SALAT Idul Fitri sarungnya sarung ... TEMPO". Tentu saja "iklan" itu tak bakal Anda temukan di layar kaca mana pun. Pertama, rasanya belum ada sarung cap TEMPO. Kedua, kalimat itu diucapkan bersama oleh seribu pengecer koran dan majalah di Jakarta, tiga hari menjelang Lebaran, di halaman Gedung Bukaka di Jalan H.R. Rasuna Said, bukan untuk direkam menjadi film iklan -- meskipun acara di gedung tempat TEMPO berkantor itu diliput oleh salah satu TV swasta kita. Tapi mengapa "TEMPO"? Inilah acara rutin majalah ini sejak beberapa tahun lalu, tiap menjelang Lebaran: membagikan bingkisan Lebaran kepada para pengecer surat kabar dan majalah di Jakarta. Terus terang saja ini memang semacam "balas jasa" untuk mereka yang ikut "menentukan" tiras sebuah penerbitan. Sebab tak semua pembaca media cetak adalah pelanggan. "Sebagian pembaca membeli majalah atau koran secara 'terpaksa'," kata H. Mahtum, Wakil Direktur Pemasaran Grafiti Pers, penerbit TEMPO. Maksudnya, para pembaca itu membeli TEMPO, misalnya, sambil lewat. Kalau memang ada hal yang menarik, barulah mereka membelinya. Memang, isi bingkisan itu sederhana saja: kue, minuman, dan itu tadi, sarung. "Yang penting, kan, maknanya. Kita ingin membagi sedikit kebahagiaan dengan mereka di hari Lebaran ini," kata Pemimpin Redaksi TEMPO Fikri Jufri. Di Jakarta tercatat sekitar 4.000 pengecer koran dan majalah. Mereka menjajakan dagangannya di sekitar perempatan jalan, di depan pertokoan, atau masuk kampung keluar kampung. Umumnya mereka masih duduk di sekolah menengah tingkat pertama dan tingkat atas. Ada juga yang sudah duduk di perguruan tinggi, tapi tak banyak. Seperti sudah disinggung, media cetak di Indonesia memang sebagian bergantung pada mereka. Dan mestinya mereka pun cukup mendapatkan sesuatu dari jualan secara eceran itu. Itulah mengapa, sebagaimana sektor informal yang lain, misalnya pedagang kaki lima, meski sering mereka diusir dan dagangannya disita oleh aparat Pemerintah Daerah DKI Jakarta, umumnya mereka dengan tabah kembali ke sekitar "lampu merah", menjajakan surat kabar dan majalah. Pernah, beberapa tahun lalu, Sudomo, yang waktu itu menteri koordinator bidang politik dan keamanan, mencetuskan gagasan untuk meningkatkan usaha mereka. Yakni dengan memberikan keterampilan baru, misalnya mengelas dan membubut. Tapi Operasi Hari Esok Penuh Harapan, nama program Sudomo tersebut, sebagaimana kita ketahui, tak berjalan efektif, dan kini tak terdengar lagi, dan mereka pun kembali berjuang di antara kesemrawutan lalu lintas Jakarta. Itulah sebabnya mereka, meski statusnya hanya pengecer, punya kekuatan untuk "mendikte" penerbit media massa cetak, terutama majalah seperti TEMPO ini. Buktinya, ketika para pedagang asongan yang umumnya pendatang dari segala pelosok Indonesia ini siap mudik berlebaran, ketika itulah majalah terpaksa diterbitkan di luar jadwal rutin, menyesuaikan diri dengan jadwal pulang kampung para pengecer itu. Kalau Anda bertanya kepada Kepala Bagian Sirkulasi TEMPO H. Sigit Pramono atau stafnya, misalnya Diding S., Ronggo, atau Aji, tentulah mereka lebih suka kalau semua pembaca TEMPO adalah pelanggan, hingga pemasaran majalah ini tak bergantung pada para pengecer. Tapi tampaknya, "perilaku" pembaca media cetak di Indonesia memang seperti itu. Untunglah, itu punya juga segi positifnya: memperluas lahan sektor informal. Dan siapa tahu di antara mereka nanti ada yang bisa menjadi agen besar koran atau majalah, bahkan jadi penerbit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini