Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUBLIK tampaknya tak mudah lupa akan drama pembelotan Partai Keadilan Sejahtera dalam detik-detik penentuan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas naik-tidaknya harga bahan bakar minyak, akhir Maret lalu. Ketika itu, di pengujung sidang, PKS dengan lantang menyatakan penolakan mereka. Sikap ini berlawanan dengan kesepakatan bersama semua partai pendukung pemerintah (Partai Demokrat, Golkar, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa). Dengan penolakan itu, PKS berdiri sejajar di kelompok partai oposisi, bersama Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hanura, dan Gerindra. Sikap partai ini berbuntut panjang. Mitra mereka di koalisi murka. Para pendukung pemerintah ini meminta keikutsertaan PKS dalam koalisi diakhiri. Konsekuensinya, tiga menteri asal partai itu juga harus dicopot. Mereka adalah Tifatul Sembiring (Menteri Komunikasi dan Informatika), Salim Segaf al-Jufri (Menteri Sosial), dan Suswono (Menteri Pertanian). Sedikitnya 68 persen pembaca situs berita Tempo.co, yang mengikuti jajak pendapat sepanjang pekan lalu, mendukung kubu ini. "Seharusnya koalisi tidak hanya mau enaknya saja," kata seorang pembaca bernama Dimazoga. "Kalau mau menentang terus, memang sebaiknya jadi oposisi saja," ia melanjutkan. Etika berpolitik macam itu yang tampaknya masih perlu dipelajari partai politik di Indonesia. |
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo