Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Hidup anjing mode baru: piara anjing

Di indonesia memelihara anjing lebih bersifat pameran & status. di sumatera barat penggemar anjing tergabung dalam persatuan olah raga buru babi indonesia, digunakan anjing kampung. (ils)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH mobil sedan berhenti di depan rumah praktek seorang dokter hewan di daerah bilangan Menteng. Ketika pintu mobil terbuka keluar seorang nyonya kulit putih terbungkuk-bungkuk memeluk seekor anjing berbulu putih-halus dan agak panjang. Rantai yang menyantel di lehernya dibiarkan bergelantung menyentuh lantai. Seorang pembantu wanita mengikuti dari belakang. Nyonya itu nampak gugup, meskipun anjingnya tenang mendekam di pelukannya. Sore itu kebetulan pasien dokter hewan itu tidak banyak. Dan pintu praktek nampak terbuka menyambut setiap kunjungan penderita. Langsung sang nyonya masuk. "Kenapa?" tanya dokter mengawali pembicaraan, sementara pemilik anjing itu tak sabar membaringkan anjingnya di balai praktek yang berukuran I x 2 meter. "Ini Dok, si Witty sudah 3 hari tidak-nafsu makan", kata sang nyonya dalam bahasa Inggeris bernada tinggi, seperti orang minta dikasihani. "Barangkali ada salah makan atau muntah-muntah", tanya dokter. "Entahlah. Tapi dia tak acuh, tak bersemangat dan loyo. Saya jadi sedih kalau dia begini terus", kata sang nyonya sambil mengusap-usap anjing yang nampak tetap tenang dan pasrah. Ruang praktek dokter itu berukuran 3 x 5 meter. Terdapat beberapa baskom, sebuah stetoskop, beberapa alat suntik yang tabungnya terdiri dari yang kecil sampai yang besar. Di dinding terpampang gambar silsilah (stamboom) berbagai jenis anjing ras. Juga gambar kucing burung dan hewan peliharaan lainnya. Bau obat bercampur karbol menusuk hidung. Dibantu seorang manteri yang nampaknya sudah terlatih menguasai pasien binatang, sang dokter memeriksa pasiennya. Stetoskop ditempelkan di tubuh anjing. Barangkali saja ada kelainan pada jantung atau paru-paru. Tak banyak beda dengan dokter manusia. Kedua tangannya pun meraba-raba dan menekan bagian yang dianggap dapat menunjukkan gejala penyakit. "Saya suntik saja. Tak ada kelainan yang luar biasa", dokter hewan itu mem beri diagnosa tanpa menyebutkan penyakit si Witty itu. Ketika jarum menembus pinggulnya, si Witty terhenyak kaget, tapi tidak sampai memberontak. Yang nampak menahan sakit karena tusukan jarum itu malah si majikan. Ia menyeringai sambil kedua tangannya memegangi anjingnya erat-erat. Setelah diberi resep, wanita setengah umur itu nampak puas. Seolah dia ikut menerima pengobatan itu. Konon anjing betina itu tak lebih dari blasteran. Tanpa akte silsilah tentunya. Masih di tempat praktek dokter hewan tersebut. Tak lama kemudian datang dua orang pemuda. Mereka tak membawa pasien. Tapi menerangkan bahwa kedatangan mereka hanya untuk "minta advis". "Kami kebetulan di Jakarta. Dan orang tua kami di Medan ada pesan pada kami untuk menanyakan pak dokter di mana kami bisa membeli sepasang Pekingese yang baik". Ternyata mereka anak pembesar. Dokter yang ramah itu tak menampik pertanyaan itu. "Yang baik banyak", katanya, "tapi saya tidak tahu selera saudara". Mereka lantas membuat perjanjian untuk bertemu kembali dengan kehadiran penjual anjing Pekingese yang dimaksud. Harganya? "Tergantung pada kwalitas dan stamboom. Yang pakai stamboom bisa mencapai 150 ribu. Tanpa stamboom 50 ribu pun dapat". Harga itu tentu saja berlaku untuk anjing Peking yang baru berusia sekitar dua bulan. Yang dewasa sekitar 1 - 1 1/2 tahun dengan stamboom laku sekitar 500 ribu rupiah. Dan jangan lupa, usia maksimum seekor anjing Peking berkisar 12 sampai 15 tahun. Kynologi atau peranjingan dewasa ini nampak menduduki tempat teratas dalam dunia satwa domestik. Di tengah warga satwa seperti burung, kucing, ikan-hias, monyet, kuda dan lain sebagainya, anjing sejak dulu dinilai berfungsi ganda. St. Bernard misalnya mempunyai spesialisasi menuntun orang buta. Meskipun semua anjing buta-warna, ia dapat "membaca" isyarat lampu lalulintas. Herder atau anjing gembala Jerman terkenal sebagai anjing cerdas dan serba guna. Doberman tinggi inteligensinya bahkan melebihi semua "I.Q" anjing jenis lain -- sering diikut-sertakan dalam aksi polisionil maupun militer. Boxer, si pesek dan berwajah kumal menakutkan, ternyata penyabar dan kawan karib setiap anak kecil. Kisah The Story of Lassie, diperankan seekor Collie moncongnya lancip seperti pensil -- menceritakan anjing keluarga yang sangat penolong. Terrier, si cabe rawit, terhitung kampiun menangkap tikus. Sementara Great Dane yang mirip anak macan tutul, bisa berfungsi sebagai centeng yang setia. Anjing-anjing ras tersebut lazim dimasukkan dalam kelompok "anjing pekerja" (working dogs). Meskipun tak jarang diikutsertakan dalam pameran-pameran anjing. TAPI di Indonesia, terutama di Jawa, nampaknya "anjing pameran" (show dogs) lebih favorit. Ini sudah barang tentu sangat erat hubungannya dengan mode -- yang biasanya bisa mendongkrak ke atas status sosial pemilik anjing. Kelompok ini banyak memelihara Pekingese, Pomaranian, Chihuahua, Pudel, Cooker Spaniel dan lain sebagainya. Meskipun tak jarang pula di antara mereka yang memperlakukan "anjing pekerja" untuk tujuan pajangan. Kegiatan mereka umumnya dihimpun di Perkin (Perkumpulan Kynologi Indonesia). Perkumpulan ini resmi berdiri pada tahun 1958. Tapi dulunya dikenal sebagai NIKV (Nederlands Indische Kynologen Venenigin) yang pertama didirikan pada tahun 1922, zaman penjajahan Belanda. Sebagai anggota FlC (F ederation Cynolgique Internasionale) atau Federasi Internasional Anjing, Perkin kini menampung sekitar 5000 orang anggota. Ditambah dengan mereka yang mempunyai anjing dengan silsilah (stamboom) Perkin serta mereka yang melaporkan pemacakan anjing untuk memperoleh silsilah, yang diperkirakan sebanyak 30.000 orang, maka anggota plus simpatisan Perkin berkisar sekitar 35.000 orang. Apakah tujuan mereka menjadi anggota Perkin? "Supaya bisa dapat stamboom dengan harga murah", kata seorang anggota. Menurut ketentuan seorang anggota yang mendaftarkan pemacakan hanya dikenakan Rp 1.500 untuk satu staamboom. Yang bukan anggota Rp 4.500. Tapi buat Ketua Perkin, Drs. R.J. Soedaryanto, kegiatan Perkin mempunyai jangkauan yang lebih idealistis. Di sini kynologi sebagai hobi, sport dan ilmu hendak dikembangkan lewat pemacakan anjing-anjing ras. "Bagaimana kita mempertahankan keunggulan ras suatu anjing", "Mendidik dan membina bakat anjing". Dan tentu saja "Membuat tatatertib dan peraturan untuk mencapai tujuan tersebut, meski untuk Indonesia boleh saja diadakan penyesuaian dengan kondisi setempat". Peranjingan memang terhitung kegemaran yang mahal. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan biaya pemeliharaan seekor herder, boxer, doberman atau anjing ras keturunan impor yang tubuhnya besar-besar. Makannya sehari-terdiri dari 1 kg daging Rp 1.200 1 telor ayam Rp 50 nasi 2 ons Rp 50 dan vitamin-vitamin lebih kurang Rp 200. Itu belum termasuk biaya pemeriksaan rutin pada dokter hewan. Tarifnya antara Rp 1000 sampai Rp 5000, tergantung pada dokternya. Untuk anjing kecilan seperti Pekingese atau Pomaranian, biaya makannya cukup separuh dari jumlah tersebut. Di samping kebutuhan materil itu kebutuhan spirituil berupa cinta kasih sang majikan perlu ditumpahkan juga. Tapi ada juga yang berpendapat lain. Mereka mengatakan bahwa sekali hewan peliharaan itu menjadi "anggota keluarga" seseorang, maka yang disebut herder atau boxer harus pula bisa makan serupa makanan majikannya sehari-hari. Yang mereka pentingkan di sini adalah segi pendidikannya. Tak heran keranjingan anjing beberapa tahun ini cepat menjalar ke tingkat masyarakat menengah. Meskipun motif mereka nyaris menyeleweng dari sifat hobi ataupun ilmiah. Sebab yang mereka kejar ialah bagaimana mengkomersialisasi anjing-anjing ras tersebut, supaya biaya pemeliharaan bisa tertutup sekaligus mereka bisa membonceng hidup. Di Jawa saja konon terdapat lebih kurang 2000 kennel peternakan anjing ras. Yang besar-besar terpusat di Jakarta, Bandung, Semarang, Salatiga, Solo dan Surabaya. Bahkan di Jakarta ini orang buka toko anjing, di mana penggemarnya bisa membeli makanan, vitamin dan alat-alat mendidik anjing. Juga bagi anjing pameran tersedia kapsalon anjing di daerah Kebayoran Baru. Hospital anjing, sekolah anjing pun bermunculan. Aspek bisnis yang kian menjadi-jadi ini nampaknya merubah juga iklim peranjingan. "Kini orang lupa bahwa tujuan kynologi adalah for the perfectior of the breed, untuk kesempurnaan jenis ras anjing itu", kata drh. Linus Simanjuntak, yang buka praktek di Jl. Surabaya. "Orang tidak lagi mau repot-repot menyilang Chow-chow dengan jenis anjing lain untuk menghilangkan sifat buruk Chow-chow, sekaligusmencari sifat yang baru dari hasil penyilangan itu". Menurut Linus, hobi anjing itu sebenarnya ilmiah. Dan berdasarkalt pengamatan ilmiah Perkin di Indonesia tercatat 24 jenis ras anjing impor. Ras asli bukan tidak ada. Hanya tinggal nama. Atas permintaan TE M PO, Ketua Perkin, Soedaryanto ada mengirimkan sebuah naskah tentang "Trah-trah Anjing (Asli) di lndonesia". Di sini disebutkan anjing Tengger, Dieng, Batak dan Ajac. Keadaan mereka praktis sudah punah. Kalau pun ada masih berupa sisa yang harus ditemukan. Bagaimanakah prospek kynologi di Indonesia? Cerah boleh, suram pun tidak berlebihan. Tergantung dari sudut mana yang dilihat. Dari segi bisnis, meningkatnya penggemar boleh dijadikan jaminan. Tapi jika dikaitkan dengan kwalitas, otomatis orang berpaling pada Perkin. Protes terang-terang, gerutu tak puas, terhadap organisasi ini, bertubi-tubi dialamatkan kepada pengurusnya. Kebanyakan berkata pada soal silsilah. "Anjing saya langsung keturunan impor, tapi kok dipersulit stamboomnya", begitu keluh seorang pemilik. Sementara itu dia membandingkan anjing lain yang diragukan rasnya, tapi dengan mudah dibekali stamboom Perkin. Meskipun stamboom itu hanya "suatu persetujuan yang dibuat manusia", seperti kata Drh. Simanjuntak, tokh kenyataannya ia menentukan kwalitas seekor anjing. Dari rasa tidak puas itu kemudian timbul organisasi tandingan seperti Ipari (Ikatan Penggemar Anjing Ras Indonesia). Puncak perselisihan terjadi pada bulan September yang lalu. Lewat iklan mini di harian Sirlar Harapan dan Kompas, para anggota (?) dari kedua organisasi yang berseteru, saling menggonggong sekuat mereka. Mereka saling tidak mau mengakui kesahan stamboom yang dikeluarkan oleh organisasi yang bersangkutan. "Perpecahan dalam tubuh Perkin sehingga timbul Ipari disebabkan oleh tingkah-laku dan situasi Perkin sendiri". kata Sekretaris Perkin Cabang Jawa Tengah, Temmy, mengakui terus-terang kelemahan induk-organisasinya. Tapi tambahnya: "Saya pribadi tidak setuju ada dua perkumpulan. Karena ini merugikan mutu kynologi Indonesia sendiri. Sebab ternyata yang tidak puas dengan Perkin tapi belum tentu benar, mencari perlindungan di Ipari. Sebaliknya dari Ipari banyak juga yang mencari perlin dungan di Perkim. Dengan perpecahan itu perkumpulan kynologi bisa cenderung menjadi organisasi massa yang tidak memperhatikan mutu". Ketua Perkin (Pusat) sendiri, Soedaryanto, nampaknya tidak mau mengobral komentar. "Tunjukkan kesalahan kami, kalau mereka bisa. Sebaliknya saya dapat menunjukkan kesalahan mereka", katanya. Soedaryanto mengingatkan bahwa Perkin sebagai satu-satunya organisasi kynologi yang diakui pemerintah lewat keputusan Menteri Pertanian -- jadi satu-satunya yang berwenang mengeluarkan stamboom resmi -- harus mematuhi ketentuan induknya FIC. Misalnya dalam usia pemacakan, Perkin terikat pada batas umur anjing yang telah ditentukan FIC. Meskipun bagi beberapa pemilik kennel peraturan tersebut dianggap sudah ketinggalan zaman. Alasan mereka, masa puber anjing pun kini lebih pesat tibanya. Pokok persoalan nampaknya memang Perkin harus mengkonsolidasikan diri dalam menghadapi dinamika peranjingan dewasa ini. Sementara itu harus dipikirkan bagaimana menyelenggarakan komunikasi secara mantap di antara para anggota dan pengurus. Baru-baru ini beberapa anggota dan simpatisan Perkin -- tergugah untuk ikut membangun kynologi Indonesia --telah menghubungi Soedaryanto dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya di sertai usul konkrit. Mereka menyarankan penerbitan sebuah majalah Satwa. Di sini penggemar dan pedagang anjing khususnya akan bertemu secara teratur. Kritik, informasi perkumpulan, perkembangan dunia satwa di dalam dan luar negeri akan dirangkul dalam penerbitan itu. Di sini pula yang "murni", yang "komersiel" dan yang "profesi" dapat berdialog dengan tertib dan bebas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus