Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 5 Februari 2000, pemerintahan Gus Dus genap berusia tiga bulan. Masa bulan madu akan berakhir, sementara situasi Tanah Air masih belum menentu. Restrukturisasi ekonomi sebagai landasan untuk pengembangan ekonomi masih belum jelas juntrungannya. Rekapitalisasi perbankan semakin rumit. Bahkan, Bank Indonesia mengancam pemerintah akan mendebetkan dana BLBI Rp 51 triliun yang dipermasalahkan pemerintah, ke rekening 20 bank penerima BLBI. Kalau ini benar-benar terjadi, 20 bank tersebut akan mengalami skor-kliring dan pemerintah akan menanggung biaya ekonomi (economic cost) semakin besar.
Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme berjalan di tempat. Para pejabat yang terlibat korupsi masih adem ayem, termasuk Soeharto. Para penjarah ratusan triliun uang rakyat melalui berbagai bank pemerintah dan swasta masih bisa bermain golf, bersenang-senang menikmati hasil jarahannya.
Kekacauan masih merajalela. Di mana-mana terjadi huru-hara, kerusuhan, amuk massa. Di Aceh, Ambon, dan sekarang menjalar ke seluruh Maluku. Saling bakar, saling bunuh masih saja berlangsung atas nama agama. Padahal, tak satu pun agama di dunia yang menghalalkan baku tembak dan baku bunuh. Bahkan peristiwa dukun santet episode pertama, yang dimulai dari Banyuwangi dan sekitarnya satu tahun yang lalu, kemudian disusul episode kedua di Ciamis, sekarang sudah terbit episode ketiga yang dimulai dari Malang Selatan. Emosi massa sangat mudah tersulut. Persoalan kecil menjadi amuk massa yang dahsyat, seperti yang terakhir terjadi di Wisma Doulos. Sebaliknya, alat negara, tentara dan polisi, yang mestinya mengamankan segala kekacauan dan menindak tegas semua pelakunya, seperti tak tahu apa yang harus dilakukan. Bahkan terkesan mendua dan salah kaprah. Yang seharusnya ditindak dibiarkan. Sebaliknya, yang semestinya dilindungi malah jadi korban, seperti yang sering terjadi di Aceh.
Tentang kegamangan aparat dalam menghadapi berbagai kerusuhan ini sudah banyak pakar dan pengamat militer yang berpendapat. Ada yang mengatakan, TNI dan polisi ragu-ragu karena takut dituduh melanggar hak asasi. Ada juga yang berpendapat dalam intern tubuh TNI dan polisi sekarang ini sedang terjadi ”pertarungan” yang sengit antara kekuatan status quo dan reformasi. Lainnya mengatakan ini merupakan pelecehan terhadap hak asasi manusia. Bahkan, yang paling ekstrem berpendapat bahwa TNI sedang melakukan konspirasi politik tingkat tinggi untuk membendung kekuatan reformasi atau sekurang-kurangnya menghambat gerakan reformasi total sambil mencari bentuk reposisi yang paling ideal untuk mempertahankan privilege yang sudah dinikmatinya selama 32 tahun lebih.
Apa pun pendapat para pakar dan para pengamat militer itu, satu hal yang pasti, kita semua hidup dalam negara kesatuan RI yang katanya berdasarkan hukum dan demokrasi. Suatu negara, apa pun bentuk dan ideologinya, selalu mempunyai watak universal, yang mengandung dua unsur yang saling membutuhkan, yang saling menunjang, dan kait-mengait, yaitu demokrasi dan diktator.
Pemilihan umum, dewan perwakilan rakyat, kebebasan pers, dan kebebasan berbicara merupakan representasi dari demokrasi. Sebaliknya, tentara, polisi, kejaksaan, pengadilan, dan penjara adalah representasi dari kediktatoran. Mereka adalah instrumen yang harus taat pada negara tanpa reserve. Di sinilah letak kebenaran teori yang mengatakan tentara sebagai alat negara tidak boleh berpolitik. Sebab, begitu tentara berpolitik, akan terjadi negara dalam negara seperti di Indonesia sekarang ini, dengan TNI yang memainkan peranan politik penting, dengan doktrin dwifungsinya. Pemerintah harus ”mohon restu” dari tentara.
Masalahnya, kediktatoran atau demokrasi itu digunakan oleh siapa dan terhadap siapa. Pemerintahan Soeharto, misalnya, mengklaim pemerintahannya sebagai penganut demokrasi Pancasila. Kenyataannya, itu hanya berlaku bagi segelintir bos konglomerat, penguasa, dan kaum birokrat bersama kroni-kroninya. Sebaliknya, seluruh rakyat Indonesia hanya menjadi obyek kediktatorannya.
Sekarang ini, tampaknya pemerintahan Gus Dur masih memainkan aspek demokrasinya. Maka, kita tidak perlu heran kalau dalam forum-forum dialog, baik dengan masyarakat Aceh, Ambon, maupun Papua Barat, Gus Dur selalu mengatakan bahwa persoalan mereka sebaiknya diselesaikan oleh mereka sendiri. Pemerintah pusat hanya memfasilitasi.
Memang, Gus Dur adalah mantan pemimpin LSM, seorang budayawan yang humanis yang sangat peduli terhadap kehidupan demokrasi di Tanah Air. Tetapi, sebagai negarawan adalah keliru sekali bila Gus Dur mengabaikan aspek kediktatoran suatu negara untuk menyelamatkan reformasi dari rongrongan kekuatan status quo dan sisa-sisa sistem militerisme rezim Soeharto. Dalam hal ini pemerintah Gus Dur tidak perlu takut dituduh represif karena jelas kediktatoran itu digunakan untuk menyelamatkan reformasi dan menumpas sisa-sisa kekuasaan rezim militer Soeharto. Justru di sinilah letak pembeda antara pemerintahan Soeharto yang tidak disukai rakyat dan pemerintahan Gus Dur yang memiliki legitimasi.
Hal ini memang mudah diucapkan atau dituliskan tapi sulit dipraktekkan. Sebab, seluruh instrumen kediktatoran negara sekarang ini, mulai dari TNI, polisi, kejaksaan, pengadilan, dan penjara, dari pusat sampai daerah, masih merupakan instrumen rezim Soeharto yang harus segera dibongkar dan diganti dengan yang baru. Untuk perombakan besar-besaran ini, pemerintah Gus Dur memerlukan dukungan dari seluruh kekuatan demokratis di Tanah Air. Tanpa dukungan itu, sulit bagi pemerintah Gus Dur untuk bisa menyelesaikan tugas-tugasnya yang sangat berat tapi suci dan mulia ini.
Bila hal ini benar-benar bisa terwujud, kita akan memasuki milenium ketiga ini dengan harapan yang cerah. Disintegasi pasti terhindarkan. Kekacauan bisa teredam. Perekonomian akan pulih. Tradisi demokrasi dan supremasi hukum akan terbangun. Sejuta harapan rakyat akan segera menjadi kenyataan. Insya Allah.
H.SUPARMAN
Tasikmalaya
e-mail : [email protected]
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo