SEJUMLAH sastrawan berkumpul di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Maret lalu. Di sana mereka mendiskusikan kembali masalah yang menjadi topik debat 50 tahun silam: Polemik Kebudayaan. Banyak pikiran menarik dalam debat itu. Tapi pikiran-pikiran yang tak ketahuan ujung pangkalnya juga menyelinap ke sana. Sulit memang mencegah forum diskusi agar tak menjadi mimbar tempat menyampaikan apa saja yang sulit dikemukakan di tempat lain. Tapi, akibatnya, moderator juga akan kehilangan ruang gerak, sehingga diskusi akan melenceng dari topik yang ditentukan semula. Di luar forum diskusi, cukup banyak pula gagasan yang dilontarkan lewat tulisan maupun wawancara. Persoalan yang sering timbul, lewat wawancara, akurasi pada laporan lemah. Akibatnya, keutuhan pikiran terganggu. Selain itu, wawancara maupun berbagai artikel seperti berjalan sendiri karena para pemikir kita kelihatan amat sibuk memasarkan sebanyak mungkin gagasan. Sehingga tidak ada lagi waktu untuk menanggapi gagasan orang lain. Apa arti sebuah gagasan jika akhirnya lenyap bersama dengan berangkatnya lembaran koran ke tukang loak. Menyadari pentingnya pertukaran pikiran bagi pencarian alternatif dalam segala segi dan aspek kehidupan kita, maka mulai nomor ini Anda bisa mengikuti polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana dan sejumlah penulis - yang diminta Redaksi untuk itu. Polemik lewat kolom ini barangkali bukan ide orisinil. Tapi, kalau usaha ini bisa berhasil, paling sedikit kita mendapatkan cara lain untuk bertukar pikiran. Jika usaha ini berhasil, tidak tertutup kemungkinan bagi topik-topik lain - olah raga, ekonomi, pendidikan, politik, hubungan luar negeri - untuk diangkat menjadi pokok perdebatan. Polemik lewat kolom ini akan kami muat dalam beberapa nomor TEMPO secara berturut-turut. Maka, setelah Taufik Abdullah, Arief Budiman, Sutarji Calzoum Bachri, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, dan lain-lain, "menyampaikan makalahnya", Takdir akan tampil sekali lagi untuk memberikan jawaban. Selamat mengikuti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini