Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dan kritik syu'bah asa

Tulisan syu'bah asa mengenai lakon wanita-wanita parlemen karya nano riantiarno dinilai kurang lengkap dan tidak menjelaskan proporsi yang sebenarnya. (kom)

17 Mei 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Syu'bah Asa menulis tentang lakon Wanita-Wanita Parlemen (WWP) dari Teater Koma, dengan pembuka: "Ada penyalahgunaan narkotik, ada penyalahgunaan erotik. Bila Wanita-Wanita Parlemen lakon Nano Riantiarno yang sedang mentas di Tamar Ismail Marzuki - tidak mendapat nama baik, sebabnya terutama karena ia memberi kesan menyandarkan diri pada hal-hal pornografis. Mereka puja-puj. wanita, katanya/Tapi yang terbayang cuma anunya Cucurucu, cuap, cuap . . . (TEMPO 3 Mei, Teater) Awal tulisannya, kocak, memang. Betapa tidak? Kutipan syairnya sungguh-sungguh secuil. Syair yang dinyanyikan tiga wanita itu (Banowati, Wariski, dar Dursilawati) selengkapnya sebagai berikut: Dengan kepala kosong dan atribut ini Para lelaki menguasai dunia Cucurucu, cuap, cuap Coba tanya apa yang penting bagi lelaki Jawabnya: Kursi, Harta, dan Wanita Cucurucu, cuap, cuap Tapi lihat sikap dan tindakan lelaki wanita tak lebih cuma alas kaki Cucurucu, cuap, cuap Cinta bagi lelaki adalah mimpi Bagi wanita, artinya kendali Nikah bagi lelaki adalah sejarah Bagi wanita, artinya penjara Mereka puja-puja wanita, katanya Tapi yang terbayang cuma anunya Cucurucu, cuap, cuap Cucurucu, cuap, cuap (Bait terakhirnya yang dicuil Syu'bah) Cuilan syair Nyanyian Tiga Perempuan di atas, agaknya cukup bagi Syu'bah, dengan kesimpulan: WWP "menyandarkan diri pada hal-hal pornorafis". Ibarat orang buta yang meraba kaki gajah, dan menyimpulkan: binatang gajah adalah pilar-pilar lembek dengan permukaannya yang kasar dan berbulu. Astaga! Bila yang terpegang belalainya, haruskah disimpulkan bahwa gajah adalah sejenis armada pemadam kebakaran, yang pipa karetnya pendek serupa pentungan sang penjaga pasar? Ini, kekocakannya yang pertama. Kekocakan kedua, WWP yang menurut Syu'bah "menyalahgunakan erotik", pada alinea lain justru ia bertanya-tanya, "Tapi, bukankah hal-hal seksual sudah agak lama juga muncul di panggung-panggung TIM? Tapi pertanyaan itu agaknya hendak dialirkan ke dalam timbunan teorinya mengenai seks sebagai ekspresi seni: Rendra lain. Seks dan kalimat jorok apa pun, lebih terasa sebagai ekspresi liar pemberontakkan, baik orang setuju maupun tidak. Manakah konsep Nano dengan WWP-nya berlainan dengan konsep Rendra mengolah perkara seks? Sayang, memang, perkara dasar berpijak ini tak dirinci Syu'bah. Hingga memberi kesan gebyah-uyah. Sama-sama berkaki empat, toh terdapat perbedaan antara binatang kuda, unta, jerapah, dan gajah? Bila tulisan Syu'bah "main comot" demikian, tampaknya ada sesuatu yang tak beres dalam kritiknya. Cara mengutip (mencuil?) syair yang tidak lengkap menyebabkan tidak lengkap pula proporsi penilaian Syu'bah sejak memutuskan "anu" sebagai pendukung penilaian WWP menyalahgunakan erotik. Karena perbandingan dengan Lho-nya Putu, dan . . .(tak dijelaskan)-nya Arifin C. Noer, atau . . .(tak dijelaskan pula)-nya Rendra, tak dijelaskan, maka tidak ketahuan pula konsep masing-masing drama itu. Bila benar sebutan untuk Lho-nya Putu adalah kekaburan (absurditas), bukankah sejak dasar ini sudah berbeda dengan WWP yang pada pengamatan saya dilumuri gaya hidup konsumeristis. Kitsch. Populer. Bagai barang adonan dalam etalase, atau pasar swalayan, yang sepenuhnya materialistis - dan glamourous. Dan, bila lahir parodi dari dalamnya, tentu saja tak bisa dipaksakan seperti parodi Lysistrate (411 SM) di tangan Rendra, yang bergulung-gulung dalam dongeng negeri seberang, Yunani. Meski cerita WWP lahir dari tangan yang sama: Aristophanus, dan ecclesia - paderi/ulama - di tangan Nano meski - mungkin - jauh berbeda dengan yang di Yunani, bukan jaminan unsur erotik yang, pada pengamatan saya, kadarnya di bawah Opera Kecoa, yang nyata-nyata berbicara soal tempat pelacuran disalahgunakan atau apalah sebutannya. Dari sejumlah ketaklengkapan Syu'bah dalam menulis, kecuali proporsi WWP yang diabaikan, ia juga menyalahgunakan kritiknya untuk: nanana blaba. Toh pada akhir tulisan, Syu'bah mengulangi bertanya: Benarkah bijak bila panggung-panggung kita, di hari-hari ini dan besok, dipenuhi hal-hal yang begitu memble Tidak bijak, memang, bila kritik WWP ditulis begitu memble. Terus, WWP! GENDUT RIYANTO Jalan Otista III Kompl. II/14 A Jakarta Timur

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus