Beberapa waktu lalu, saya menciptakan suatu karya tulis di bidang usaha: jaminan santunan sosial bagi masyarakat dalam bentuk 10 macam program terpadu. Itu saya sebut Priscard (Private Social Card -- Personal Life Guaranteed Investment Account). Karya tulis itu sudah saya daftarkan di Direktorat Hak Cipta Departemen Kehakiman RI (No. 003079) pada 2 Juli 1990, dan tambahan No. VIII Berita Acara Negara RI, Agustus 1990. Isinya menyangkut dana santunan kecelakaan, kematian atau sakit, pelunasan sisa kredit, santunan PHK, kerugian harta benda, beasiswa, dan sebagainya. Jumlah nominal dana santunannya jauh lebih besar daripada Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) PT Astek. Dilihat dari tujuan dan fungsinya, peran Priscard sangat mendukung program pengentasan kaum miskin dan perlindungan dasar yang hakiki bagi setiap orang. Tapi, sejak diberlakukannya UU No. 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja pada 17 Februari 1992, Priscard menjadi tak berfungsi. Sebab, Pasal 25 ayat 2 undang-undang itu menegaskan, "Badan usaha milik negara sebagai badan penyelenggara jaminan sosial." Berarti, PT Astek pengelola tunggal usaha jaminan santunan sosial. Apakah pada era deregulasi ekonomi ini hal semacam itu, yakni program yang dikembangkan dari Konvensi ILO No. 105/1952, masih relevan? Apakah ada bentuk "kompromi" yang dapat menghilangkan dilematis di atas, sebagai akibat adanya benturan persyaratan formal dari UU No. 3 Tahun 1992? Bila tak ada kelonggaran dalam persyaratan, jangkauan program menjadi terbatas dan tidak realistis. Sebaliknya, bila dilonggarkan, akan merugikan PT Astek. Untuk itu, saya memohon keadilan dan mengimbau Pemerintah, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Kehakiman, agar memperhatikan program karya cipta saya dan relevansinya dengan UU Hak Cipta No. 6/1982 dan 7/1987 sebagai delik aduan.BERNARD S. SUMARAUWJalan Manggarai Utara VI No. 13 Telepon 8344278 Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini