Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bedug dimana-mana terpukul ...

Bedug yang berfungsi mengingatkan waktu sholat makin tersingkir, hilang atau tanpa fungsi. di desak pengeras suara atau karena dianggap tak ada arti, tapi ada yang fanatik mempertahankannya. (ils)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SASTRAWAN Pujangga Baru tak jarang menggambarkan bedug dalam karya mereka sebagai tabuh-tabuhan yang mempunyai suara mengharukan. Bahkan Hamka menamakan salah satu bukunya 'Menunggu Bedug Berbunyi". Tapi ilustrasi suara bedug hampir tak terbaca lagi dalam karya-karya sastra kita akhir-akhir ini. Apakah karena bedug sudah punah? Ternyata tidak. Malahan Masjid Istiqlal yang besar itu tak lupa meletakkan sebuah bedug di salah satu sudutnya. Ukurannya tidak tanggung-tanggung, bergaris tengah 2 meter dan panjang 3 meter. Sehingga Rusyana, pengurus masjid itu menyebutnya sebagai bedug terbesar di dunia. Sejak Presiden Soeharto menghadiahkan bedug ini awal 1978 memang suaranya jarang terdengar. Karena hanya ditabuh setiap menjelang sembahyang Jum'at. Menurut Rusyana penghematan suara bedug itu sengaja dilakukan untuk menjaga agar tidak lekas rusak mengingat kulit yang dipakai berasal dari sapi jantan besar yang mahal dan sulit diperoleh. Selebihnya, untuk mengingatkan waktu sholat, masjid ini menggunakan pengeras suara. "Tapi 2 bulan yang lalu Presiden Soeharto menyuruh kita agar memukul bedug setiap waktu sholat," ungkap Rusyana. Sehingga suaranya pun dapat didengar setiap menjelang sholat 5 waktu, termasuk untuk berbuka dan makan sahur dalam bulan puasa ini. Menurut Rusyana irama tabuhan bedug di masjid ini tidak ditentukan harus dengan satu gaya. Waktu subuh, asar, magrib dan isya pukulan beruntun sebanyak 4 kali. Dhuhur dengan pukulan beruntun banyak. Variasinya terkadang bergaya Jakarta (seperti suara bedug RRI) dan terkadang gaya Sukabumi (diawali dengan ketokan kentong beruntun). Menurut pengurus Masjid Istiqlal bedug hanya berfungsi sebagai tanda waktu untuk memasuki waktu sembahyang. Sedang untuk ajakan bersembahyang itu sendiri lebih baik dengan pengeras suara. Fungsi serupa ini juga dilekatkan pada masjid-masjid yang masih mempertahankan adanya bedug di samping pengeras suara. Di samping itu juga karena adanya bedug di sebuah masjid sudah menjadi tradisi dan para jemaah merasa kurang lengkap kalau tanpa alat tabuhan itu. "Juga agar muazzin (juru azan) tahu bahwa ia sudah harus azan," kata H.M. Arsyad, Sekretaris Yayasan Masjid Jami' Al Makmur Karet (Jakarta), "untuk kemudian diikuti oleh bedug-bedug musholla di sekitarnya." Masjid Jami' Al Makmur Karet (biasa disebut juga Masjid Arab) diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1400-an. Semula berbentuk musholla, lama-lama disempurnakan dengan sumbangan para jemaahnya. Yayasan yang mengurusnya sendiri sudah ada sejak 1914. Menurut beberapa orang pengurus yayasan itu sejak semula masjid ini sudah memiliki bedug. Alat tabuhan yang ada sekarang tampak kurang terawat baik. Ukurannya hanya berdiameter sekitar 1 meter. Bahkan kulitnya yang tua itu penuh coretan spidol. Di sampingnya terdapat sebuah kentongan kayu yang digunakan sebagai ketokan pertama sebelum bedug itu sendiri ditabuh. Sebuah masjid tua juga terdapat di Kebon Jeruk (Hayamwuruk -- Jakarta), terselip di antara rumah-rumah warga keturunan Tionghoa. Namanya Masjid Jami Kebon Jeruk. Mayor (CPM) H. Ahmad Dzulfiqar, pengurusnya, tak dapat memastikan apakah sejak masjid ini berdiri tahun 1718, di sana sudah ada bedug. Yang pasti bedug yang sekarang masih kelihatan baru. "Setahun yang lalu bedug lama malah hilang dan memang sudah rusak," tutur Dzulfiqar, "tapi beberapa hari kemudian tanpa setahu saya sudah ada bedug baru itu." Kisah Yusuf Bedug di sini dipukul setiap menjelang waktu sembahyang wajib. Menurut Dzulfiqar kalau bedug sampai ditiadakan ia khawatir jemaahnya akan tersinggung. Suaranya juga sudah terbiasa di telinga warga sekitarnya, meskipun mereka yang tak beragama Islam. "Ada warga Tionghoa sekitar ini yang merasa terbantu oleh suara bedug subuh sebagai tanda menyuruh mereka bangun untuk jalan-jalan di pagi hari," kata mayor itu pula. Berdasarkan salah satu keputusan Gubernur DKI tahun 1972, Masjid Jami' Kebon Jeruk ini dinyatakan sebagai Monumen Nasional. Pengalaman pengurus Masjid Al Makmur di Jalan Raden Saleh Jakarta lain lagi. Masjid yang kabarnya berdiri sejak tahun 1400-an ini terletak berdampingan dengan Rumah Sakit Cikini. Pada Lebaran 1967, Yusuf Tjokroaminoto, pengurusnya, melarang bedug di sana ditabuh karena khawatir mengganggu pasien rumah sakit. Para jemaah masjid marah dan mendatangi Yusuf. "Hampir saja saya mati dikeroyok, sampai-sampai harus berurusan dengan polisi," ungkap Yusuf. Sejak itu ia membebaskan bedug untuk dipukul setiap menjelang waktu sembahyang, berbuka puasa, sahur dan tentu saja lebaran. Tetapi secara pribadi Yusuf tidak melihat bedug sebagai alat yang efektif untuk memberi tanda waktu sholat. Sebab misalnya, kata Yusuf, kalau orang sudah berniat akan puasa, pasti dia akan bangun dengan sendirinya tepat pada waktunya. "Tapi kalau melalui suara bedug mereka merasa lebih diingatkan, itu memang baik," katanya. Di komplek makam (pesarean) Panembahan Senopati di Kotagede Yogya, ada Masjid Dondongan. Sejak zaman Jepang hingga sekarang tak pernah terdengar lagi suara bedugnya berirama keduk liwet dendeng gudel untuk mengingatkan saat sembahyang 5 waktu. Memang sampai sekarang masjid ini tetap memiliki bedug, bahkan tubuhnya seusia dengan masjid yang konon didirikan di zaman Panembahan Senopati (1579-1599). Tapi sejak kulit bedug di sana dirobek tangan iseng dengan pisau di zaman Jepang, irama yang khas itu hanya terdengar menjelang permulaan puasa dan lebaran. Mengapa? "orang sudah bosan dan yang nabuh tak ada lagi," jawab Padmo Hastono (60), juru kunci pesarean itu. Di masjid ini sekarang sudah dipasang pengeras suara, meskipun untuk sholat 5 waktu bedug tetap ditabuh dengan irama biasa. Tapi tubuh bedug Masjid Dondongan punya kisah tersendiri. Adalah seorang wanita, Nyai Brintik namanya, diangkat sebagai abdi Panembahan Senopati atas perintah Sunan Kalijogo. Karena si nyai ini yang pernah ditugasi Sunan mengangkut kayu untuk badan bedug dari Dondong (Kulon Progo) sampai ke masjid Senopati di Kotagede. Konon Nyai Brintik membawa potongan kayu itu dengan menggendongnya, tentu dengan semburan tenaga dalam yang dimiliki Sunan Kalijogo. Bedug Purworejo di serambi Masjid Jami' Purworejo pernah terkenal sebagai bedug terbesar, kata orang waktu itu, di seluruh dunia. Tapi dengan diameter 194 cm dan panjang tubuh 292 cm tentu sekarang kalah dengan bedug di Masjid Istiqlal. Pada mulanya kulitnya terdiri dari kulit banteng, tapi dalam puluhan tahun terakhir sudah diganti kulit sapi biasa. Tubuhnya terbuat dari jati. Di dalam badannya terdapat sebuah gong dari perunggu sari, semula dimaksudkan sebagai pengeras suaranya. Tapi sekarang gong itu ternyata tak banyak menolong, sehingga di atasnya kini bertengger sebuah pengeras suara listrik. Untuk menjaga usianya, bedug ini sekarang hanya ditabuh setiap menjelang sembahyang Jum'at. Bedug ini memiliki banyak nama. Ada yang menyebut Kiyai Bagelan, Bedug Pendowo, tapi ada pula yang menyebutnya dengan Bedug Purworejo saja. Tapi apapun namanya, sebuah brosur kecil yang diterbitkan khusus mengenai alat tabuh ini menyebut bedug ini dibuat atas perintah Raden Tumenggung Cokronegoro I, Bupati Purworejo pertama. Yaitu sekitar tahun 1832 hingga 1840. Karena itu tak heran jika alat tabuh dari kulit hewan ini masih dianggap keramat oleh sebagian penduduk sekitar Purworejo. Setiap Selasa Kliwon atau Jum'at Kliwon di serambi masjid itu banyak terlihat orang bersimpuh tafakur memohon macam-macam kehendak. Tapi apabila pandangan mereka terangkat ke kulit bedug itu, akan terbacalah berbagai coretan spidol tangan jahil. Macam-macam bunyinya, mulai dari hanya sekedar nama sampai kata-kata kurang pantas. Di Kota Bandung bedug mulai menjadi barang langka. Di Masjid Agung Bandung, misalnya, benda itu tak terlihat lagi sejak selesai dipugar 3 tahun lalu. Fungsinya digantikan pengeras suara. Tapi masjid-masjid tua di pinggir kota ini, bedug masih merupakan bagian penting, meskipun tetap didampingi pengeras suara. Yang menarik lagi, sudah sulit ditemukan bedug bertubuh kayu. Kebanyakan sudah berganti drum kaleng. Diduga ini ada kaitannya dengan makin sulitnya mendapatkan kayu besar dan kuat. Tapi dengan penggantian tubuh ini, usia kulitnya jadi tak tahan lama. Bedug Masjid Karasak pernah hilang dicuri, semata-mata karena si maling menginginkan kayunya untuk bahan bakar. Guruh Mangir Hidup bedug yang makin sulit, juga terdapat di Kota Medan. Meskipun ada, lebih banyak hanya sebagai penghias saja. Kalaupun ditabuh, hanya saat-saat tertentu, misalnya menjelang sembahyang Jum'at. Tapi ada pula yang dipukul hanya kalau ada kematian warga di sekitarnya. Di beberapa wilayah Kota Medan, kentongan kayu terlihat menggantikan kedudukan bedug. Fungsinya sama, mengingatkan waktu, meskipun pengeras suara tak ketinggalan. Di Masjid Raya Al Mansun Medan juga tak terlihat bedug, tidak juga kentongan. Satu-satunya pengingat dan alat mengajak sembahyang tentu pengeras suara. Malahan beberapa waktu lalu peralatan pengeras suara di masjid ini hilang dicuri orang. Seperti juga dialami Masjid Al Falah di Jalan Ibrahim Umar. "Padahal perangkatan itu milik rumah Tuhan," keluh Rusli, penjaga Masjid Al Falah. Hampir berbarengan dengan berdirinya Masjid Kasepuhan di lingkungan Kraton Kasepuhan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati, sebuah bedug yang kemudian bernama Guruh Mangir menghias bagian belakang masjid itu. Waktu itu diperkirakan pada tahun-tahun menjelang abad XIV. Kabarnya bedug ini dibuat oleh Syeh Kuro, seorang guru agama di Karawang. Tak ada yang luar biasa pada Guruh Mangir. Ukuran vitalnya 1 x 1,25 meter. Tubuhnya dari kayu sadagori. Tapi masih tetap utuh sampai sekarang. Yang berubah tentu saja kulitnya. Sampai sekarang ia tetap ditabuh setiap menjelang waktu sembahyang wajib. Juga pada hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Yang berhak menabuhnya hanya modin yang telah diangkat Sultan Kasepuhan. Tapi lebih dari itu, pengeras suara tak dipakai di masjid Kasepuhan yang bernama Sang Cipta Rasa ini. Sehingga sang Guruh Mangir tetap pada fungsinya semula. Dan khusus di bulan puasa menjelang sahur Guruh Mangir ditabuh mulai jam 23.00 selama satu jam. Iramanya khusus: dugdagdug liwet dendeng gudel. Artinya: masak nasi dengan lauk dendeng anak sapi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus