Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Munculnya Gojek di Indonesia diwarnai dengan demonstrasi ojek konvensional yang mangkal di pinggir jalan. Itulah dunia pendidikan kita, Pak, produk gaya belajar konvensional sedang mengadakan demonstrasi dengan hadirnya Kurikulum 2013. Guru-guru memang tidak turun ke jalan. Tapi, jika guru tidak paham dan macet dalam inovasi pembelajaran, marilah kita peka dan sadar bahwa itulah demonstrasi besar-besaran. Senjata terampuh dari sebuah sistem pendidikan adalah guru. Tidak ada uang atau robot atau website atau artificial intelligence yang bisa mengalahkan kearifan guru yang bekerja tulus serta penuh dedikasi.
Biaya murah dan layanan antar sampai ke depan rumah merupakan fasilitas Gojek yang menggiurkan. Dalam pendidikan, layanan murah dan sampai rumah berarti pendidikan merata hingga daerah-daerah tersulit di negara ini. Pemerintah Indonesia selalu mengerjakan hal ini dari tahun ke tahun. Niat tulus pemerintah perlu diimbangi dengan analogi “seseorang yang naik Gojek atau pesan GoFood tentu punya tujuan dan pilihan makanan yang spesifik, berbeda, sesuai dengan kebutuhan”.
Pendidikan harus hadir karena dibutuhkan dan menjawab kebutuhan. Masyarakat Kalimantan butuh pendidikan berdasarkan kearifan lokal mereka, demikian pula masyarakat Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Maluku, Jawa, Sumatera. Sama dengan aplikasi GoFood, yang juga tidak akan saya buka kalau makanan kesukaan saya saat itu tidak tersedia.
Pilihan menu atau fitur yang ada dalam Gojek sangat mudah. Dengan sekali sentuh, masyarakat dimanjakan lewat segala layanan yang membuat hati dan pikiran bahagia. Ada GoRide, GoCar, GoFood, GoClean, GoSend, dan lainnya. Bisakah pendidikan kita juga memiliki layanan yang beragam dan membahagiakan seperti itu, Pak? Bisakah siswa Indonesia memilih selayaknya mereka “klik” menu yang tersedia di aplikasi Gojek? Mereka berhak menjadi apa yang mereka inginkan.
Aplikasi Gojek yang canggih tidak mulus diterima semua orang. Setiap daerah memiliki cara pandang masing-masing. Bahkan, di tempat saya tinggal sekarang, pengemudi Gojek belum berani memakai jaket hijau. Mungkin ada daerah lain yang juga punya masalah spesifik. Hal ini sama dengan pendidikan, yang memiliki problem spesifik di setiap daerah. Mohon pendidikan di daerah tidak disamakan dengan di Jakarta ataupun kiblat kota besar lain.
Aplikasi hanyalah alat bantu karena sumber daya manusia, kearifan lokal, serta kesepahaman masyarakat merupakan makna utama pendidikan. Sistem bisnis dibangun berdasarkan kebutuhan konsumen, bukan? Pada masa depan, tidak mungkin semua siswa yang telah lulus kuliah bekerja di Jakarta saja. Sama dengan Gojek, yang tidak hanya melayani warga Jakarta.
Gamaliel Septian Airlanda
Dosen PGSD Universitas Kristen Satya Wacana
Sistem Pendidikan Berbasis Teknologi
KAMI dari kalangan perusahaan teknologi pendidikan mendukung rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nadiem Makarim menerapkan sistem pendidikan berbasis teknologi. Ada sejumlah persoalan yang mesti diselesaikan. Salah satunya mengenai pemerataan pendidikan berkualitas di seluruh pelosok Indonesia.
Sudah saatnya perusahaan teknologi pendidikan maju dan berperan dalam menyelesaikan persoalan tersebut. Perusahaan teknologi pendidikan atau edutech mesti siap dievaluasi secara terbuka oleh Pak Nadiem sebagai pakar teknologi. Media juga mesti ikut memonitor kualitas dan kemampuan teknologi yang digunakan. Hal ini diperlukan supaya ada kompetisi bagi perusahaan edutech. Selain itu, masyarakat bisa melihat dengan benar dan akurat teknologi mana yang paling tepat untuk siswa, guru, dan sekolah di Indonesia.
Santoso Suratso
CEO Pendidikan.id
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo