Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA ingin menyoal jumlah dan susunan keanggotaan MPR-DPR, sebagai referensi:
Dalam UU No. 4 Tahun 1999, anggota MPR ditetapkan 700 orang dengan rincian anggota DPR 500 orang, utusan daerah 135 orang, dan utusan golongan 65 orang. Dari anggota DPR yang 500 orang tadi, sebanyak 462 orang dipilih lewat pemilu, sementara yang 38 orang adalah wakil ABRI yang diangkat. Dari referensi (2), saya setuju bahwa Pemilu 1999, sejurdil dan seluber apa pun, tidak akan mungkin memenangkan golongan prodemokrasi atau proreformasi. Sebab, untuk mematahkan kekuatan status quo di MPR, dibutuhkan 357 suara (separuh anggota MPR ditambah satu, dan, untuk amannya, dibulatkan menjadi 51 persen).
Angka 357 tersebut jika seluruhnya diandalkan pada wakil di DPR, yang dipilih lewat pemilu adalah 77,3 persen (357 terhadap 462). Kekuatan-kekuatan proreformasi, kalaupun berkoalisi habis-habisan, rasanya sulit mencapai kemenangan sampai 77,3 persen. Maka, sejak sekarang sudah diketahui bahwa yang bakal menang dalam pemilu adalah kekuatan prostatus quo. Dan golongan proreformasi, silakan gigit jari.
Pangkal musibah adalah jumlah dan susunan anggota DPR dan MPR. Anggota DPR yang dipilih lewat pemilu hanya 462 orang, lembaga ini dibikin menjadi MPR dengan tambahan anggota 200 orang. Dari mana saja mendapatkan angka 200 tersebut?
Wakil-wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu itu saja sifat representatifnya sudah terancam karena ada 38 anggota yang diangkat, yang berarti sudah disimpangkan 7,6 persen (38 terhadap 500). Kalau kemudian pada wakil rakyat (DPR) yang sudah kurang representatif ini ditambah 200 orang lagi (dengan cara pengangkatan), lantas lembaga yang terbentuk mewakili siapa? Apakah lembaga bentukan ini bisa disebut penjelmaan rakyat seperti amanat UUD 1945?
Jadi, angka 200 itulah yang menjadi sumber bencana, yang bahkan pada masa Orde Baru bukan 200, tetapi 500. Karenanya, jika sepanjang zaman di republik ini tidak bakal ada yang disebut kehidupan demokrasi, orang tak usah heran. Untuk apa pula repot-repot menyelenggarakan pemilu dengan biaya besar dan pakai tumbal nyawa manusia segala kalau hasilnya dimentahkan oleh wakil jadi-jadian yang 200 orang tadi?
Dari pernyataan Ibu Supeni, yang menarik adalah pesan bahwa seluruh anggota MPR itu harus dipilih lewat pemilu. Jika ketentuan itu benar ada dan dicatat sebagai minute of meeting dari Panitia Penyelidik Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 15 Juli 1945, mestinya itu dicari dan kemudian diacu.
Jika seluruh anggota MPR harus dipilih, tidak perlu ada kerancuan seperti dipaparkan di atas. Sedangkan dari kuliah Prof. A.G. Pringgodigdo (almarhum), anggota MPR yang terdiri dari utusan daerah dan golongan sifatnya melengkapi anggota DPR, bukan membongkar legitimasi DPR dan memubazirkan hasil pemilu.
Anggota yang ditambahkan tersebut bisa mewakili puak, suku, atau golongan masyarakat Indonesia yang, walaupun ikut pemilu, tetap tidak akan terwakili kepentingannya. Golongan masyarakat demikian misalnya suku Asmat, suku Dani, suku Kubu, suku Badui, dan suku Gayo. Tambahan tadi bisa juga merupakan wakil organisasi massa yang tidak terjaring secara eksplisit dalam pemilu, seperti NU, Muhammadiyah, DGI, Kosgoro, dan LVRI. Di samping itu, wakil golongan tadi sangat ditekankan pada wakil serikat sekerja dan koperasi.
Termasuk dalam golongan yang perlu diwakili di MPR adalah PNS, ABRI, dan Polri (jika ada wakil ABRI di DPR, itu salah tempat).
Maksud utama dari pengaturan tadi semata-mata agar dalam lembaga MPR, yang disebut penjelmaan rakyat tadi, tidak ada satu pun golongan masyarakat di Indonesia yang terlewatkan tanpa wakil.
Jadi, menurut pendapat saya, ketentuan dalam UU No. 4 Tahun 1999 tersebut sebaiknya diamandemenkan dulu. Setelah itu, barulah pemilu dilaksanakan, agar bangsa ini tidak buang tenaga sia-sia.
MARTONO MODJO
Jalan Danau Maninjau Raya 221
Sukmajaya, Depok
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo