Rubrik Nasional TEMPO edisi 27 Oktober-2 November 1998 memuat wawancara wartawan TEMPO dengan A.M. Saefuddin mengenai pernyataannya yang menyinggung umat Hindu. Sama seperti Bung Uddin, saya seorang demokrat berpendapat apa yang dinyatakan Bung Uddin adalah haknya. Salah satu esensi demokrasi adalah kebebasan menyampaikan pendapat. Apakah pendapat itu keliru atau tidak, masyarakatlah yang menilai.
Namun, posisi Bung Uddin ini "istimewa". Sebagai salah seorang menteri Kabinet Reformasi, ia sebenarnya harus menyadari bahwa ucapannya haruslah juga mencerminkan posisinya sebagai salah seorang pemimpin bangsa dan intelektual.
Bung Uddin mengatakan, "Apakah ada sebuah bangsa yang dipimpin minoritas?" Artinya, Bung Uddin ingin mengatakan bahwa tidak ada bangsa yang dipimpin oleh warga minoritas, dari segi agama, ras, aliran politik, dan sebagainya. Bung Uddin sebelumnya juga mengatakan bahwa "demokrasi itu mayoritas."
Tidak tahukah Bung Uddin bahwa bangsa Filipina, tetangga kita, yang mayoritas Katolik, pernah dipimpin oleh Presiden Fidel Ramos yang Protestan?
Ia juga keliru ketika menyatakan (kurang lebih) bahwa penjarahan "dibenarkan" karena sudah diperhitungkan sebagai risiko bisnis. Jadi, relakah bangsa Indonesia mempunyai calon presiden yag kerap keliru?
Hadi Satyagraha, Ph.D.
Jalan Gaharu II/25
Bekasi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini