Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Lempad, cokot, nyana

Lukisan lempad, 4 patung cokot dan 5 patung ida bagus nyana dapat disaksikan pada pameran di balai seni rupa jakarta. ketiganya pernah mendapat anuge rahseni dari pemerintah. (sr)

13 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG mengherankan, sementara orang bilang mutu seni rupa Bali merosot, masih muncul nama-nama seperti Cokot, Lempad dan Nyana. Mungkin disebabkan karena seni ukir, lukis, patung, merupakan kemahiran yang katakanlah merata. Tak mengnerankan pembuatan barang tersebut lebih menampakkan usaha kerajinan: yang penting kwantitas. untuk melayani arus pembeli yang kadang seleranya memang ngawur. Di Balai Senirupa Jakarta, bulan lalu ini dapat disaksikan beberapa lukisan Lempad (117 tahun), 4 patung Cokot (1886 - 1971) dan 5 patung Ida Bagus Nyana (70 tanun). Ketiganya pernah mendapat penghargaan anugerah seni dari pemerintah. Memang, sementara baran kesenian di pulau itu makin ngebet disodorkan ke mulut turis sebagai barang suvenir, masih ada beberapa pribadi yang dapat diandalkan. Jadi katakanlah harapan masih tetap ada. Cokotisme Cokot, yang terus mengetukkan palunya sampai ekat ajal -- waktu lututnya sudah tidak mungkin dibengkokkan lagi -- hanya diwakili 4 karya. Mungkin karena Cokot memang tidak terlalu banyak mencipta -- juga sulit untuk mencarinya sekarang. Karya-karyanya yang berukuran kecil dan primitif mungkin sudah tidak istimewa lagi. Ia bertolak dari watak kayu lalu meneruskannya dengan imajinasi yang liar -- sehingga penuh dengan bentuk-bentuk, terutama "mata-mata" yang mendelik. Sumbangan Cokot telah memberi nafas baru kepada dunia seni tiga dimensi di Bali, yang semula hampir bergeser mengejar bentuk-bentuk naturalis. Dilanjutkan oleh ke-5 orang puteranya yang meneruskan 'cokotisme' itu. Mereka menjamah akar-akar kayu yang lebih besar. Menambah detil dan lebih menyempurnakan teknik. Adakalanya menjadi sangat atraktif karena sibuk dengan ornamen. Sehingga kalau dibanding Cokot, mereka selalu tampak kurang gempal. Hanya Nongos, sering meneruskan jiwa Cokot yang magis dan primitif, misalnya dengan karya-karya bernama Orang Adu Ayam, Harimau Noleh. Sedang Made Kanten - cucu Cokot dengan patung Buaya Tarung -- hanya sempat menampilkan sesuatu yang ruwet dan ekspresif. I Gusti Nyoman Lempad, berbeda dengan Cokot yang begitu bebas dan liar, muncul dengan garis-garis yang amat puitis. Orang tua ini adalah gabungan antara kesederhanaan dan perasaan yang sangat peka pada kehidupan. Ia sangat cermat, pas, dan melantunkan filsafat hidupnya yang polos dalam setiap lukisan. Terutama pada lukisan tinta. Pada Barong, satu-satunya yang memakai warna dalam pameran, memang tidak nampak kekuatannya yang utama. Tetapi pada Tepel kayu atau Topeng yang dikerjakannya tahun 1930, Lempad menunjukkan kemahiran pertukangan, penjiwaan serta kehalusan yang bukan main. Hasil-hasilnya terasa aristokrat - barangkali karena lingkungan hidupnya amat dekat dengan pergaulan istana Sukawati. Dari tangan orang tua ini pula kita bisa merasakan sesuatu yang religius. Demikianlah dalam pameran tampak lukisan-lukisan ilustratif tentang Sutasoma (10 buah) dan Jaya prana (11 buah). Lempad menguasai proporsi dan anatomi. Kalau lukisan ali tradisionil, kadang agak pendek-pendek, Lempad menunjukkan tubuh-tubuh dengan ruas panjang. Gerak-gerak yang ditangkapnya sangat ritmis. Yang mengherankan adalah, dia mencoba juga melukiskan pikiran seorang Sutasoma (Buddha) tatkala mendengar cerita ayahnya bahwa hidup tidak kekal. Lempad, dari sesuatu yang ramah menembus alam pikiran dan menampilkan sesuatu yang barangkali oleh orang sekarang dinamakan "surealis". Ia berbeda dengan surealisme Cokot yang getir, keras dan penuh pergulatan hidup. Lempad menahan diri tapi kontemplatif. Kemudian Ida Bagus Nyana, yang kita kenal sebagai pencipa bentuk lelaki buncit meminkan suling itu (sekarang menjadi salah satu bentuk klasik di Bali) diwakili oleh 4 karyanya. Nyana memang tidak produktif, tetapi setiap karyanya selalu membawa keistimewaan. Kayu baginya juga sumher inspirasi. Ia bukan seorang pendobrak sebagaimana Cokot. Brahmana ini seorng pendiam, tetapi sibuk mencari-cari dalam diamnya. Demikian kita lihat tema Keroncongan yang melukiskan bentuk muka dengan gigi-gigi dahsyat. Keroncongan adalah kayu berbunyi yang diletakkan di leher kerbau atau sapi. Sekarang bentuk ini sudah menjadi makanan turis. Tetapi hanya Nyana yang sudah berusaha mencoba membuat keroncongan dengan variasi. Nyana juga membuat Buah Durian Wanita Kembar dan Mengajar Tari. Yang terakhir ini mungkin diilhami oleh potret. Sangat dekat dengan potret Reneng - seorang guru tari Bali waktu mengajar murid-muridnya. Nyana adalah salah satu dai i bakat besar yang kini diam di Ubud. Puteranya, Ida Bagus Tilem, memiliki sebuah art shop yang besar tetapi Nyana sendiri tidak lumat dikunyah turis. Dalam pameran ini ia menunjukkan pencarian terus-menerus. Putera-puteranya juga menjadi pematung-pematung yang penting. Tetapi Nyana masih lebih unggul, karena apa yang datang dari tangannya selalu orisinil. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus