Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Tertahan Salmonella

Arsip 7 September 1974.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ekspor Lobster Indonesia ke Amerika Serikat Dihadang Salmonella

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komoditas ekspor Indonesia yang mayoritas lobster, udang, dan kodok, ditahan oleh FDA.

  • Komoditas tersebut tiba di Amerika Serikat dalam keadaan membusuk dan tercemar Salmonella.

  • Upaya kontrol mutu hanya formalitas.

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka dugaan korupsi ekspor benur lobster, Rabu, 25 November lalu. Edhy diduga menerima suap senilai Rp 3,4 miliar. Menurut Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango, uang tersebut dibelanjakan Edhy dan istrinya, Iis Rosyita Dewi, di Honolulu, Amerika Serikat.

Uang tersebut diterima Edhy dari PT Aero Citra Kargo, perusahaan tunggal yang menjalankan distribusi ekspor benur. Nawawi mengatakan, pada Mei 2020, Edhy juga menerima uang sebesar US$ 100 ribu dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito melalui staf khusus menteri, Safri, dan pihak swasta bernama Amiril Mukminin. Dalam kasus ini, KPK menetapkan tujuh orang sebagai tersangka.

Lobster pada 1974 juga pernah menjadi pemberitaan besar di Indonesia. Saat itu, banyak ekspor lobster tertahan bersama dengan komoditas lain, seperti kodok dan udang, karena ditolak oleh Badan Pengawas Makanan dan Obat-obatan Amerika Serikat (FDA). Pada edisi 7 September 1974, Tempo menerbitkan laporan berjudul “Misteri Sakit Perut”. Dalam laporan itu disebutkan, selama triwulan pertama 1974, produk Indonesia yang ditahan FDA bernilai lebih dari US$ 1,3 juta atau setara Rp 566,5 juta.

Sebanyak 23 persen dari komoditas tersebut adalah lobster dan paha kodok. Jumlahnya kian membengkak setiap bulan. Salah satu indikatornya adalah jumlah komoditas yang ditahan sepanjang April yang nilainya mencapai US$ 847,5 ribu. Sebanyak 28 persen di antaranya, yang merupakan mayoritas, adalah lobster.

Pangkal persoalannya ternyata adalah soal kesegaran dan mutu komoditas ekspor yang diterbangkan ke Amerika Serikat. Lobster, udang, dan paha kodok tersebut cepat mengalami pembusukan setiba di Negeri Abang Sam. Sementara itu, yang lainnya tercemar oleh bakteri salmonella yang dapat menyebabkan infeksi pada pencernaan manusia. “Bila keadaan ini dibiarkan berlarut-larut, bukan saja merugikan nama Indonesia, tetapi juga pengusaha dan eksportir itu sendiri,” kata pejabat di Direktorat Standarisasi dan Pengawasan Mutu Departemen Perdagangan, Kamarulaman Algamar.

Upaya penyelidikan lantas dijalankan. Balai Penelitian Kimia Bogor dan Lembaga Teknologi Perikanan (LTP) turun tangan mengecek alasan penolakan FDA tersebut. Asisten Direktur LTP Sasuit Tubun mengatakan tingginya kekhawatiran FDA, yang tecermin dari melonjaknya jumlah lobster yang ditolak tersebut, terjadi karena tak ada mekanisme kontrol kualitas sebelum ekspor dilakukan. “Para eksportir belum diwajibkan memeriksakan komoditasnya di sini. Yang ada baru pemeriksaan sukarela yang, itu pun masih tercerai-berai di antara instansi lain,” tuturnya.

Permasalahannya, komoditas yang telah diperiksa pun tetap dinyatakan tak lolos oleh FDA dan ditahan masuk ke negara tersebut. Penelusuran Tempo menunjukkan banyak pengusaha dan eksportir yang “main-main” dalam pengambilan contoh atau sampel yang akan diuji. Dalam prosedur yang benar, petugas laboratorium akan datang untuk mengambil sendiri secara acak sampel yang akan diuji. Dalam praktiknya, banyak eksportir yang sudah menyodorkan sampel untuk diperiksa. Eksportir memilih sendiri mana sampel terbaik untuk kepentingan tes laboratorium.

Akibatnya, tes komoditas seolah-olah dilakukan sekadar untuk memenuhi formalitas prosedur. Kepala Laboratorium Mikrobiologi LTP Purwadi mengatakan banyak eksportir yang mencoba bermain dengan modus yang sama sewaktu hendak memeriksakan sampelnya di LTP. “Untuk kasus seperti ini, kami tidak bisa mengeluarkan sertifikat,” ujarnya.

Menurut Purwadi, jika dalam pemeriksaan dinyatakan tak terdapat kandungan salmonella, bakteri tersebut dapat menginfeksi komoditas dalam pendistribusiannya. Ia menduga beberapa faktor sebagai penyebabnya. Yang kerap ditemukan adalah penggunaan air untuk membilas komoditas dari daerah asal sebelum diangkut dan kualitas air es yang digunakan untuk mendinginkan. “Ada yang menggunakan air kali, ada yang menggunakan air sumur. Bagaimana juga kita memastikan es yang digunakan menggunakan air PAM atau air sungai yang tercemar?” ucapnya.

Masalahnya, Purwadi menambahkan, kualitas air sulit dipenuhi eksportir selama mereka berupaya main mata dengan petugas laboratorium supaya sertifikatnya segera keluar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus