Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pertarungan Belum Selesai

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Riswandha Imawan
Pengamat politik

ADALAH hak tiap warga untuk berserikat dan berkumpul. Namun, bila sebuah perserikatan politik berkumpul, jadilah ia sebuah fenomena sosial yang untuk membacanya harus dikaitkan dengan situasi kejadiannya. Ini dapat kita gunakan untuk mencermati fenomena kongres, muktamar, atau musyawarah nasional yang akan digelar oleh beberapa partai politik dalam waktu dekat. Sebagai sebuah institusi politik tertinggi di tiap partai, umumnya perhelatan semacam itu digelar untuk mengambil keputusan-keputusan strategis, yang menentukan nasib partai. Menjadi tidak umum tatkala beberapa partai yang umurnya belum sampai lima tahun juga berencana menggelar perhelatan politik yang amat strategis itu. Awam bertanya, "Apa yang terjadi?" Apalagi, dua partai yang berseberangan, PAN dan PDI Perjuangan, berencana menggelar perhelatan mereka pada waktu yang hampir bersamaan. Bahkan, para pendukungnya sudah bertekad mempertahankan figur pemimpinnya. PDI Perjuangan tetap mempertahankan Megawati Sukarnoputri sebagai ketua umumnya. Sedangkan PAN tetap menjagokan Amien Rais sebagai komandannya. Artinya, kalaupun para pemimpin itu dinilai gagal memenuhi amanat partai, kesalahan dinilai bukan terletak pada figur, melainkan pada strategi partai secara keseluruhan. Bila dicermati, fenomena pendukung partai enggan menyoalkan figur pemimpin mereka mengindikasikan bahwa kehidupan kepartaian di Indonesia belum beranjak dari paradigma lama seabad silam. Kala itu, kehidupan partai politik sangat bergantung pada mati-hidupnya seorang pemimpin. Mekanisme kerja belum terinstitusionalisasi, belum tertumpu pada struktur, tapi lebih bergantung pada kreativitas individual pemimpin. Sejarah mencatat bahwa Partai Sarekat Islam mulai meredup tatkala H.O.S. Tjokroaminoto wafat. Budi Utomo melorot pamornya tatkala dr. Sutomo surut. Dan PNI pun sempat bingung tatkala Bung Karno hengkang. Kecemasan kembali menguatnya politik aliran dalam Pemilu 1999 inilah, atau lebih khusus lagi terpusatnya kehidupan politik pada para tokoh, bukan institusi, yang merupakan kecemasan pengamat politik di balik kegembiraan menyaksikan penyelenggaraan pemilu yang dinilai paling demokratis itu. Fenomena ini memberikan pesan kuat bahwa sebagai bangsa kita belum matang berpolitik. Perjalanan kita membangun suatu bangsa baru selama (hampir) 55 tahun terasa mubazir. Upaya pendidikan politik lewat pemilu yang selama ini dilaksanakan dapat dikatakan gagal. Kegagalan itu tampaknya dimulai dari ketidakmampuan politisi generasi kedua kita untuk melepaskan diri dari warisan konflik politik generasi pertama, generasi yang memerdekakan bangsa Indonesia. Konflik yang muncul pada generasi pertama, yang seharusnya dibaca sesuai dengan konteks zamannya, dicerna sebagai perjuangan ideologis yang belum terwujud. Kasus bentuk negara (federal atau kesatuan) ataupun prinsip bernegara yang melahirkan Piagam Jakarta, misalnya, harus dipahami sebagai wacana para founding fathers mencari fondasi terbaik bagi upaya membangun watak bangsa (national and character building). Realitas politik yang kita amati, baik sebelum maupun sesudah Pemilu 1999 serta saat Sidang Umum MPR 1999, membuktikan bahwa "kemenangan" satu partai dibaca sebagai ancaman juga bagi keberadaan garis ideologi yang dibangun oleh para politisi generasi pertama, yang dipahami secara kaku oleh politisi generasi kedua. Pandangan yang stereotip: nasionalis atau agama dipertahankan, bahkan diletakkan pada posisi zero sum game. Naiknya para politisi dari kubu nasionalis dibaca sebagai upaya penihilan kesempatan bagi politisi kubu agama. Demikian pula sebaliknya. Akibatnya, bila ada suara kritis dari salah satu kubu, itu selalu dibaca sebagai upaya untuk menjatuhkan kubu yang lain. Ini tentu tidak kondusif bagi upaya kita membangun satu bangsa Indonesia yang utuh. Selama para politisi menilai sikap kritis sebagai upaya untuk saling menjatuhkan, selama itu pula perjalanan national and character building kita masih jauh dan berliku-liku. Kegagalan kita juga karena kita terperangkap oleh politik simbol. Para politisi asyik berkelahi soal simbol yang digunakan. Lupa pada esensi perjuangan yang sama, yang sebenarnya bisa dijadikan titik awal untuk lebih serius menggarap national and character building. Lupa pada semangat mengedepankan persamaan, yang dulu dicontohkan oleh politisi generasi pertama. Bung Karno berbeda pendapat dengan Sutan Sjahrir, tapi mereka dapat duduk semeja menikmati teh hangat sambil berusaha memaksimalkan persamaan pandang yang ada. Hal yang sama terjadi antara Sultan Hamengku Buwono IX dan Sultan Hamid, atau antara Bung Karno dan Bung Hatta. Disadari atau tidak, semangat inilah yang memudar dari para politisi. Sangat mungkin ini berkaitan dengan pengalaman 32 tahun otoritarianisme Orde Baru. Pintu demokrasi tertutup itu tiba-tiba terbuka. Tiap orang memandangnya sebagai sebuah kesempatan untuk menancapkan kuku-kuku kekuasaan. Jadilah hubungan di antara para elite lebih bernuansa sikut-sikutan daripada saling membantu. Ini mulai terlihat dari mulai munculnya gejala para elite (terutama yang berada di jajaran eksekutif) untuk memanfaatkan posisinya dalam rangka persiapan partai masing-masing menghadapi Pemilu 2004. Fenomena rebutan posisi basah, baik di jajaran eksekutif maupun BUMN, tidak lepas dari afiliasi politik tiap elite serta kewajibannya berbakti kepada partai. Dalam konteks inilah fenomena upaya mempertahankan kepemimpinan partai dalam kongres, muktamar, ataupun musyawarah yang dirancang itu harus dibaca. Sah saja. Tapi ada dua catatan yang patut kita renungkan. Pertama, para patron yang akan dipertahankan adalah mereka yang sedang dipercaya mengurus krisis yang kita hadapi. Bila sampai mereka gagal, besar kemungkinan itu berakibat fatal terhadap kehidupan tiap partai. Kedua, bila benar indikasi bahwa Pemilu 1999 hanyalah "pemanasan" terhadap pertarungan politik pada tahun 2004 nanti, sah saja masyarakat bertanya, "Kapan para elite benar-benar serius memikirkan nasib bangsa, negara, dan rakyat Indonesia?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum