Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Seorang Napi Berjubah Pendeta

Corpus Christi menjadi salah satu film yang diputar di Europe on Screen Indonesia 2020. Mengisahkan seorang tahanan di Polandia yang menyamar sebagai pendeta.

28 November 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bartosz Bielenia berperan sebagai Daniel saat adegan di penjara dalam film Corpus Christi. IMDB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI semacam benturan antara dua kutub. Tentang profesi yang lekat dengan kebajikan, dan yang identik dengan kejahatan. Tentang seorang narapidana muda bernama Daniel yang bercita-cita menjadi pendeta. Benturan itu yang membuat hajat Daniel menjadi nyeleneh. Sampai kemudian mimpi itu terwujud juga. Daniel betulan menjadi pendeta di sebuah kota kecil di Polandia. Tentu ia menyamar. Sebab, mana ada seminari di Polandia yang mau membuka pintu untuk seorang mantan kriminal?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kisah penyamaran Daniel ini menjadi daging film Corpus Christi, besutan sutradara Jan Komasa. Film ini tayang perdana di Venice Film Festival pada Agustus lalu, tapi baru mampir ke Indonesia lewat perhelatan tahunan Europe on Screen (EoS) 2020. Karena pandemi, untuk pertama kalinya dalam sejarah EoS digelar secara daring sejak 16 hingga 30 November 2020. Seperti biasanya, penonton tak dipungut biaya, hanya perlu menyewa film pilihan di platform Festival Scope yang bisa ditonton di gawai mana pun.

Tahun ini, tercatat ada 40 film dari 25 negara Eropa yang lolos kurasi EoS. Di antaranya Swoon, How About Adolf, Afterlife, dan film dokumenter seperti Acasa, My Home, juga For Sama. “Saya berharap Europe on Screen bisa terus menyebarkan pesan pemahaman soal perbedaan budaya, keyakinan, pemikiran, juga nilai-nilai—hal yang penting di era globalisasi,” kata Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Piket, dalam konferensi pers via Zoom, pertengahan November lalu.

Bartosz Bielenia (Daniel) dalam Corpus Christi. IMDB

Di antara puluhan film hasil kurasi EoS Indonesia, Corpus Christi menjadi salah satu yang laris. Tiketnya bahkan sudah ludes jauh hari sebelum tanggal pemutarannya. Ini lumrah mengingat film sepanjang hampir 2 jam tersebut menjadi satu dari lima nomine Best International Feature Film dalam Oscars 2020. Di kategori itu, Corpus Christi bersaing dengan Parasite, film produksi Korea Selatan yang kemudian terpilih menjadi film terbaik. Penghargaan lain dikantongi Corpus Christie. Dalam Venice Film Festival 2019, film ini memenangi Europa Cinemas Label Award dan Edipo Re Inclusion Award.

Film tentang pendeta palsu sebenarnya sudah beberapa kali dibuat. Ada The Flowers of Nanking (2011) yang dibintangi Christian Bale. Dan yang lebih jadul: film komedi We’re No Angels (1989) dengan aktor Robert De Niro dan Sean Penn. Film lain yang masih berbau gereja dan penyamaran adalah Sister Act (1992)—film komedi legendaris pada masanya, tentang seorang penyanyi yang kabur ke gereja dan macak sebagai biarawati.

Walau mengusung resep yang sama, Corpus Christi menarik karena terilhami kisah nyata di negara Eropa Tengah itu. Dalam wawancaranya dengan Los Angeles Times, sutradara Jan Komasa menyebutkan ide cerita datang dari Mateusz Pacewicz. Ia penulis yang meriset pendeta gadungan—salah satunya anak muda yang menyamar dalam perayaan Corpus Christi. Anak muda itulah yang dikisahkan dalam film sebagai Daniel, terdakwa kasus pembunuhan yang sempat terkungkung di penjara remaja. Dosa Daniel bukan hanya membunuh. Dia juga pernah satu-dua kali merampok, dan mengonsumsi narkotik.

Di balik jeruji besi, Daniel (diperankan Bartosz Bielenia) mendapat pencerahan spiritual dari seorang pendeta. Ia pun ingin mengikuti jejaknya. Namun, ya, itu ibarat misi mustahil. Sampai kemudian Daniel bebas bersyarat dan dipekerjakan di bengkel kayu di sebuah kota kecil. Tak ada yang mengenalinya di sana. Tidak juga pendeta senior yang dikisahkan rehat untuk menjalani rehabilitasi alkohol. Karena itu, mudah saja bagi Daniel untuk memasang kedoknya. Perjalanan hidup barunya pun dimulai.

Jubah pendeta sudah dikenakan. Daniel, yang semula berniat sebentar saja mencicipi jubah pendeta, kepalang nyaman. Dia menikmati semua kegiatannya dengan umat, seperti menerima pengakuan dosa, terlibat dalam berbagai acara warga, dan berkhotbah tiap pekan. Daniel juga diterima kalangan muda di kota kecil itu karena tak segan nongkrong dan merokok bareng. Bahkan ia kemudian menjadi rujukan penduduk kota yang masih berkonflik karena tragedi masa lalu.

Jan Komasa menjaga ritme filmnya begitu pas; lambat, tapi terus membuat penasaran. Tidak ada tanjakan curam, simpul yang rumit, ataupun plot twist yang membuat emosi penonton jumpalitan. Ide utama tentang penyamaran pun dibuat wajar, tanpa ada dialog atau perubahan pada diri tokoh utama yang lebay. Di luar gereja, Daniel masihlah anak muda yang demen mengotak-atik sepeda motornya di rumah sembari merokok dan berjoget tipis-tipis. Pengiringnya seru: musik dansa elektro.

Corpus Christi. IMDB

Sedangkan di dalam gereja, Daniel menyaru sebagai Pater Tomasz —nama pendeta yang menginspirasinya saat di penjara. Tak ada khotbah yang menyala-nyala dari mulutnya. Bahkan, saat menerima pengakuan dosa dari jemaat, Daniel mengintip dulu di Internet tata caranya. Materi ceramahnya jauh dari konservatif. Ini dilatarbelakangi kehidupan lamanya yang keras sehingga nasihatnya justru mengena dan membumi.

Dia bahkan memberikan pemahaman teologi yang tak lazim di gereja Katolik itu. Daniel mempertanyakan kenapa orang-orang datang ke gereja untuk beribadah. Sebab, sebenarnya mereka bisa berdoa dalam diam karena Tuhan ada pula di luar gereja, juga dalam diri mereka. Di lain waktu, Daniel juga berseloroh bahwa surga tak hanya berupa Kerajaan Allah—tapi juga berbentuk kehidupan di dunia.

Sosok Daniel yang eksentrik diperankan begitu gurih oleh Bartosz Bielenia. Sekali waktu ia terlihat sangat karismatik dan bijaksana sebagai Pater Tomasz. Namun, dalam kesempatan berbeda, Bielenia adalah Daniel yang rapuh dan labil, dengan hasrat pembuktian diri yang meluap-luap. Mata biru Bielenia juga menjadi semacam senjata tajam yang bisa membuat efek intimidatif, memperkuat karakter Daniel yang kompleks, berlapis-lapis, dan tak terduga.

Sayangnya, akhir film ini menjadi semacam penebusan dosa yang brutal bagi Daniel. Adegan adu jotos itu melemparkan Daniel kembali ke kehidupan lamanya yang gelap dan keras. Penonton pun seperti dipaksa keluar dari mimpi panjang. Begitu pun si pastor gadungan, tak lagi punya banyak pilihan; ia mesti bertahan hidup sekuat-kuatnya.

ISMA SAVITRI

Corpus Christi (Boże Ciało)

Sutradara: Jan Komasa
Asal: Polandia
Pemain: Bartosz Bielenia, Aleksandra Konieczna, Eliza Rycembel
Rilis: 29 Agustus 2019

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Isma Savitri

Isma Savitri

Setelah bergabung di Tempo pada 2010, lulusan Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro ini meliput isu hukum selama empat tahun. Berikutnya, ia banyak menulis isu pemberdayaan sosial dan gender di majalah Tempo English, dan kini sebagai Redaktur Seni di majalah Tempo, yang banyak mengulas film dan kesenian. Pemenang Lomba Kritik Film Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2019 dan Lomba Penulisan BPJS Kesehatan 2013.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus