tidak
memiliki Bina Ria atau Taman Ria seperti di Jakarta, bagian
sungai Benawa yang mempunyai batu besar selalu jadi sasaran
tempat rekreasi. Dan sungai ini ternyata juga jadi perhatian
penduduk sekitar seperti Banjarmasin, Martapura dan Banjarbaru.
Gawi
Ini sudah berlangsung tiga tahun lamanya, biarpun prasarana
rekreasi cuma apa adanya. Tidak ada restoran besar, yang ada
cuma wiraswasta kecil berdagang makanan sederhana di atas
tampah. Apalagi motel, masih jauh dari rencana, biarpun Pagat di
tepi sungai Benawa telah banyak menjadi saksi cinta antara
muda-mudi.
Di musim kemarau, air sungai yang lebar ini biasanya surut. Batu
besar kian menonjol ke langit dan biasanya untuk sampai ke
seberang langsung saja tanpa alat apapun. Air akan menyapu tubuh
sampai ke pinggang. Kalau tak mau basah, ada cara lain. Baderi
dan kawan-kawan, siap untuk mengantar anda sampai ke seberang.
"Gawi (kerja, Red.) mengaut batu sungai dirasakan berat," ujar
Baderi. Kemudian dia pindah profesi: membawa penumpang ke sisi
lain dari Benawa dengan rakitnya.
Dan gawi Baderi ini berguna bagi semua orang, karena di musim
penghujan pun orang bisa menyeberang sungai untuk kemudian duduk
di atas batu-batu besar. Tadinya, Baderi dan rakitnya memuat
batu kali yang diangkutnya hilir mudik. Tidak jelas apakah ada
pungli juga dalam angkutan rakit ini. Tapi sekali mengangkut
batu, Baderi atau kawannya mendapat imbalan Rp 400.
Ketika rakitnya dibersihkan, dilampiri lapik dan diberinya
bangku panjang hingga bisa muat 5 orang penumpang, pendapatan
Baderi jadi menanjak. Rata-rata Baderi kini bisa mengantongi
uang sejumlah Rp 1.000 sampai Rp 2.000 kalau lagi mujur - di
hari-hari Minggu. "Kalau hari lebaran bisa mencapai Rp. 7.000,"
ujar Baderi.
Tapi pekerjaan dengan penghasilan yang lebih lumayan ini juga
harus diimbali oleh ketekunan yang lebih keras. Sementara
penumpang enak-enak duduk di rakitnya, Baderi harus
berbasah-basah menuntun rakit ke seberang yang lain. Jika
penumpang biasanya berbaju apik dan bersih. Baderi siap dengan
baju kerjanya yang tidak bisa terhindar dari basah. Rakit
dituntun dengan tali pendek ke seberang lain, kalau musim
kemarau. Di musim hujan atau air sedang pasang, dia harus
menggunakan galah dan berkawan dengan batu-batu besar sebagai
tumpuan galahnya.
Merasa diinginkah dia berendam seharian? "Ini sudah menjadi
darah daging kami," ujar Baderi, sehingga dia tidak merasakannya
lagi. Dan air cukup deras, karena di hulu sungai, penuh dengan
riam. Mereka tidak menentukan tarif. Senyum besar akan mengulum
di bibirnya kalau ada penumpang yang memberinya uang ratusan.
"Misalnya, itu orang Cina dari Banjarmasin," kata Basri, teman
Baderi. Tidak jarang pula, yang tidak memberi apa-apa dengan
alasan tidak ada uang kecil. Orang pelit macam begini, memang
tidak bisa digugat-gugatnya.
Baderi dan Basri serta kawan-kawannya yang lain, hidup jadi satu
dengan sungai Benawa. Sehingga mereka tahu betul, kapan sungai
itu akan memuntahkan airnya secara berlebihan. Yaitu kalau
timbul buih-buih putih di permukaannya berarti akan ada banjir
riam. Baderi dkk biasanya lantas berteriak pada pengunjung untuk
naik di tempat yang lebih tinggi lagi.
Sungai Benawa bisa menyabet apa saja yang ada di tubuhnya kalau
airnya sedang pasang. Tidak diketahui, apakah selama ini Benawa
seganas sungai Citarum di Jawa Barat. Yang pasti, ia adalah
kawan akrab dari kawanan Baderi. Sebab, "saya pernah menemukan
gelang dan rantai emas, ketika mengangkut batu. Entah milik
siapa, tapi saya anggap sebagai barang tambang," kata Basri. Di
saat sungai sepi oleh pengunjung, Baderi dan kawan-kawan kembali
lagi ke pekerjaannya semula. Angkut batu. Kata Baderi bagaikan
menyesali nasibnya: "Habis, biar sedikit dan berat, perut 'kan
tak pernah istirahat." Matanya kemudian dia layangkan ke
batu-batu bisu yang besar. Dari sanalah anak isterinya selalu
menunggu membawa hasil upahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini