Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kecewa Bank UOB
PADA 24 November 2020 pukul 16.47, saya mendapat notifikasi transaksi penggunaan kartu kredit Bank UOB atas nama saya. Tidak lama setelah itu, saya dihubungi call center UOB dengan nomor 14008, menanyakan apakah saya telah melakukan transaksi dengan kartu kredit UOB. Saya jelaskan bahwa saya tidak pernah melakukan transaksi apa pun dengan kartu kredit UOB yang saya pegang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Operator call center UOB tersebut berusaha meyakinkan saya agar memberikan nomor one-time password (OTP) yang saya pegang untuk membatalkan transaksi-transaksi itu. Awalnya saya tidak memberikan nomor tersebut. Namun, setelah operator melakukan verifikasi terhadap data saya dengan menyebutkan nama, nomor kartu kredit, CVV, tempat dan tanggal lahir, alamat tempat tinggal, alamat e-mail, dan nama ibu kandung saya, akhirnya saya menjadi percaya dan meyakini operator tersebut benar operator call center UOB. Saya pun memberitahukan nomor OTP kepadanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merasa curiga atas transaksi tersebut, pada pukul 16.50 saya menghubungi nomor call center UOB, 14008, dengan telepon seluler lain (sambil tetap mendengarkan percakapan operator sebelumnya) untuk meminta konfirmasi. Dalam percakapan via ponsel yang berbeda tersebut, saya berkali-kali menegaskan kepada call center bahwa saya tidak pernah bertransaksi apa pun dengan kartu kredit saya dan saya meminta operator memblokir kartu kredit saya serta bertindak atas kejadian itu sesegera mungkin. Call center menyarankan saya mengajukan sanggahan terhadap transaksi yang tidak saya lakukan melalui website/e-mail dan memblokir kartu kredit saya dengan nomor laporan 201124117625.
Masih pada hari yang sama, sekitar pukul 23.24, saya kembali mendapat pop-up notifikasi dari UOB di ponsel atas sebuah transaksi yang menggunakan nomor kartu kredit saya yang menurut pihak UOB sudah terblokir.
Esoknya, saya mengirimkan sanggahan terhadap transaksi kartu kredit yang tidak pernah saya lakukan sebesar Rp 24.732.309. Namun saya tidak mendapat jawaban yang jelas. UOB hanya berjanji melakukan investigasi dulu sebelum mengeluarkan keputusan. Investigasi akan dilakukan selama dua-tiga bulan.
Dalam sanggahan tersebut, saya tegas meminta dipertemukan dengan kepala bagian kartu kredit. Saya juga mengirimkan surat keberatan kepada UOB yang ditujukan kepada Direktur Utama PT Bank UOB Indonesia (up Head of Cards & Payment Bank UOB Indonesia) tertanggal 30 November 2021 dan diterima petugas layanan pelanggan UOB, Vania.
Dalam surat keberatan itu, saya meminta UOB:
1. Memerintahkan jajaran manajemennya mengusut tuntas kejadian yang menimpa saya, khususnya pembocoran rahasia nasabah yang sangat jelas telah menimbulkan kerugian bagi saya. Atas kerugian yang saya alami, saya telah melapor kepada Kepolisian Republik Indonesia (terlampir) yang segera melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kasus hukum ini.
2. Memberikan respons atas surat keberatan saya dalam dua hari kerja.
Setelah empat bulan, pada 29 Maret 2021, saya menerima e-mail dari UOB yang menyatakan surat sanggahan saya ditolak dan saya akan ditagih Rp 24.732.309 atas kelalaian saya memberikan OTP. Kekecewaan saya adalah:
1. UOB mengabaikan surat keberatan saya dan tidak memberikan respons atas surat keberatan saya dalam dua hari kerja.
2. UOB tidak menyampaikan hasil investigasi kasus saya secara lengkap sehingga tidak ada penjelasan mengenai:
- Kebocoran data pribadi saya kepada pihak lain sehingga data tersebut dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
- Pemakaian call center UOB untuk menghubungi saya sehingga saya percaya bahwa yang menghubungi saya adalah UOB.
- Permintaan data OTP pada 24 November 2020 pukul 23.24, ketika kartu kredit saya sudah terblokir.
3. Saya tidak dapat menghubungi UOB secara tatap muka untuk mendiskusikan masalah saya. Pembicaraan hanya dialihkan ke call center.
Raditya Syahbana
[email protected]
Jawaban Bank UOB
Terima kasih telah mengirimkan surat keberatan kepada Bank UOB.
Ulfah
UOB Care
Darurat Kekerasan Seksual
RANCANGAN Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual urgen diterapkan di Indonesia. Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, sepanjang 2001-2011, dalam sehari ada 35 perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual dan pada 2020 terdapat 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data ini membuktikan bahwa kekerasan seksual di Indonesia sangat gawat.
Masih banyak miskonsepsi mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Pertama, ada anggapan bahwa RUU ini tidak sesuai dengan Pancasila. Faktanya, pada halaman pertama RUU itu dikatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapat rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Kedua, RUU ini dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Kita telah mengetahui bahwa tidak ada satu pun agama yang menyetujui kekerasan seksual. Ajaran agama mana pun tidak memperbolehkan seseorang berlaku zalim kepada orang lain.
Ketiga, RUU ini dianggap memperbolehkan hubungan seks konsensual karena yang dipidana hanya pelaku hubungan seks yang tidak konsensual. Faktanya, RUU ini bersifat lex specialist atau spesifik hanya mengatur hukum tindakan tentang kekerasan seksual yang terdapat pada poin RUU tersebut.
Keempat, RUU ini dinilai melegalkan aborsi karena yang diatur hanyalah masalah pemaksaan tindakan aborsi. Faktanya, hukum mengenai aborsi sukarela telah diatur dalam undang-undang dan bukan hanya pelaku aborsi sukarela yang dihukum, tapi juga orang yang membantu dan mendukung proses aborsi tersebut. Justru dalam hal ini sangat dibutuhkan adanya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual karena hingga kini belum ada hukum di Indonesia yang mengatur pemaksaan aborsi.
Kelima, anggapan bahwa RUU ini melegalkan tindakan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer. Faktanya, pembahasan dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak bersangkut paut dengan orientasi seksual seseorang sehingga orientasi seksual bukan ranah RUU ini. Dalam hal ini, masih banyak bentuk miskonsepsi mengenai RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan justru berbanding terbalik dengan fakta pada RUU tersebut.
Miskonsepsi inilah yang menimbulkan reaksi pro dan kontra di masyarakat. Tidak ada alasan bagi kita untuk menolaknya karena pembentukannya demi kebaikan semua orang. Dapat kita ketahui, perempuan sangat rentan terhadap kekerasan seksual, meskipun tidak jarang laki-laki juga menjadi korban kekerasan seksual.
Saya banyak menemukan kasus kekerasan seksual yang diselesaikan hanya secara kekeluargaan. Padahal kasus tersebut menciptakan trauma. Karena itu, kekerasan seksual menjadi isu yang sangat urgen. Dukungan seluruh masyarakat dan pemerintah dalam pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat diperlukan. Kita harus bersama-sama menciptakan rasa aman bagi setiap orang di Indonesia. Untuk itu, perlu ada RUU ini sebagai payung hukum dalam kekerasan seksual.
Nada Khalishah Zain
Pasar Minggu, Jakarta Selatan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo