Cukup melegakan upaya Pemerintah untuk mengindonesiakan gelar-gelar yang diberikan kepada lulusan perguruan tinggi di Tanah Air. Namun, masih ada yang perlu dipermasalahkan dari peraturan itu. Misalnya, tentang gelar sarjana pendidikan lulusan IKIP dan sarjana agama lulusan IAIN. Oleh beberapa pakar di Yogya, gelar seperti itu disebutnya sebagai gelar yang ombyokan/digebyah uyah (disamaratakan), meski mereka berasal dari jurusan yang berbeda-beda. Penggebyahuyahan itu juga kami rasakan di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UGM. Menurut peraturan pemerintah yang baru, kami mahasiswa antropologi kelak akan menyandang gelar S.S. (sarjana sastra) bila tamat. Aneh memang. Soalnya, sastra adalah bidang studi yang sedikit pun belum kami dalami. Apalagi memahaminya. Dengan kata lain, kami tidak tahu apa-apa tentang sastra dan kesusastraan. Jadi, bagaimana mungkin kami bisa menyandang sebutan sarjana sastra? Ini akan lebih ''riuh'' lagi bila melihat kenyataan, rekan- rekan kami mahasiswa Jurusan Antropologi UI, Unpad, Unair, dan lain-lain menyandang gelar yang berbeda dari kami. Soalnya, mereka semua (bidang studi mereka) masuk dalam naungan fakultas ilmu sosial dan politik. Jadi, akan ada orang-orang yang memiliki keahlian atau belajar di jurusan yang sama tapi memiliki gelar yang berbeda. Saya kira ini merupakan komedi, tapi sekaligus juga ''tragedi'' bagi kami. Nama dan alamat pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini