SEBUAH mobil sedan berhenti di depan rumah praktek seorang
dokter hewan di daerah bilangan Menteng. Ketika pintu mobil
terbuka keluar seorang nyonya kulit putih terbungkuk-bungkuk
memeluk seekor anjing berbulu putih-halus dan agak panjang.
Rantai yang menyantel di lehernya dibiarkan bergelantung
menyentuh lantai. Seorang pembantu wanita mengikuti dari
belakang. Nyonya itu nampak gugup, meskipun anjingnya tenang
mendekam di pelukannya.
Sore itu kebetulan pasien dokter hewan itu tidak banyak. Dan
pintu praktek nampak terbuka menyambut setiap kunjungan
penderita.
Langsung sang nyonya masuk. "Kenapa?" tanya dokter mengawali
pembicaraan, sementara pemilik anjing itu tak sabar membaringkan
anjingnya di balai praktek yang berukuran I x 2 meter. "Ini Dok,
si Witty sudah 3 hari tidak-nafsu makan", kata sang nyonya dalam
bahasa Inggeris bernada tinggi, seperti orang minta dikasihani.
"Barangkali ada salah makan atau muntah-muntah", tanya dokter.
"Entahlah. Tapi dia tak acuh, tak bersemangat dan loyo. Saya
jadi sedih kalau dia begini terus", kata sang nyonya sambil
mengusap-usap anjing yang nampak tetap tenang dan pasrah.
Ruang praktek dokter itu berukuran 3 x 5 meter. Terdapat
beberapa baskom, sebuah stetoskop, beberapa alat suntik yang
tabungnya terdiri dari yang kecil sampai yang besar. Di dinding
terpampang gambar silsilah (stamboom) berbagai jenis anjing ras.
Juga gambar kucing burung dan hewan peliharaan lainnya. Bau obat
bercampur karbol menusuk hidung.
Dibantu seorang manteri yang nampaknya sudah terlatih menguasai
pasien binatang, sang dokter memeriksa pasiennya. Stetoskop
ditempelkan di tubuh anjing. Barangkali saja ada kelainan pada
jantung atau paru-paru. Tak banyak beda dengan dokter manusia.
Kedua tangannya pun meraba-raba dan menekan bagian yang dianggap
dapat menunjukkan gejala penyakit.
"Saya suntik saja. Tak ada kelainan yang luar biasa", dokter
hewan itu mem beri diagnosa tanpa menyebutkan penyakit si Witty
itu. Ketika jarum menembus pinggulnya, si Witty terhenyak kaget,
tapi tidak sampai memberontak. Yang nampak menahan sakit karena
tusukan jarum itu malah si majikan. Ia menyeringai sambil kedua
tangannya memegangi anjingnya erat-erat. Setelah diberi resep,
wanita setengah umur itu nampak puas. Seolah dia ikut menerima
pengobatan itu.
Konon anjing betina itu tak lebih dari blasteran. Tanpa akte
silsilah tentunya.
Masih di tempat praktek dokter hewan tersebut. Tak lama kemudian
datang dua orang pemuda. Mereka tak membawa pasien. Tapi
menerangkan bahwa kedatangan mereka hanya untuk "minta advis".
"Kami kebetulan di Jakarta. Dan orang tua kami di Medan ada
pesan pada kami untuk menanyakan pak dokter di mana kami bisa
membeli sepasang Pekingese yang baik". Ternyata mereka anak
pembesar.
Dokter yang ramah itu tak menampik pertanyaan itu. "Yang baik
banyak", katanya, "tapi saya tidak tahu selera saudara". Mereka
lantas membuat perjanjian untuk bertemu kembali dengan kehadiran
penjual anjing Pekingese yang dimaksud. Harganya? "Tergantung
pada kwalitas dan stamboom. Yang pakai stamboom bisa mencapai
150 ribu. Tanpa stamboom 50 ribu pun dapat". Harga itu tentu
saja berlaku untuk anjing Peking yang baru berusia sekitar dua
bulan. Yang dewasa sekitar 1 - 1 1/2 tahun dengan stamboom laku
sekitar 500 ribu rupiah. Dan jangan lupa, usia maksimum seekor
anjing Peking berkisar 12 sampai 15 tahun.
Kynologi atau peranjingan dewasa ini nampak menduduki tempat
teratas dalam dunia satwa domestik. Di tengah warga satwa
seperti burung, kucing, ikan-hias, monyet, kuda dan lain
sebagainya, anjing sejak dulu dinilai berfungsi ganda. St.
Bernard misalnya mempunyai spesialisasi menuntun orang buta.
Meskipun semua anjing buta-warna, ia dapat "membaca" isyarat
lampu lalulintas. Herder atau anjing gembala Jerman terkenal
sebagai anjing cerdas dan serba guna. Doberman tinggi
inteligensinya bahkan melebihi semua "I.Q" anjing jenis lain --
sering diikut-sertakan dalam aksi polisionil maupun militer.
Boxer, si pesek dan berwajah kumal menakutkan, ternyata penyabar
dan kawan karib setiap anak kecil. Kisah The Story of Lassie,
diperankan seekor Collie moncongnya lancip seperti pensil --
menceritakan anjing keluarga yang sangat penolong. Terrier, si
cabe rawit, terhitung kampiun menangkap tikus. Sementara Great
Dane yang mirip anak macan tutul, bisa berfungsi sebagai centeng
yang setia.
Anjing-anjing ras tersebut lazim dimasukkan dalam kelompok
"anjing pekerja" (working dogs). Meskipun tak jarang
diikutsertakan dalam pameran-pameran anjing.
TAPI di Indonesia, terutama di Jawa, nampaknya "anjing pameran"
(show dogs) lebih favorit. Ini sudah barang tentu sangat erat
hubungannya dengan mode -- yang biasanya bisa mendongkrak ke
atas status sosial pemilik anjing. Kelompok ini banyak
memelihara Pekingese, Pomaranian, Chihuahua, Pudel, Cooker
Spaniel dan lain sebagainya. Meskipun tak jarang pula di antara
mereka yang memperlakukan "anjing pekerja" untuk tujuan
pajangan.
Kegiatan mereka umumnya dihimpun di Perkin (Perkumpulan Kynologi
Indonesia). Perkumpulan ini resmi berdiri pada tahun 1958. Tapi
dulunya dikenal sebagai NIKV (Nederlands Indische Kynologen
Venenigin) yang pertama didirikan pada tahun 1922, zaman
penjajahan Belanda. Sebagai anggota FlC (F ederation Cynolgique
Internasionale) atau Federasi Internasional Anjing, Perkin kini
menampung sekitar 5000 orang anggota. Ditambah dengan mereka
yang mempunyai anjing dengan silsilah (stamboom) Perkin serta
mereka yang melaporkan pemacakan anjing untuk memperoleh
silsilah, yang diperkirakan sebanyak 30.000 orang, maka anggota
plus simpatisan Perkin berkisar sekitar 35.000 orang.
Apakah tujuan mereka menjadi anggota Perkin? "Supaya bisa dapat
stamboom dengan harga murah", kata seorang anggota. Menurut
ketentuan seorang anggota yang mendaftarkan pemacakan hanya
dikenakan Rp 1.500 untuk satu staamboom. Yang bukan anggota Rp
4.500.
Tapi buat Ketua Perkin, Drs. R.J. Soedaryanto, kegiatan Perkin
mempunyai jangkauan yang lebih idealistis. Di sini kynologi
sebagai hobi, sport dan ilmu hendak dikembangkan lewat pemacakan
anjing-anjing ras. "Bagaimana kita mempertahankan keunggulan ras
suatu anjing", "Mendidik dan membina bakat anjing". Dan tentu
saja "Membuat tatatertib dan peraturan untuk mencapai tujuan
tersebut, meski untuk Indonesia boleh saja diadakan penyesuaian
dengan kondisi setempat".
Peranjingan memang terhitung kegemaran yang mahal. Lebih-lebih
jika dikaitkan dengan biaya pemeliharaan seekor herder, boxer,
doberman atau anjing ras keturunan impor yang tubuhnya
besar-besar. Makannya sehari-terdiri dari 1 kg daging Rp 1.200
1 telor ayam Rp 50 nasi 2 ons Rp 50 dan vitamin-vitamin lebih
kurang Rp 200. Itu belum termasuk biaya pemeriksaan rutin pada
dokter hewan. Tarifnya antara Rp 1000 sampai Rp 5000, tergantung
pada dokternya. Untuk anjing kecilan seperti Pekingese atau
Pomaranian, biaya makannya cukup separuh dari jumlah tersebut.
Di samping kebutuhan materil itu kebutuhan spirituil berupa
cinta kasih sang majikan perlu ditumpahkan juga. Tapi ada juga
yang berpendapat lain. Mereka mengatakan bahwa sekali hewan
peliharaan itu menjadi "anggota keluarga" seseorang, maka yang
disebut herder atau boxer harus pula bisa makan serupa makanan
majikannya sehari-hari. Yang mereka pentingkan di sini adalah
segi pendidikannya.
Tak heran keranjingan anjing beberapa tahun ini cepat menjalar
ke tingkat masyarakat menengah. Meskipun motif mereka nyaris
menyeleweng dari sifat hobi ataupun ilmiah. Sebab yang mereka
kejar ialah bagaimana mengkomersialisasi anjing-anjing ras
tersebut, supaya biaya pemeliharaan bisa tertutup sekaligus
mereka bisa membonceng hidup. Di Jawa saja konon terdapat lebih
kurang 2000 kennel peternakan anjing ras. Yang besar-besar
terpusat di Jakarta, Bandung, Semarang, Salatiga, Solo dan
Surabaya. Bahkan di Jakarta ini orang buka toko anjing, di mana
penggemarnya bisa membeli makanan, vitamin dan alat-alat
mendidik anjing. Juga bagi anjing pameran tersedia kapsalon
anjing di daerah Kebayoran Baru. Hospital anjing, sekolah anjing
pun bermunculan.
Aspek bisnis yang kian menjadi-jadi ini nampaknya merubah juga
iklim peranjingan. "Kini orang lupa bahwa tujuan kynologi adalah
for the perfectior of the breed, untuk kesempurnaan jenis ras
anjing itu", kata drh. Linus Simanjuntak, yang buka praktek di
Jl. Surabaya. "Orang tidak lagi mau repot-repot menyilang
Chow-chow dengan jenis anjing lain untuk menghilangkan sifat
buruk Chow-chow, sekaligusmencari sifat yang baru dari hasil
penyilangan itu".
Menurut Linus, hobi anjing itu sebenarnya ilmiah. Dan
berdasarkalt pengamatan ilmiah Perkin di Indonesia tercatat 24
jenis ras anjing impor. Ras asli bukan tidak ada. Hanya tinggal
nama. Atas permintaan TE M PO, Ketua Perkin, Soedaryanto ada
mengirimkan sebuah naskah tentang "Trah-trah Anjing (Asli) di
lndonesia". Di sini disebutkan anjing Tengger, Dieng, Batak dan
Ajac. Keadaan mereka praktis sudah punah. Kalau pun ada masih
berupa sisa yang harus ditemukan.
Bagaimanakah prospek kynologi di Indonesia? Cerah boleh, suram
pun tidak berlebihan. Tergantung dari sudut mana yang dilihat.
Dari segi bisnis, meningkatnya penggemar boleh dijadikan
jaminan. Tapi jika dikaitkan dengan kwalitas, otomatis orang
berpaling pada Perkin. Protes terang-terang, gerutu tak puas,
terhadap organisasi ini, bertubi-tubi dialamatkan kepada
pengurusnya. Kebanyakan berkata pada soal silsilah. "Anjing saya
langsung keturunan impor, tapi kok dipersulit stamboomnya",
begitu keluh seorang pemilik. Sementara itu dia membandingkan
anjing lain yang diragukan rasnya, tapi dengan mudah dibekali
stamboom Perkin. Meskipun stamboom itu hanya "suatu persetujuan
yang dibuat manusia", seperti kata Drh. Simanjuntak, tokh
kenyataannya ia menentukan kwalitas seekor anjing.
Dari rasa tidak puas itu kemudian timbul organisasi tandingan
seperti Ipari (Ikatan Penggemar Anjing Ras Indonesia). Puncak
perselisihan terjadi pada bulan September yang lalu. Lewat iklan
mini di harian Sirlar Harapan dan Kompas, para anggota (?) dari
kedua organisasi yang berseteru, saling menggonggong sekuat
mereka. Mereka saling tidak mau mengakui kesahan stamboom yang
dikeluarkan oleh organisasi yang bersangkutan.
"Perpecahan dalam tubuh Perkin sehingga timbul Ipari disebabkan
oleh tingkah-laku dan situasi Perkin sendiri". kata Sekretaris
Perkin Cabang Jawa Tengah, Temmy, mengakui terus-terang
kelemahan induk-organisasinya. Tapi tambahnya: "Saya pribadi
tidak setuju ada dua perkumpulan. Karena ini merugikan mutu
kynologi Indonesia sendiri. Sebab ternyata yang tidak puas
dengan Perkin tapi belum tentu benar, mencari perlindungan di
Ipari. Sebaliknya dari Ipari banyak juga yang mencari perlin
dungan di Perkim. Dengan perpecahan itu perkumpulan kynologi
bisa cenderung menjadi organisasi massa yang tidak memperhatikan
mutu".
Ketua Perkin (Pusat) sendiri, Soedaryanto, nampaknya tidak mau
mengobral komentar. "Tunjukkan kesalahan kami, kalau mereka
bisa. Sebaliknya saya dapat menunjukkan kesalahan mereka",
katanya. Soedaryanto mengingatkan bahwa Perkin sebagai
satu-satunya organisasi kynologi yang diakui pemerintah lewat
keputusan Menteri Pertanian -- jadi satu-satunya yang berwenang
mengeluarkan stamboom resmi -- harus mematuhi ketentuan induknya
FIC. Misalnya dalam usia pemacakan, Perkin terikat pada batas
umur anjing yang telah ditentukan FIC. Meskipun bagi beberapa
pemilik kennel peraturan tersebut dianggap sudah ketinggalan
zaman. Alasan mereka, masa puber anjing pun kini lebih pesat
tibanya.
Pokok persoalan nampaknya memang Perkin harus mengkonsolidasikan
diri dalam menghadapi dinamika peranjingan dewasa ini. Sementara
itu harus dipikirkan bagaimana menyelenggarakan komunikasi
secara mantap di antara para anggota dan pengurus.
Baru-baru ini beberapa anggota dan simpatisan Perkin -- tergugah
untuk ikut membangun kynologi Indonesia --telah menghubungi
Soedaryanto dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya di
sertai usul konkrit. Mereka menyarankan penerbitan sebuah
majalah Satwa. Di sini penggemar dan pedagang anjing khususnya
akan bertemu secara teratur. Kritik, informasi perkumpulan,
perkembangan dunia satwa di dalam dan luar negeri akan dirangkul
dalam penerbitan itu. Di sini pula yang "murni", yang
"komersiel" dan yang "profesi" dapat berdialog dengan tertib dan
bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini