Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penetapan tersangka terhadap bekas Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo membuktikan bahwa perkara korupsi tak mengenal istilah orang kuat. Kepala Bidang Ekonomi Badan Intelijen Negara dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan yang baru saja pensiun itu selama ini dianggap sulit disentuh hukum. Rumor tentangnya berseliweran. Pemimpin negeri berganti, tapi selama lima tahun ia tak tergantikan sebagai Dirjen Pajak. "Menganggur" setahun setelah diberhentikan Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai dirjen, Hadi malah dipilih Dewan Perwakilan Rakyat menjadi anggota BPK. Desas-desus beredar, ia lincah "bergaul" dengan para legislator.
Perkara penyalahgunaan wewenang dalam menangani kasus pajak Bank BCA sepuluh tahun silam memang baru diungkap saat ini—meski Kementerian Keuangan sudah menyelidikinya bertahun lalu. Namun, alih-alih menuduh Komisi Pemberantasan Korupsi lamban bekerja, mari berbaik sangka: meski telah sepuluh tahun, kasus ini toh tetap diungkap. Dengan kata lain: tak ada istilah kedaluwarsa dalam pemberantasan korupsi.
Kasus ini berawal dari keberatan BCA atas tagihan pajak tahun 1999. Saat itu BCA mengklaim hanya membukukan laba Rp 174 miliar setelah rugi akibat krisis moneter. Namun Direktorat Jenderal Pajak mengoreksi laba tahun 1999 itu menjadi Rp 6,78 triliun dengan memasukkan pengalihan aset—termasuk piutang BCA yang dialihkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional sebesar Rp 5,58 triliun.
Juli 2003, BCA mengajukan permohonan keberatan atas tagihan pajak itu. Direktorat Pajak Penghasilan menelaah dan menyimpulkan permohonan keberatan itu harus ditolak. Selain kepada BCA, Direktorat memberikan respons yang sama terhadap keberatan sejumlah bank lain. Hadi Poernomo sendiri diketahui pernah hadir dalam pembahasan itu.
Anehnya, Hadi ogah-ogahan meneken draf surat nota dinas penolakan yang disiapkan anak buahnya. Menjelang tenggat—setahun setelah keberatan itu diajukan BCA—Hadi malah membuat nota dinas baru yang menerima keberatan BCA sehingga bank swasta terbesar itu tak perlu membayar Rp 375 miliar. Sesuatu yang tak lazim terjadi. Boleh jadi untuk menutupi jejak, Hadi meneken nota dinas tanpa mencantumkan nama dan nomor induk pegawai seperti prosedur yang selama ini berlaku. Karena perbuatannya itu, Hadi kini terancam hukuman penjara maksimal 20 tahun dan denda Rp 1 miliar.
Hadi Poernomo boleh saja berkilah—seperti tecermin dari pernyataan sejumlah pembelanya di layar kaca—bahwa penolakan atau penerimaan keberatan wajib pajak merupakan diskresi atau kewenangan Direktur Jenderal Pajak. Tapi kewenangan semestinya diputuskan berdasarkan pertimbangan teliti, tepat, cermat, adil, bersifat menyeluruh, dan tidak tebang pilih. Diskresi tak boleh dijalankan secara sewenang-wenang. Penetapan tersangka kepada Hadi juga bukan wujud kriminalisasi kebijakan.
Sejauh ini KPK memang belum mendapatkan bukti perihal "hadiah" apa yang diterima Hadi atas kebaikannya "menolong" BCA. Tapi tanpa itu pun kesalahannya sudah memenuhi dua unsur tindak pidana korupsi: menyalahgunakan wewenang dan memperkaya orang lain. Elemen memperkaya diri sendiri memang dapat menggenapi kesalahan sang tersangka. Selain itu, pembuktian pasal tersebut bisa menyeret petinggi BCA sebagai pemberi suap.
KPK harus bekerja keras menelisik keluar-masuknya uang dari rekening Hadi Poernomo. Kerja sama Komisi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan mutlak diperlukan. Jangan ragu menggunakan pasal pencucian uang. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Sudah lama jadi omongan, Hadi Poernomo piawai menyembunyikan aset. Investigasi majalah ini beberapa tahun lalu mendapatkan cerita tentang "semangat" Hadi mengumpulkan lahan. Tapi ia selalu menyebut hartanya itu diperoleh dari hibah.
Semua yang mendapat keuntungan dari praktek lancung korupsi harus digulung. Mereka yang menjadi kaki tangan Hadi Poernomo harus ditelisik. Kasus ini patut menjadi momentum untuk menelusuri perkara penyelewengan pajak lainnya. KPK dan kejaksaan pernah sukses mengungkap penyelewengan pajak yang melibatkan pegawai tingkat bawah dan menengah, seperti Gayus Tambunan, Dhana Widyatmika, dan Bahasyim Assifie. Kini kasus lancung itu melibatkan sang kepala. Para pejabat di bawah Hadi ketika ia memimpin Direktorat Jenderal Pajak harus pula diteliti.
Petinggi pajak saat ini selayaknya menjadikan kasus Hadi sebagai momentum berbenah. Pengawasan internal harus diperketat. Hadi Poernomo cuma salah satu. Jangan sampai penetapannya sebagai tersangka jadi angin lalu. Apalagi: mati satu tumbuh seribu.
Berita terkait klik Disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo