Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rekapitulasi suara hasil pemilihan anggota legislatif 2014 sudah mencapai tingkat kota dan kabupaten. Penetapan calon anggota wakil rakyat dari tiap partai politik pun sudah semakin dekat. Bahkan banyak yang sudah dipastikan gagal menggapai kursi untuk menjadi anggota Dewan. Banyak calon legislator pasti harap-harap cemas. Demi kedudukan, politik uang tak hanya marak sekarang, tapi sudah lama dipraktekkan. Seperti yang terjadi sekitar 20 tahun silam. Uang suap diperlukan untuk melicinkan jalan menjadi anggota DPRD. Ini seperti yang pernah diadukan Yusmar Effendy, calon anggota DPRD Kota Medan.
Yusmar, Wakil Bendahara PPP Medan, ketika itu mengadu ke Markas Kepolisian Kota Besar Medan. Dalam pengaduannya, ia menuduh Yusuf Pardamean dan Hajjah Wardaty Nasution, masing-masing Ketua dan Ketua Seksi Kewanitaan Partai Persatuan Pembangunan Kota Madya Medan pada masa itu, telah menuduh dan memerasnya.
Yusmar menyatakan bahwa Yusuf dan Wardaty telah menerima uang Rp 400 ribu agar ia duduk dalam urutan calon jadi. Menurut Yusmar, pada malam 10 September 1991, ia bersama lima temannya sesama calon legislator (caleg) yang menempati urutan 12 besar—mereka disebut calon jadi karena PPP menargetkan 12 kursi di sana dalam pemilu—berkumpul di rumah Wardaty, sesuai dengan perintah Yusuf Pardamean.
Di situ Wardaty mengatakan Direktorat Sosial Politik Pemerintah Daerah Sumatera Utara bisa mengutak-atik nomor urut mereka, sehingga bisa jatuh ke nomor buntut. Satu-satunya jalan agar nomor itu tetap sip harus disediakan dana Rp 3 juta untuk pejabat yang menentukan di Direktorat Sospol itu.
Akhirnya keenam calon itu sepakat membayar Rp 500 ribu per orang. Uang itu harus diserahkan keesokan harinya kepada Wardaty. Tapi Yusmar cuma punya Rp 400 ribu. Uang itu pun, berupa cek, ia serahkan ke Wardaty dua hari setelah pertemuan. Janji Wardaty, Yusmar akan mendapat nomor urut 10. Artinya, kalau target 12 kursi tercapai, Yusmar menjadi anggota DPRD Kota Madya Medan.
Ketika daftar calon sementara diumumkan pada 20 Januari lalu, ternyata Yusmar berada di nomor urut 17. Dengan gusar ia segera menemui Wardaty, minta uangnya dikembalikan. Tapi Wardaty, menurut Yusmar, malah marah dan melecehkannya.
Kemudian, ketika Yusmar mengecek, pihak Direktorat Sospol—tentu saja—membantah keras pernah minta uang pelicin. "Ini cuma permainan Yusuf Pardamean dan Wardaty," kata Yusmar kemudian kepada Tempo. Ia pun mengadu ke polisi.
Pardamean, yang dituduh, balik menuduh Yusmar cuma ingin mencemarkan nama baik PPP karena kecewa tak mendapat nomor jadi. Padahal, menurut Pardamean, ditaruhnya Yusmar di nomor 17 saja sudah menimbulkan protes dari banyak pengurus PPP lain. "Sebab, dia dianggap tak becus," kata Pardamean. Misalnya, belum lama ini, menurut Pardamean, panitia kaderisasi PPP Medan berantakan ketika diserahkan kepada Yusmar.
Wardaty tak kalah jengkel. "Tak pernah ada pertemuan untuk membicarakan uang pelicin. Saya tak pernah menerima cek dari dia," kata hajjah itu. Keterangannya diperkuat oleh Sudirman Bur, Wakil Sekretaris PPP Medan, yang disebut-sebut Yusmar sebagai salah seorang temannya saat menghadiri pertemuan pada 10 September di rumah Wardaty.
Pardamean mengakui bahwa para caleg dalam urutan 12 besar itu di Medan diwajibkan menyumbang Rp 1-3 juta. Itu disebut "uang partisipasi", yang akan dipakai dalam menghadapi pemilu. Soal itu ditetapkan setelah daftar calon sementara diumumkan pemerintah.
Pengurus pusat PPP menganggap jenis kutipan ini sah saja, asalkan tak mempengaruhi nomor caleg. "Kalau caleg dilorot gara-gara tak membayar, partai bisa memecat pengurus tersebut," ujar Wakil Sekjen PPP Zarkasih Nur pada saat itu.
Polisi pun tampak ragu-ragu apakah pengaduan Yusmar termasuk tindak kriminal. "Jangan-jangan ini cuma soal intern PPP. Kan, repot," ujar Kepala Dinas Pendidikan Kepolisian Daerah Sumatera Utara, yang saat itu dijabat Leo Sukardi, dengan pangkat letnan kolonel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo