Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Baderi di benawa, di atas batu baderi di benawa, di atas batu

Sungai benawa yang mengalir di desa pagat kabupaten hulu sungai tengah banjarmasin sebagai tempat rekreasi. bagian yang mempunyai batu besar merupakan legenda malin kundang versi kalimantan. (ils)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Kalimantan ada juga cerita sejenis Malin Kundang - pemuda yang dikutuk ibunya kemudian menjelma jadi batu - seperti di pantai Sumatera Barat. Cuma nama dan jalan cerita agak berbeda. Seorang ibu bernama Diang Ingsun mempunyai anak lelaki bernama Raden Penganten. Si anak durhaka kemudian dikutuk oleh sang ibu dan kapal serta isinya kemudian menjadi batu. Batu besar yang kemudian menjadi sebagian dari pebukitan di desa Pagat, hingga kini ramai dikunjungi orang. Terutama di hari-hari libur, banyak orang bersampan ke seberangnya, di mana tepian dari sungai Benawa banyak dihiasai oleh batu-batu besar, air sejuk dan bersih yang menetes di sela-selanya, pohon rimbun dan tentu saja, tempat yang romantis. Sungai Benawa yang mengalir di desa Pagat terletak di kabupaten Hulu Sungai Tengah, 170 km dari Banjarmasin. Di situ ada pula kota kecil bernama Barabai. Tidak ada hiburan lain, juga tidak memiliki Bina Ria atau Taman Ria seperti di Jakarta, bagian sungai Benawa yang mempunyai batu besar selalu jadi sasaran tempat rekreasi. Dan sungai ini ternyata juga jadi perhatian penduduk sekitar seperti Banjarmasin, Martapura dan Banjarbaru. Gawi Ini sudah berlangsung tiga tahun lamanya, biarpun prasarana rekreasi cuma apa adanya. Tidak ada restoran besar, yang ada cuma wiraswasta kecil berdagang makanan sederhana di atas tampah. Apalagi motel, masih jauh dari rencana, biarpun Pagat di tepi sungai Benawa telah banyak menjadi saksi cinta antara muda-mudi. Di musim kemarau, air sungai yang lebar ini biasanya surut. Batu besar kian menonjol ke langit dan biasanya untuk sampai ke seberang langsung saja tanpa alat apapun. Air akan menyapu tubuh sampai ke pinggang. Kalau tak mau basah, ada cara lain. Baderi dan kawan-kawan, siap untuk mengantar anda sampai ke seberang. "Gawi (kerja, Red.) mengaut batu sungai dirasakan berat," ujar Baderi. Kemudian dia pindah profesi: membawa penumpang ke sisi lain dari Benawa dengan rakitnya. Dan gawi Baderi ini berguna bagi semua orang, karena di musim penghujan pun orang bisa menyeberang sungai untuk kemudian duduk di atas batu-batu besar. Tadinya, Baderi dan rakitnya memuat batu kali yang diangkutnya hilir mudik. Tidak jelas apakah ada pungli juga dalam angkutan rakit ini. Tapi sekali mengangkut batu, Baderi atau kawannya mendapat imbalan Rp 400. Ketika rakitnya dibersihkan, dilampiri lapik dan diberinya bangku panjang hingga bisa muat 5 orang penumpang, pendapatan Baderi jadi menanjak. Rata-rata Baderi kini bisa mengantongi uang sejumlah Rp 1.000 sampai Rp 2.000 kalau lagi mujur - di hari-hari Minggu. "Kalau hari lebaran bisa mencapai Rp. 7.000," ujar Baderi. Tapi pekerjaan dengan penghasilan yang lebih lumayan ini juga harus diimbali oleh ketekunan yang lebih keras. Sementara penumpang enak-enak duduk di rakitnya, Baderi harus berbasah-basah menuntun rakit ke seberang yang lain. Jika penumpang biasanya berbaju apik dan bersih. Baderi siap dengan baju kerjanya yang tidak bisa terhindar dari basah. Rakit dituntun dengan tali pendek ke seberang lain, kalau musim kemarau. Di musim hujan atau air sedang pasang, dia harus menggunakan galah dan berkawan dengan batu-batu besar sebagai tumpuan galahnya. Merasa diinginkah dia berendam seharian? "Ini sudah menjadi darah daging kami," ujar Baderi, sehingga dia tidak merasakannya lagi. Dan air cukup deras, karena di hulu sungai, penuh dengan riam. Mereka tidak menentukan tarif. Senyum besar akan mengulum di bibirnya kalau ada penumpang yang memberinya uang ratusan. "Misalnya, itu orang Cina dari Banjarmasin," kata Basri, teman Baderi. Tidak jarang pula, yang tidak memberi apa-apa dengan alasan tidak ada uang kecil. Orang pelit macam begini, memang tidak bisa digugat-gugatnya. Baderi dan Basri serta kawan-kawannya yang lain, hidup jadi satu dengan sungai Benawa. Sehingga mereka tahu betul, kapan sungai itu akan memuntahkan airnya secara berlebihan. Yaitu kalau timbul buih-buih putih di permukaannya berarti akan ada banjir riam. Baderi dkk biasanya lantas berteriak pada pengunjung untuk naik di tempat yang lebih tinggi lagi. Sungai Benawa bisa menyabet apa saja yang ada di tubuhnya kalau airnya sedang pasang. Tidak diketahui, apakah selama ini Benawa seganas sungai Citarum di Jawa Barat. Yang pasti, ia adalah kawan akrab dari kawanan Baderi. Sebab, "saya pernah menemukan gelang dan rantai emas, ketika mengangkut batu. Entah milik siapa, tapi saya anggap sebagai barang tambang," kata Basri. Di saat sungai sepi oleh pengunjung, Baderi dan kawan-kawan kembali lagi ke pekerjaannya semula. Angkut batu. Kata Baderi bagaikan menyesali nasibnya: "Habis, biar sedikit dan berat, perut 'kan tak pernah istirahat." Matanya kemudian dia layangkan ke batu-batu bisu yang besar. Dari sanalah anak isterinya selalu menunggu membawa hasil upahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus