SAYA telah membaca (kembali) rubrik Iqra TEMPO Edisi Kemerdekaan Republik Indonesia 12-19 Agustus 2001, yang memuat khusus perjalanan perjuangan Bung Hatta.
Menurut hemat saya, ada satu kesaksian Bung Hatta yang belum dimuat di rubrik tersebut, padahal juga tidak kalah pentingnya dari hal-hal yang telah dimuat pada bagian itu. Seperti kita ketahui, akhir-akhir ini muncul (dimunculkan) kembali masalah tujuh kalimat/kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta, baik di lembaga legislatif maupun di media massa.
Sebenarnya bagaimana riwayat penghapusan tujuh kalimat Piagam Jakarta yang kemudian menjadi Pembukaan UUD 1945 itu?
Inilah kesaksian Bung Hatta sebagaimana diuraikannya dalam booklet tertanggal 1 Desember 1969 yang berjudul ”Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945”, yang diterbitkan oleh penerbit Tentamas Jakarta, 1969. Beliau antara lain bercerita, mula-mula menerima telepon dari Tuan Nisjidjima, pembantu Admiral Mayeda (Maeda), apakah Bung Hatta bersedia menerima seorang opsir kaigun (angkatan laut) yang ingin menyampaikan suatu hal yang sangat penting bagi bangsa Indonesia. Opsir (yang Bung Hatta lupa namanya) itu memberitahukan dengan sungguh-sungguh bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan UUD yang berbunyi ”ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Setelah beradu argumentasi dan opsir Jepang tersebut sungguh-sungguh menyukai Indonesia merdeka dan bersatu sambil menginggatkan kepada semboyan ”bersatu kita teguh dan berpecah kita jatuh”, akhirnya Bung Hatta terpengaruh juga pandangannya (halaman 58).
Keesok paginya, 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, Bung Hatta menemui dan mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wachid Hasjim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Teuku Hasan dari Sumatra untuk mengadakan rapat pendahuluan guna membicarakan masalah tersebut. Akhirnya, demi persatuan dan jangan pecah sebagai bangsa dimufakati untuk menghapus tujuh kalimat tersebut. Selanjutnya, kata Bung Hatta, apabila suatu masalah yang serius dan bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang dari 15 menit, itulah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-benar mementingkan nasib dan persatuan negara (halaman 59). Bagaimana dengan sekarang?
SOEKRO SOEMANTO, S.H.
Teluk Tomini 33, RT 02 RW 05
Kelurahan Perak Utara, Pabean, Cantian
Surabaya 60165
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini