YANG mengherankan, sementara orang bilang mutu seni rupa Bali
merosot, masih muncul nama-nama seperti Cokot, Lempad dan Nyana.
Mungkin disebabkan karena seni ukir, lukis, patung, merupakan
kemahiran yang katakanlah merata. Tak mengnerankan pembuatan
barang tersebut lebih menampakkan usaha kerajinan: yang penting
kwantitas. untuk melayani arus pembeli yang kadang seleranya
memang ngawur.
Di Balai Senirupa Jakarta, bulan lalu ini dapat disaksikan
beberapa lukisan Lempad (117 tahun), 4 patung Cokot (1886 -
1971) dan 5 patung Ida Bagus Nyana (70 tanun). Ketiganya pernah
mendapat penghargaan anugerah seni dari pemerintah. Memang,
sementara baran kesenian di pulau itu makin ngebet disodorkan
ke mulut turis sebagai barang suvenir, masih ada beberapa
pribadi yang dapat diandalkan. Jadi katakanlah harapan masih
tetap ada.
Cokotisme
Cokot, yang terus mengetukkan palunya sampai ekat ajal -- waktu
lututnya sudah tidak mungkin dibengkokkan lagi -- hanya diwakili
4 karya. Mungkin karena Cokot memang tidak terlalu banyak
mencipta -- juga sulit untuk mencarinya sekarang.
Karya-karyanya yang berukuran kecil dan primitif mungkin sudah
tidak istimewa lagi. Ia bertolak dari watak kayu lalu
meneruskannya dengan imajinasi yang liar -- sehingga penuh
dengan bentuk-bentuk, terutama "mata-mata" yang mendelik.
Sumbangan Cokot telah memberi nafas baru kepada dunia seni tiga
dimensi di Bali, yang semula hampir bergeser mengejar
bentuk-bentuk naturalis.
Dilanjutkan oleh ke-5 orang puteranya yang meneruskan
'cokotisme' itu. Mereka menjamah akar-akar kayu yang lebih
besar. Menambah detil dan lebih menyempurnakan teknik.
Adakalanya menjadi sangat atraktif karena sibuk dengan ornamen.
Sehingga kalau dibanding Cokot, mereka selalu tampak kurang
gempal.
Hanya Nongos, sering meneruskan jiwa Cokot yang magis dan
primitif, misalnya dengan karya-karya bernama Orang Adu Ayam,
Harimau Noleh. Sedang Made Kanten - cucu Cokot dengan patung
Buaya Tarung -- hanya sempat menampilkan sesuatu yang ruwet dan
ekspresif.
I Gusti Nyoman Lempad, berbeda dengan Cokot yang begitu bebas
dan liar, muncul dengan garis-garis yang amat puitis. Orang tua
ini adalah gabungan antara kesederhanaan dan perasaan yang
sangat peka pada kehidupan. Ia sangat cermat, pas, dan
melantunkan filsafat hidupnya yang polos dalam setiap lukisan.
Terutama pada lukisan tinta.
Pada Barong, satu-satunya yang memakai warna dalam pameran,
memang tidak nampak kekuatannya yang utama. Tetapi pada Tepel
kayu atau Topeng yang dikerjakannya tahun 1930, Lempad
menunjukkan kemahiran pertukangan, penjiwaan serta kehalusan
yang bukan main. Hasil-hasilnya terasa aristokrat - barangkali
karena lingkungan hidupnya amat dekat dengan pergaulan istana
Sukawati. Dari tangan orang tua ini pula kita bisa merasakan
sesuatu yang religius. Demikianlah dalam pameran tampak
lukisan-lukisan ilustratif tentang Sutasoma (10 buah) dan Jaya
prana (11 buah).
Lempad menguasai proporsi dan anatomi. Kalau lukisan ali
tradisionil, kadang agak pendek-pendek, Lempad menunjukkan
tubuh-tubuh dengan ruas panjang. Gerak-gerak yang ditangkapnya
sangat ritmis. Yang mengherankan adalah, dia mencoba juga
melukiskan pikiran seorang Sutasoma (Buddha) tatkala mendengar
cerita ayahnya bahwa hidup tidak kekal. Lempad, dari sesuatu
yang ramah menembus alam pikiran dan menampilkan sesuatu yang
barangkali oleh orang sekarang dinamakan "surealis". Ia berbeda
dengan surealisme Cokot yang getir, keras dan penuh pergulatan
hidup. Lempad menahan diri tapi kontemplatif.
Kemudian Ida Bagus Nyana, yang kita kenal sebagai pencipa
bentuk lelaki buncit meminkan suling itu (sekarang menjadi salah
satu bentuk klasik di Bali) diwakili oleh 4 karyanya. Nyana
memang tidak produktif, tetapi setiap karyanya selalu membawa
keistimewaan. Kayu baginya juga sumher inspirasi. Ia bukan
seorang pendobrak sebagaimana Cokot.
Brahmana ini seorng pendiam, tetapi sibuk mencari-cari dalam
diamnya. Demikian kita lihat tema Keroncongan yang melukiskan
bentuk muka dengan gigi-gigi dahsyat. Keroncongan adalah kayu
berbunyi yang diletakkan di leher kerbau atau sapi. Sekarang
bentuk ini sudah menjadi makanan turis. Tetapi hanya Nyana yang
sudah berusaha mencoba membuat keroncongan dengan variasi.
Nyana juga membuat Buah Durian Wanita Kembar dan Mengajar Tari.
Yang terakhir ini mungkin diilhami oleh potret. Sangat dekat
dengan potret Reneng - seorang guru tari Bali waktu mengajar
murid-muridnya. Nyana adalah salah satu dai i bakat besar yang
kini diam di Ubud. Puteranya, Ida Bagus Tilem, memiliki sebuah
art shop yang besar tetapi Nyana sendiri tidak lumat dikunyah
turis. Dalam pameran ini ia menunjukkan pencarian terus-menerus.
Putera-puteranya juga menjadi pematung-pematung yang penting.
Tetapi Nyana masih lebih unggul, karena apa yang datang dari
tangannya selalu orisinil.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini