Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERITA duka itu dikirim dengan bercanda oleh Butet Kartaredjasa. Saya salin dengan autentik pesan lewat WhatsApp itu: “Sing kepatil jantunge aku, lha kok sing mati Djaduk. Uasuwook.” Lalu tiga emoticon tangis bercucuran air mata. Yang terkena serangan jantung saya, kok yang mati malah Djaduk. Dari pesan yang terasa berkelakar itu, saya tahu, Butet sedang sekuat mungkin berusaha tegar dan ikhlas.
Membicarakan RM Gregorius Djaduk Ferianto (19 Juli 1964-13 November 2019) memang tak bisa melupakan Butet Kartaredjasa. Begitu pun sebaliknya. Saya ingat, saat pentas Indonesia Kita lakon Kanjeng Sepuh di Jakarta, Butet terkena serangan jantung di tengah pertunjukan. Yang pertama dikatakan kepada saya: “Jangan beri tahu Djaduk, nanti dia panik.”
Djaduk-Butet memang bukan sekadar adik-kakak. Mereka soulmate sekaligus partner in crime, dengan kenakalan dan keliaran ketika membuat karya bersama, sejak kanak-kanak. Saat pergantian tahun 1977 ke 1978, diadakan pentas Tahun Ulang Tahun, yang digagas antara lain oleh penyair (almarhum) Linus Suryadi A.G. Butet, yang baru lulus sekolah menengah pertama, akan tampil bersama Teater Kita-kita, tapi belum ada pemusik. Lalu ia menyebut nama Djaduk (kelas VI sekolah dasar) agar dilibatkan. Dia pinter ngendang, kata Butet. Itulah awal mula kerja sama berkesenian mereka.
Kemudian Djaduk membentuk kelompok musik pertamanya, Rheze, yang pada 1978 mengikuti Lomba Musik Humor Nasional di Jakarta, yang diadakan Lembaga Bantuan Humor. Mereka mengalami kesulitan dana untuk berangkat. Maka Butet membuat proposal. Itulah pertama kali Butet menjadi pemimpin produksi, dengan cara ider (keliling) mencari sumbangan kepada para donatur, antara lain Ashadi Siregar dan S.H. Mintardja. Kelompok Rheze menjadi juara I dan (saat itu) mengalahkan Iwal Fals, yang menjadi juara IV. Sejak itu, dalam pentas-pentas yang melibatkan Djaduk, Butet pemimpin produksinya. Lalu muncullah KUA Etnika, kelompok keroncong Sinten Remen, dan orkes Melayu Banter Banget.
Di atas panggung, penonton akan menyaksikan Djaduk-Butet yang jenaka. Tapi, sesungguhnya, Djaduk tergolong orang yang sangat serius ketika menyiapkan karya. Siapa pun yang pernah bekerja sama dengan Djaduk pasti merasakan, ia sangat keras kepala, langsung mendamprat bila ada yang tak beres. Bahkan untuk acara yang sebenarnya “ringan”, seperti pentas dalam acara mantenan. Djaduk ingin tiap pentasnya berjalan dengan baik. Ibaratnya, pementasan itu untuk acara Grammy Awards (begitu kelakar kawan-kawan). Tiap hendak berpentas, Djaduk ibarat maju perang dengan memanggul bazoka. Saking keras dan disiplinnya, di Teater Gandrik ia disebut “Kopasus”. Ia tahu guyonan itu, dan suatu kali menjelaskan: “Saya tak ingin orang salah sangka, seakan-akan Teater Gandrik yang penuh kelakar di panggung tidak melalui proses berdarah-darah.”
Belakangan, saya memahami kenapa ia selalu keras kepala ketika berproses bersama: “Saya ingin orang menghargai saya karena kerja keras saya, bukan karena saya anak Bagong Kussudiardja.”
Belakangan, saya memahami kenapa ia selalu keras kepala ketika berproses bersama: “Saya ingin orang menghargai saya karena kerja keras saya, bukan karena saya anak Bagong Kussudiardja.”
Nama besar seniman sering seperti pohon beringin yang menjulang, dan pepohonan lain tak akan bisa tumbuh tinggi di bawahnya. Dan Bagong Kussudiardja adalah seniman besar di era Orde Baru. Karena itulah Djaduk tidak ingin berada di bawah bayang-bayangnya. Maka ia mendirikan KUA Etnika, membuat sanggar sendiri, terpisah dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja. Bahkan ia dengan penuh kesadaran melawan jalan politik ayahnya ketika era reformasi 1998. Pada saat itu, Djaduk membuat repertoar musik Kompi Susu. Bagi saya, ini repertoar Djaduk yang “paling politis” dan frontal melawan kekuasaan: menghadirkan suasana represif penindasan militer melalui bebunyian derap kaki di atas panggung kayu. Para pemusik di panggung muncul seperti sekompi pasukan. Hingga bebunyian perkusif yang menggemuruh itu terasa seperti teror.
Tentu saja, siapa pun yang bergaul dengannya tak hanya akan mengingat Djaduk yang keras kepala. Sebab, ia juga sangat suka bercanda. Itulah yang membuat kerja sama dengannya menjadi menyenangkan: tegang, tapi tetap penuh kelakar pada akhirnya. Saling lempar ledekan dengan Djaduk menjadi sesuatu yang akan selalu dirindukan. Ia tukang canda. Seakan-akan itulah caranya menyatakan: “Biarlah saya yang memanggul bazoka, dan kalian yang tertawa bahagia.” Lalu celetukan: “Untung yang kamu panggul bazoka. Coba kalau kamu memanggul salib, bisa dikira Yesus.”
Djaduk bersama KUA Etnika menghasilkan album Orkes Sumpeg Nang Ning Nong (1997) serta Ritus Swara (2000) dan dengan Pata Master Jerman menggarap Pata Java (2004). Dengan Sinten Remen, ia menyelesaikan album Parodi Iklan (2000), Komedi Putar (2002), Janji Palsu (2003), dan Maling Budiman (2006). Ia juga menggarap musik untuk film, antara lain Soegija dan Daun di Atas Bantal. Bahkan ia ikut bermain dalam film Petualangan Sherina. Ia pun menata musik dan menyutradarai beberapa lakon Teater Gandrik. Ia menjadi Penata Musik Terbaik Piala Vidia Festival Sinetron Indonesia (1995), dinobatkan sebagai Pemusik Kreatif oleh Persatuan Wartawan Indonesia Yogyakarta, juga mendapat Anugerah Kebudayaan dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2015) dan Grand Prize UNESCO (2000).
Pada 6-7 Desember 2019, Djaduk semestinya mementaskan Para Pensiunan bersama Teater Gandrik di Surabaya. Pada 16 November 2019, ia juga semestinya tampil di Ngayogjazz—event jazz yang digagasnya selain Jazz Gunung di Bromo.
Tapi 13 November 2019, pukul 02.30, Djaduk berpulang. Ia meninggalkan lima anak dan seorang istri. Bernadetta Ratna Ika Sari, istri Djaduk, menuturkan, “Ibarat persiapan pementasan, itulah puncaknya. Sejak Juli saya seperti sudah mendapat isyarat, ketika Mas Djaduk tiba-tiba memutuskan mengecat ulang rumah. Biar rumah tampak baru. Selama 15 tahun menempati rumah ini, baru kali ini Mas Djaduk mengecat ulang rumah. Kemudian Mas Djaduk memutuskan jalan-jalan berdua saja dengan Mas Butet, ke Afrika Selatan. Tak mau ditemani. Dari Afrika, Mas Djaduk kerap berkirim pesan WhatsApp: ‘Bu, aku kangen kamu, cintaku. I love you.’ Saya merasa itu lebay banget. Seminggu sebelumnya, saat saya menyetrika pakaian, tiba-tiba Mas Djaduk muncul dari kamar, bersandar di tiang, memandangi saya. Ia memanggil saya agar mendekat. Ia kemudian memeluk saya. Hanya diam dan terus memeluk saya. Saya masih merasakan pelukan itu.”
Djaduk juga merekam lagu-lagu rohani gereja dalam album Dia Sumber Gembiraku. Atas usul Butet, Djaduk juga merekam lagu Srengenge Nyunar agar “kalau mati, kita yang mengantar bahagia”. Lagu itulah yang menjadi pengiring jenazah Djaduk.
Bila di panggung Butet diminta menyanyi, Djaduk berkomentar, “Jangankan nyanyi, Butet kalau batuk saja fals.” Butet akan menimpali, “Saya sengaja tak bisa nyanyi. Sebab, kalau saya bisa menyanyi, bisa merebut rezekinya Djaduk.”
Dan Butet bercerita soal lagu Srengenge Nyunar itu. Di tengah obrolan, tiba-tiba Butet melantunkan tembang. Kami semua terkesima mendengar suara Butet sama sekali tidak fals! “Kok, kamu mendadak bisa nyanyi, Tet!” celetuk saya. “Sepertinya Djaduk menitipkan suaranya sama kamu, Tet. Dia tak pernah pergi dari kamu.”
Ya, Djaduk memang tak pernah meninggalkan Butet. Tak pernah meninggalkan istri dan kelima anaknya. Tak pernah meninggalkan kita.
Kita akan selalu bersua dengan Djaduk dalam karya-karyanya. Dan ia pasti sedang bergembira tetabuhan dengan bermacam bunyi di surga.
AGUS NOOR, SASTRAWAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo