Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Anda, perlukah Badan Intelijen Negara diberi kewenangan menahan orang untuk mencegah terulangnya aksi teror?
(29 September-5 Oktober 2011) |
||
Ya | ||
61,17% | (408) | |
Tidak | ||
37,03% | (247) | |
Tidak Tahu | ||
1,80% | (12) | |
Total | (100%) | 667 |
BOM bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Kepunton, Solo, Jawa Tengah, dua pekan lalu membawa duka sekaligus amarah buat banyak orang. Masyarakat geram karena rasa keamanannya terancam oleh teror yang berulang. Belum genap enam bulan lalu, bom serupa meledak di Masjid Az-Zikra, Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon, Jawa Barat. Belakangan terungkap, Ahmad Yosepa Hayat, pelaku teror di Solo, memang satu komplotan dengan pengebom di Cirebon.
Frustrasi publik akibat serangan bom bunuh diri ini membuat diskusi soal penguatan kewenangan Badan Intelijen Negara mengemuka lagi. Dalam beberapa tahun terakhir—terutama pascareformasi TNI—lembaga telik sandi itu memang kerap mengeluh tak bergigi. Diskusi soal penguatan BIN menjadi relevan karena hari-hari ini kebetulan parlemen sedang membahas Rancangan Undang-Undang tentang Intelijen Negara.
Di luar dugaan—berlawanan dengan keputusan Dewan Perwakilan Rakyat dua pekan lalu—separuh lebih pembaca Tempo Interaktif setuju kewenangan BIN diperkuat dengan diberi kewenangan menangkap orang yang diduga teroris. "Yang penting aman, ibadah tidak ada gangguan, ada gejala teror cepat ditindak," kata seorang pembaca dengan nama pena Den Bekel.
Meski begitu, yang tak setuju juga tidak sedikit. Tak kurang dari 37,03 persen responden menolak penguatan BIN. Mereka khawatir kekuasaan besar itu disalahgunakan. "Bakal main tangkap sembarangan kayak zaman Orba, dong," kata Syamsul, responden lainnya.
Indikator Pekan Ini PERSETERUAN Komisi Pemberantasan Korupsi dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat memasuki babak baru. Dua pemimpin Badan Anggaran—Tamsil Linrung dan Olly Dondokambey—akhirnya bersedia dipanggil KPK, Senin pekan lalu. Pada saat bersamaan, para pemimpin KPK pun memenuhi undangan parlemen ke Senayan. Meski terkesan sudah akur, toh pertemuan konsultasi antara Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi, kepolisian, dan kejaksaan itu diwarnai serangan pedas para politikus atas keberadaan KPK. Anggota DPR secara bergiliran mempertanyakan pola dan strategi KPK menyidik kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota parlemen. Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Azis Syamsuddin, misalnya, mempertanyakan status pemanggilan empat pemimpin Badan Anggaran. Dia menuding KPK bersikap tidak adil. "Jangan sampai ada upaya mengalihkan isu yang berkembang," kata politikus Partai Golkar ini. Wakil ketua lainnya dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fahri Hamzah, bahkan lebih keras lagi. Dia menegaskan, KPK lebih baik dibubarkan. "Lebih baik KPK dibubarkan karena saya tidak percaya adanya institusi super-body dalam demokrasi," kata Fahri. Mendadak sontak pernyataan Fahri itu menuai kecaman dari berbagai kalangan. Lontaran itu dinilai sebagai cermin adanya serangan balik terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dipelopori KPK. "Ini bagian dari skenario corruptors fight back," kata Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Muchtar. Menurut Anda, apakah KPK sudah di jalur yang benar dalam menangani kasus-kasus korupsi? Kami tunggu tanggapan dan jawaban Anda di www.tempointeraktif.com. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo