SASTRAWAN Pujangga Baru tak jarang menggambarkan bedug dalam
karya mereka sebagai tabuh-tabuhan yang mempunyai suara
mengharukan. Bahkan Hamka menamakan salah satu bukunya 'Menunggu
Bedug Berbunyi". Tapi ilustrasi suara bedug hampir tak terbaca
lagi dalam karya-karya sastra kita akhir-akhir ini. Apakah
karena bedug sudah punah?
Ternyata tidak. Malahan Masjid Istiqlal yang besar itu tak lupa
meletakkan sebuah bedug di salah satu sudutnya. Ukurannya tidak
tanggung-tanggung, bergaris tengah 2 meter dan panjang 3 meter.
Sehingga Rusyana, pengurus masjid itu menyebutnya sebagai bedug
terbesar di dunia. Sejak Presiden Soeharto menghadiahkan bedug
ini awal 1978 memang suaranya jarang terdengar. Karena hanya
ditabuh setiap menjelang sembahyang Jum'at. Menurut Rusyana
penghematan suara bedug itu sengaja dilakukan untuk menjaga agar
tidak lekas rusak mengingat kulit yang dipakai berasal dari sapi
jantan besar yang mahal dan sulit diperoleh. Selebihnya, untuk
mengingatkan waktu sholat, masjid ini menggunakan pengeras
suara.
"Tapi 2 bulan yang lalu Presiden Soeharto menyuruh kita agar
memukul bedug setiap waktu sholat," ungkap Rusyana. Sehingga
suaranya pun dapat didengar setiap menjelang sholat 5 waktu,
termasuk untuk berbuka dan makan sahur dalam bulan puasa ini.
Menurut Rusyana irama tabuhan bedug di masjid ini tidak
ditentukan harus dengan satu gaya. Waktu subuh, asar, magrib dan
isya pukulan beruntun sebanyak 4 kali. Dhuhur dengan pukulan
beruntun banyak. Variasinya terkadang bergaya Jakarta (seperti
suara bedug RRI) dan terkadang gaya Sukabumi (diawali dengan
ketokan kentong beruntun).
Menurut pengurus Masjid Istiqlal bedug hanya berfungsi sebagai
tanda waktu untuk memasuki waktu sembahyang. Sedang untuk ajakan
bersembahyang itu sendiri lebih baik dengan pengeras suara.
Fungsi serupa ini juga dilekatkan pada masjid-masjid yang masih
mempertahankan adanya bedug di samping pengeras suara. Di
samping itu juga karena adanya bedug di sebuah masjid sudah
menjadi tradisi dan para jemaah merasa kurang lengkap kalau
tanpa alat tabuhan itu. "Juga agar muazzin (juru azan) tahu
bahwa ia sudah harus azan," kata H.M. Arsyad, Sekretaris Yayasan
Masjid Jami' Al Makmur Karet (Jakarta), "untuk kemudian diikuti
oleh bedug-bedug musholla di sekitarnya."
Masjid Jami' Al Makmur Karet (biasa disebut juga Masjid Arab)
diperkirakan sudah berdiri sejak tahun 1400-an. Semula berbentuk
musholla, lama-lama disempurnakan dengan sumbangan para
jemaahnya. Yayasan yang mengurusnya sendiri sudah ada sejak
1914. Menurut beberapa orang pengurus yayasan itu sejak semula
masjid ini sudah memiliki bedug. Alat tabuhan yang ada sekarang
tampak kurang terawat baik. Ukurannya hanya berdiameter sekitar
1 meter. Bahkan kulitnya yang tua itu penuh coretan spidol. Di
sampingnya terdapat sebuah kentongan kayu yang digunakan sebagai
ketokan pertama sebelum bedug itu sendiri ditabuh.
Sebuah masjid tua juga terdapat di Kebon Jeruk (Hayamwuruk --
Jakarta), terselip di antara rumah-rumah warga keturunan
Tionghoa. Namanya Masjid Jami Kebon Jeruk. Mayor (CPM) H. Ahmad
Dzulfiqar, pengurusnya, tak dapat memastikan apakah sejak masjid
ini berdiri tahun 1718, di sana sudah ada bedug. Yang pasti
bedug yang sekarang masih kelihatan baru. "Setahun yang lalu
bedug lama malah hilang dan memang sudah rusak," tutur
Dzulfiqar, "tapi beberapa hari kemudian tanpa setahu saya sudah
ada bedug baru itu."
Kisah Yusuf
Bedug di sini dipukul setiap menjelang waktu sembahyang wajib.
Menurut Dzulfiqar kalau bedug sampai ditiadakan ia khawatir
jemaahnya akan tersinggung. Suaranya juga sudah terbiasa di
telinga warga sekitarnya, meskipun mereka yang tak beragama
Islam. "Ada warga Tionghoa sekitar ini yang merasa terbantu oleh
suara bedug subuh sebagai tanda menyuruh mereka bangun untuk
jalan-jalan di pagi hari," kata mayor itu pula. Berdasarkan
salah satu keputusan Gubernur DKI tahun 1972, Masjid Jami' Kebon
Jeruk ini dinyatakan sebagai Monumen Nasional.
Pengalaman pengurus Masjid Al Makmur di Jalan Raden Saleh
Jakarta lain lagi. Masjid yang kabarnya berdiri sejak tahun
1400-an ini terletak berdampingan dengan Rumah Sakit Cikini.
Pada Lebaran 1967, Yusuf Tjokroaminoto, pengurusnya, melarang
bedug di sana ditabuh karena khawatir mengganggu pasien rumah
sakit. Para jemaah masjid marah dan mendatangi Yusuf. "Hampir
saja saya mati dikeroyok, sampai-sampai harus berurusan dengan
polisi," ungkap Yusuf. Sejak itu ia membebaskan bedug untuk
dipukul setiap menjelang waktu sembahyang, berbuka puasa, sahur
dan tentu saja lebaran.
Tetapi secara pribadi Yusuf tidak melihat bedug sebagai alat
yang efektif untuk memberi tanda waktu sholat. Sebab misalnya,
kata Yusuf, kalau orang sudah berniat akan puasa, pasti dia akan
bangun dengan sendirinya tepat pada waktunya. "Tapi kalau
melalui suara bedug mereka merasa lebih diingatkan, itu memang
baik," katanya.
Di komplek makam (pesarean) Panembahan Senopati di Kotagede
Yogya, ada Masjid Dondongan. Sejak zaman Jepang hingga sekarang
tak pernah terdengar lagi suara bedugnya berirama keduk liwet
dendeng gudel untuk mengingatkan saat sembahyang 5 waktu.
Memang sampai sekarang masjid ini tetap memiliki bedug, bahkan
tubuhnya seusia dengan masjid yang konon didirikan di zaman
Panembahan Senopati (1579-1599). Tapi sejak kulit bedug di sana
dirobek tangan iseng dengan pisau di zaman Jepang, irama yang
khas itu hanya terdengar menjelang permulaan puasa dan lebaran.
Mengapa? "orang sudah bosan dan yang nabuh tak ada lagi," jawab
Padmo Hastono (60), juru kunci pesarean itu. Di masjid ini
sekarang sudah dipasang pengeras suara, meskipun untuk sholat 5
waktu bedug tetap ditabuh dengan irama biasa.
Tapi tubuh bedug Masjid Dondongan punya kisah tersendiri. Adalah
seorang wanita, Nyai Brintik namanya, diangkat sebagai abdi
Panembahan Senopati atas perintah Sunan Kalijogo. Karena si nyai
ini yang pernah ditugasi Sunan mengangkut kayu untuk badan bedug
dari Dondong (Kulon Progo) sampai ke masjid Senopati di
Kotagede. Konon Nyai Brintik membawa potongan kayu itu dengan
menggendongnya, tentu dengan semburan tenaga dalam yang
dimiliki Sunan Kalijogo.
Bedug Purworejo di serambi Masjid Jami' Purworejo pernah
terkenal sebagai bedug terbesar, kata orang waktu itu, di
seluruh dunia. Tapi dengan diameter 194 cm dan panjang tubuh 292
cm tentu sekarang kalah dengan bedug di Masjid Istiqlal. Pada
mulanya kulitnya terdiri dari kulit banteng, tapi dalam puluhan
tahun terakhir sudah diganti kulit sapi biasa. Tubuhnya terbuat
dari jati. Di dalam badannya terdapat sebuah gong dari perunggu
sari, semula dimaksudkan sebagai pengeras suaranya. Tapi
sekarang gong itu ternyata tak banyak menolong, sehingga di
atasnya kini bertengger sebuah pengeras suara listrik. Untuk
menjaga usianya, bedug ini sekarang hanya ditabuh setiap
menjelang sembahyang Jum'at.
Bedug ini memiliki banyak nama. Ada yang menyebut Kiyai Bagelan,
Bedug Pendowo, tapi ada pula yang menyebutnya dengan Bedug
Purworejo saja. Tapi apapun namanya, sebuah brosur kecil yang
diterbitkan khusus mengenai alat tabuh ini menyebut bedug ini
dibuat atas perintah Raden Tumenggung Cokronegoro I, Bupati
Purworejo pertama. Yaitu sekitar tahun 1832 hingga 1840. Karena
itu tak heran jika alat tabuh dari kulit hewan ini masih
dianggap keramat oleh sebagian penduduk sekitar Purworejo.
Setiap Selasa Kliwon atau Jum'at Kliwon di serambi masjid itu
banyak terlihat orang bersimpuh tafakur memohon macam-macam
kehendak. Tapi apabila pandangan mereka terangkat ke kulit bedug
itu, akan terbacalah berbagai coretan spidol tangan jahil.
Macam-macam bunyinya, mulai dari hanya sekedar nama sampai
kata-kata kurang pantas.
Di Kota Bandung bedug mulai menjadi barang langka. Di Masjid
Agung Bandung, misalnya, benda itu tak terlihat lagi sejak
selesai dipugar 3 tahun lalu. Fungsinya digantikan pengeras
suara. Tapi masjid-masjid tua di pinggir kota ini, bedug masih
merupakan bagian penting, meskipun tetap didampingi pengeras
suara. Yang menarik lagi, sudah sulit ditemukan bedug bertubuh
kayu. Kebanyakan sudah berganti drum kaleng. Diduga ini ada
kaitannya dengan makin sulitnya mendapatkan kayu besar dan kuat.
Tapi dengan penggantian tubuh ini, usia kulitnya jadi tak tahan
lama. Bedug Masjid Karasak pernah hilang dicuri, semata-mata
karena si maling menginginkan kayunya untuk bahan bakar.
Guruh Mangir
Hidup bedug yang makin sulit, juga terdapat di Kota Medan.
Meskipun ada, lebih banyak hanya sebagai penghias saja. Kalaupun
ditabuh, hanya saat-saat tertentu, misalnya menjelang sembahyang
Jum'at. Tapi ada pula yang dipukul hanya kalau ada kematian
warga di sekitarnya. Di beberapa wilayah Kota Medan, kentongan
kayu terlihat menggantikan kedudukan bedug. Fungsinya sama,
mengingatkan waktu, meskipun pengeras suara tak ketinggalan.
Di Masjid Raya Al Mansun Medan juga tak terlihat bedug, tidak
juga kentongan. Satu-satunya pengingat dan alat mengajak
sembahyang tentu pengeras suara. Malahan beberapa waktu lalu
peralatan pengeras suara di masjid ini hilang dicuri orang.
Seperti juga dialami Masjid Al Falah di Jalan Ibrahim Umar.
"Padahal perangkatan itu milik rumah Tuhan," keluh Rusli,
penjaga Masjid Al Falah.
Hampir berbarengan dengan berdirinya Masjid Kasepuhan di
lingkungan Kraton Kasepuhan Cirebon oleh Sunan Gunung Jati,
sebuah bedug yang kemudian bernama Guruh Mangir menghias bagian
belakang masjid itu. Waktu itu diperkirakan pada tahun-tahun
menjelang abad XIV. Kabarnya bedug ini dibuat oleh Syeh Kuro,
seorang guru agama di Karawang.
Tak ada yang luar biasa pada Guruh Mangir. Ukuran vitalnya 1 x
1,25 meter. Tubuhnya dari kayu sadagori. Tapi masih tetap utuh
sampai sekarang. Yang berubah tentu saja kulitnya. Sampai
sekarang ia tetap ditabuh setiap menjelang waktu sembahyang
wajib. Juga pada hari-hari besar Islam, seperti Idul Fitri dan
Idul Adha. Yang berhak menabuhnya hanya modin yang telah
diangkat Sultan Kasepuhan. Tapi lebih dari itu, pengeras suara
tak dipakai di masjid Kasepuhan yang bernama Sang Cipta Rasa
ini. Sehingga sang Guruh Mangir tetap pada fungsinya semula. Dan
khusus di bulan puasa menjelang sahur Guruh Mangir ditabuh mulai
jam 23.00 selama satu jam. Iramanya khusus: dugdagdug liwet
dendeng gudel. Artinya: masak nasi dengan lauk dendeng anak
sapi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini