Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Obahorok: Mana Kambing Itu ?

Keunikan-keunikan masih terdapat di beberapa wilayah pedalaman Irian Jaya. Wartawan Tempo, Widi Yarmanto menceritakan tentang penduduk suku di Lembah Baliem. (dh)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUHU di Lembah Baliem pada ketinggian 1.650 m itu sering mencapai 14 derajat Celcius. Tapi suku Dani yang mendiami daerah ini tentu sudah merasa biasa dengan olesan minyak babi sebagai penghangat. Hutankah yang mereka diami? Ternyata tidak. Perkampungan tempat mereka tinggal hanya ditumbuhi pohon yang bisa dihitung dengan gampang. Dan bersebelahan dengan perkampungan ini sebidang ladang yang dikotak-kotak dengan pagar tinggi (supaya tak dirusak babi) bisa kita jumpai. Malah ada juga saluran air yang cukup dalam untuk membantu kebun mereka. Tampak mereka sudah agak maju. Beberapa orang Suku Dani memiliki jari-jari tangan pendek, bahkan tanpa jari. Mengapa? Karena ternyata jari mereka dipotong setiap ada kematian untuk menyatakan dukacita. Tapi kebiasaan ini sudah mereka tinggalkan sejak pemerintah melarangnya. Ketika wartawan TEMPO Widi Yarmanto, pekan lalu berada di lembah itu ternyata ada kematian di kampung sebelah yang jauhnya 1 jam berjalan kaki dari kampung Obahorok. Terlihat asap mengepul sebagai tanda. Babi-babi dibakar, disusul pesta kematian. Seorang wanita tua lewat menuju ke arah asap itu. Mukanya seram dengan badan dioles lumpur, menambah keseraman. Lumpur di badan itu juga sebagai tanda ikut berdukacita. Kampung yang kesusahan itu bernama Amigopa. Adik kepala suku dari fam Siap meninggal. Sakit berak-berak. Tak dibawa ke rumahsakit? "Tidak. Dibawa atau tidak sama saja. Dulu dibawa ke rumahsakit mati, tidak dibawa juga mati," kata Pizimaken Siap si kepala suku lewat penterjemah. Di kampung yang kesusahan ini berkumpul juga para kepala suku yang lain. Sebagai tanda dukacita mereka juga menghadiahkan babi. Kalau babi sudah terkumpul, para anak buah membakar batu dengan api unggun. Jika batu sudah menyala, maka babi yang sudah dibuang bagian dalamnya (jeroan) tinggal menarok di batu membara itu. Ditutupi daun pakis, minyak babi keluar dan daun itupun menjadi matang. Sementara mereka membakar babi, dalam rumah panjang terdengar isak tangis para wanita. Mereka juga meratapi mayat adik kepala suku. Pesta makan babi dalam upacara kematian ini memang bervariasi. Ada yang menangis, ada yang tertawa, ada yang sibuk kerja dan ada juga yang cuma menatap babi panggang itu. Sebelum babi dibagi, daun pakis bercampur minyak babi menjadi rebutan mereka. Anak-anak terutama, getol sekali menyantapnya. Orang tua yang kurang sabar menanti daging babi juga sibuk menyantap ini. Berapa babi yang dipotong? Seorang warga suku Dani yang tubuhnya dicoreng moreng dengan arang dan sudah bisa sepatah dua kata bahasa Indonesia lalu menghitung tangannya, lalu menambah dengan jari kakinya 20 ekor. Hitungan selebihnya cukup dikatakan: banyak. Dalam lingkungan honie (rumah mereka yang berbentuk setengah bola) dengan ukuran sekitar 20 x 30 m, sekitar 300 orang kumpul. Di luar lingkungan ini masih ada juga yang menyatakan dukanya. Tapi mereka hanya berdempetan di luar saja. Anak-anak kecil yang merasa kedinginan cukup menyilangkan kedua tangan ke leher. Daging sudah dibagi. Tapi gerimis tak bisa dibendung. Seorang pawang hujan berdiri di tengah kerumunan manusia. Dia berteriak sambil membentangkan tangannya lebar-lebar hza . . . haz . . . hza . . . Itu saja rasanya nada yang tertangkap telinga. Tapi apa maksudnya "Itu memohon kepada dewa dengan menyebut nama leluhur yang sudah meninggal. Supaya mereka juga ikut menerima arwah yang mati," kata Horalik, warga Dani yang pernah mengenyam pendidikan sampai klas V SD di Wamena. Berkali-kali pawang ini berteriak. Makin keras dan makin lantang. Tapi kehendak Yang Kuasa tak bisa dihindarkan. Hujan pun tetap deras mengucur. Dan buyarlah mereka. Mayat orang suku Dani ini dibakar. Di lembah ini ada juga mayat yang dimumikan. Satu di antaranya di kampung Aikima. Mumi ini dari fam Kurollik. Dalam posisi duduk. Umurnya berapa, tak diketahui. Warna mumi ternyata lebih hitam dari mereka yang masih hidup. Kepalanya diberi hiasan bulu berwarna putih. Lehernya dikalungi taring babi dan beberapa kerang laut. Yang dimumikan adalah mereka yang dulunya berjasa banyak untuk kampung itu, di samping juga sebagai pahlawan perang. Konon waktu suku-suku di Lembah Baliem perang dengan suku yang lain, maka mumi itu diarak di barisan paling belakang. Maksudnya untuk memberi dorongan moril bagi mereka. Dan kalau mumi ini hancur, maka praktis kekuatan suku itu punah. Sekarang mumi tidak untuk menambah kekuatan waktu perang karena perang suku tak ada lagi. Mumi itu dikomersialkan. Yaitu memungut bayaran dari mereka yang ingin melihatnya. Berapa jumlahnya tidak tentu. Kalau dulu, sebelum 1975 mereka hanya mengenal uang merah, maka tahun belakangan ini sudah juga tahu warna uang hijau dan biru. Selembar daun pisang dihamparkan di tanah dan yang mau memotret atau melihat, menjejerkan uangnya hingga penuh di daun itu. Pemerintah juga sudah turun tangan dengan membuatkan rumah-rumah untuk mumi ini. Tapi mumi tak pernah ditarok di dalamnya. Mumi tetap disimpan seperti semula, dalam honie. Di daerah pegunungan Jayawijaya sebelah barat juga ada mumi. Bentuknya lebih aneh lagi. Giginya masih melekat di rahang. Dan katanya, rambut pun masih ada yang bertengger di batok kepalanya. Dengan bahan apa mereka memumikan orang, masih dirahasiakan. Adonan untuk menjarangkan anak juga ada, juga dirahasiakan. Satu hal yang terlihat di Lembah Baliem sama dengan tempat lain adalah anak-anak bermain bola. Berkoteka maupun yang bercelana. Padang rumput memang banyak di sana. Pak Harto yang pernah berjanji memberi kambing buat Obahorok juga dinanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus