Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOAL Freeport kembali menghangat, terutama setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto ketahuan menggadang janji bisa memperpanjang kontrak perusahaan Amerika Serikat ini. Freeport memang sedang resah karena kontrak itu berakhir pada 2021. Mereka ingin perpanjangan sekarang agar investasi besarnya ada kepastian. Setya melihat peluang ini dengan mencatut nama Presiden Joko Widodo menawarkan pembaruan kontrak penambangan tembaga di Papua itu.
Sebetulnya kehadiran Freeport selama 48 tahun itu berkah atau kutukan? Tempo membahasnya dalam edisi 25 Januari 1999. Ketika itu nilai saham Freeport sedang jatuh karena jadi bulan-bulanan berita miring. Selamat dari perebutan yang memalukan atas tambang emas palsu di Busang pada 1997, raksasa pertambangan yang bermarkas di New Orleans itu memang belum berhenti menjadi bulan-bulanan berita miring.
Yang pertama ketika Soeharto, pendukung setianya, jatuh pada Mei lalu. Beberapa bulan kemudian, koran terkemuka Amerika, The Wall Street Journal, dan Jeffrey Winters menghebohkan kontrak karyanya yang diduga sarat kolusi. Freeport datang sebagai perusahaan asing pertama yang masuk ke sini setelah rezim Orde Baru membuka peluang bagi investasi asing pada 1967.
Proyek Freeport—yang semula hanya merupakan penambangan tembaga di Pegunungan Erstberg—telah memoles citra Indonesia sebagai "lahan baru" yang menggiurkan bagi investasi asing kala itu. Pengusaha Eropa dan Jepang belakangan mengalir ke sini, menyumbangkan pertumbuhan ekonomi yang gemerlap pada masa Orde Baru.
Lebih gemerlap lagi bagi Freeport sendiri. Hanya dua tahun setelah berproduksi, pada 1973, Freeport berhasil mengantongi perolehan bersih US$ 60 juta dari tembaga yang ditambangnya. Dan, mujur bagi Freeport, pada 1988, yakni 18 tahun sebelum sewa tambangnya usai, perusahaan itu menemukan Grasberg—timbunan emas, perak, dan tembaga senilai US$ 60 miliar—tak jauh dari lokasi penambangan semula. Dan hal itu mendatangkan rezeki sekitar US$ 1,8 miliar untuk perusahaan tersebut setiap tahun.
Pada 1991, Freeport memperbarui kontrak karyanya untuk hak penambangan 30 tahun, dengan kemungkinan diperpanjang 20 tahun sesudahnya. Kontrak karya ini dinilai banyak orang mengandung sejumlah misteri berkaitan dengan lingkungan terdekat Soeharto serta menyinggung nama Ginandjar Kartasasmita (lihat Tempo, 26 Oktober 1998).
Dengan begitu besar "harta karun" yang dipertaruhkan, tak aneh jika Freeport hampir senantiasa berada di pusat sorotan. Selama bertahun-tahun para pengecamnya mengambil Freeport sebagai contoh bagi neokolonialisme gaya baru. Dengan menambang 125 ribu ton bijih mineral tiap hari—belakangan ditingkatkan menjadi 190 ribu ton per hari—dampak lingkungan yang ditimbulkannya akan sulit disembunyikan. Freeport hampir secara harfiah mengubah Grasberg menjadi butiran debu dan mengirimkan limbah penambangannya (tailing) ke Danau Wanagon dan Sungai Ajikwa, yang bermuara di Laut Arafura. Sekitar 40 juta ton tailing disemburkannya setiap tahun.
Pada 1994-1996, setidaknya ada satu laporan yang menuding Freeport telah melakukan kerusakan lingkungan luas, dua laporan tentang pelanggaran hak asasi oleh militer Indonesia (pemerintah Indonesia menguasai 10 persen saham serta Nusamba milik Bob Hasan dan yayasan-yayasan Soeharto menguasai 4,7 persen saham Freeport), dan empat laporan mempertanyakan peran Freeport dalam membantu represi oleh militer.
Wall Street Journal menyinggung kaitan Freeport dengan pejabat Indonesia di bawah kacamata Foreign Corrupt Practices Act, peraturan Amerika yang mengharamkan perusahaan negeri itu menyuap pejabat pemerintah asing. Freeport mengatakan "tak ada rahasia bahwa Mr. Moffett (Presiden Direktur Freeport James Moffett) dan Mr. Soeharto adalah teman", tapi menegaskan pula bahwa pihaknya telah beberapa kali menolak permintaan imbalan yang diajukan para pejabat korup Indonesia.
Pada akhir Oktober 1995, Overseas Private Investment Corporation (OPIC) membatalkan polis asuransi senilai US$ 100 juta karena "perluasan proyek Freeport telah menyebabkan dampak lingkungan yang membahayakan". Sejumlah politikus dan akademikus Amerika segera berada di sisi Freeport untuk membelanya. Belakangan, OPIC takluk, dengan meneruskan polis asuransi tadi.
Dan sejauh ini tak ada langkah hukum yang membahayakan Freeport. Perusahaan itu terlalu digdaya untuk digoyang oleh kritik dan bahkan tuntutan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo