SEJAK Menteri Penerangan Mashuri mengumumkan rencana penyetopan
film impor, dunia film Indonesia diliputi kesibukan diskusi,
termasuk komentar di ruang pembaca beberapa surat kabar. Para
penonton awam pada umumnya masih kurang yakin terhadap film
Indonesia untuk menggantikan kedudukan film impor secara
keseluruhan, sedang orang film melihat rencana penyetopan film
impor hanya bagian kecil dari suatu usaha besar untuk
memperbaiki dunia film nasional. Wawancara tertulis Menteri
Penerangan dengan TEMPO berikut ini secara lebih terperinci ada
menjelaskan sebagian besar soal yang lagi menarik perhatian itu.
Tanya: Kebijaksanaan bapak untuk menyetop flm impor, dinilai
oleh sementara orang kurang sesuai dengan kebijaksanaan umum
pemerintah "Orde Baru"yang sejak semula membuka pintu kepada
dunia luar setelah terisolir pada zaman "Orde Lama" Ataukah
kebijaksanaan bapak ini sebagian dari perubahan kebijaksanaan
Pemerintah untuk secara perlahan-lahan mengurangi keterbukaan
kita kepada dunia luar?
Jawab: Pengimporan film dengan sistim kwota sejak 1973 secara
bertahap terus dikurangi dari 600 judul -- sekarang ini 300
judul -- dan direncanakan sesudah berjalan lima tahun yaitu
jatuh pada tahun 1978 kwota menjadi 0 atau hapus.
Langkah-langkah ini diinterpretasikan orang bahwa Indonesia
"menyetop" mati pemasukan film dari luar. Sesungguhnya tak
demikian. Sebagai contoh tahun 1976 ini kwota 300 judul, di luar
kwota tersebut ada 20 judul untuk film anak-anak. Sejak tahun
1978 dalam jumlah yang sangat terbatas dan seleksi ketat,
pemasukan film tetap dilakukan untuk digunakan sebagai bahan
perbandingan film nasional. Jelas bahwa kita menutup pintu bagi
masuknya film luar yang negatif yang hanya mengeksploitir
naluri-naluri rendah (sementara orang menamakan film kelas "B"),
yang dapat merugikan dan merusak mental bangsa. Sedangkan secara
sangat selektif film luar yang bernilai dan dapat memperkaya
kebudayaan nasional tetap kita terima.
T: Banyak gedung bioskop mewah yang dibangun sejak pemerintah
Orde Baru. Ini kabarnya sudah bisa dipastikan tidak bisa hidup
hanya dengan memutar flm-flm nasional. Bagaimana usaha
pemerintah untuk mencegah kerugian para pemilik bioskop mewah
yang dulu dibangun juga atas anjuran Pemerintah?
J: Pembangunan Indonesia diorientasikan kepada kepentingan
rakyat banyak (mayoritas). Gedung bioskop mewah seluruh
Indonesia hanya sekitar 1% saja dari lebih kurang 900 buah.
Sesuai dengan orientasi tersebut, kebijaksanaannya ialah
bagaimana dapat memberi hiburan sehat di samping pendidikan dan
penerangan secara murah kepada sebanyak mungkin rakyat. Jadi
jelas orientasinya bukan pada golongan elite, tetapi pada
mayoritas rakyat. Tentang "kabar sudah bisa dipastikan (bioskop
mewah) tidak bisa hidup hanya dengan memutar film-film nasional"
ini berbau pengusaha bioskop mewah, yang karena kelihatannya
dapat melakukan semacam intimidasi halus tapi mencekam, ialah
bahwa film nasional tidak laku untuk diputar di gedung bioskop
mewah. Jika dipaksakan gedung bioskop akan gulung tikar.
Intimidasi semacam ini sempat mencekam seorang pejabat hingga
terlontar kata-katanya yang merupakan "vonnis kematian" bagi
film nasional. Nyatanya dengan kebijaksanaan mengundurkan
tanggal dikeluarkannya kwota, dari 1 Januari 1976 menjadi 1
April 1976, hingga film impor menjadi menipis, beberapa film
nasional yang diputar di Jakarta dapat bertahan sampai lebih
kurang 2 minggu.
T: Gubernur Jakarta Raya Ali Sadikin merasa akan dirugikan Rp 2
milyar oleh penyetopan film impor itu. Kalau benar begitu hal
semacam ini tentu juga akan dialami oleh Pemerintah Daerah di
berbagai tempat. Apakah ini tidak akan mengganggu anggaran
daerah?
J: Bagaimana sampai dengan hitungan angka tersebut saya kurang
faham, saudara sendiripun menyangsikannya, terbukti dari
kata-kata "kalau benar begitu", karenanya harap ditanyakan pada
yang bersangkutan. Menurut catatan, perhatian untuk menonton
film nasional di daerah-daerah dari tahun ke tahun terus
meningkat, dan jumlah penontonnya menjuarai penonton film dari
negara-negara lain. Dari kenyataan ini saya rasa kekhawatiran
saudara itu tidak berdasar.
T: Penyetopan film impor antara lain dimaksudkan untuk
melindungi (proteksi) film nasional. Apakah bapak menganggap
industri flm nasional kita masih berada dalam tingkat infant
industry? Apakah SK Bersama Tiga Menteri dulu itu masih dianggap
kurang memberi perlindungan?
J: Bicara soal industri, apabila kita terapkan kaidah-kaidah
agar sesuatu usaha disebut industri, maka dalam usaha perfilman
nasional kita, masih banyak hal yang harus dibenahi, meskipun
tidak kurang di antara para produser yang sudah mempunyai cukup
pengalaman. Namun justru karena itulah usaha-usaha yang menuju
kepada terciptanya sebuah industri film nasional harus kita
lindungi dan kita dorong terus untuk berkembang.
Mekanisme-mekanisme itu antara lain dimaksud untuk:
a. memberikan kesempatan dan keleluasaan yang lebih baik kepada
film nasional dengan meniadakan persaingan yang tak wajar
terhadap flm-film yang tidak dapat dibuat di Indonesia.
b. memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada para pengusaha
bioskop untuk mulai meninggalkan prasangka bahwa film nasional
itu jelek dan tidak laku.
c. memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada semua insan film
Indonesia untuk mulai meningkatkan kepercayaan akan kemampuan
sendiri.
d. memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada para importir
film untuk mulai bergerak di bidang produksi. Jadi SK 3 Menteri
itu merupakan kontinuitas dan sekaligus pangkal tolak untuk
membina lebih lanjut penataan secara menyeluruh perfilman
nasional.
T: Bicara mengenai proteksi, maka biasanya yang terjadi adalah
subsidi. Mengingat subsidi itu berasal dari pajak rakyat,
beberapa kalangan berpendapat bahwa proteksi itu hanya akan
menimbulkan ketidak-adilan: yakni hanya dinikmati para produser
flm. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pendapat ini?
J: Perlindungan atau proteksi, itu tidak selalu harus berbentuk
subsidi, apa yang telah kami utarakan tadi di atas adalah suatu
perlindungan pula. Dan perlindungan ini terjadi di mana-mana,
tidak hanya di negara kita sendiri. Bahkan di Amerika pun
perlindungan itu ada.
T: Selama ini film-film buatan dalam negeri sebagian besar
merupakan tiruan kasar dari flm-flm impor. Adakah jaminan bahwa
kebiasaan itu bisa dihindari setelah para produser kita mendapat
perlindungan dari Pemerintah? Mekanisme apakah kiranya yang akan
dipakai oleh Pemerintah untuk membuat para produser itu untuk
tidak cuma menikmati proteksi tapi juga berbuat sesuatu bagi
kepentingan masyarakat?
J: Pertama-tama ingin saya koreksi perkataan Saudara, yaitu
"sebagian besar" yang dapat menimbulkan kesan "paling tidak
lebih dari separuh" sedangkan kenyataannya tidak demikian.
Jangankan "tiruan kasar", tiruan halus sekalipun nyatanya tidak
demikian. Kebiasaan meniru pada dasarnya bukan hanya merupakan
sifat produksi film Indonesia saja. Telah sama kita ketahui
bahwa begitu Godfather, The Excorcist dan Jaws sukses luar
biasa, maka lahirlah sejumlah pengikut-pengikut film-fllm
tersebut sehingga bahkan timbul semacam usaha-usaha penipuan di
dalam promosi dan iklan-iklan film yang disebut belakangan. Itu
yang pertama-tama harus mendapat perhatian kita. Yang kedua
adalah kenyataan bahwa masalah "orisinalitas" yang benar-benar
murni dalam karya film, yang notabene merupakan karya kolektif,
sulit untuk kita cari. Terjadinya proses pengaruh mempengaruhi
atau kecenderungan untuk meniru oleh karena itu sering terjadi.
Yang ketiga, yang patut pula memperoleh perhatian kita adalah
bahwa lahirnya "peniruanpeniruan" dari film impor itu, justru
karena terlalu banyaknya film impor yang negatif, hingga
pengaruhnya terhadap film nasional negatif pula. Aspek positif
dengan "distopnya" film impor diharapkan akan menghilangkan
kebiasaan meniru-niru. Bicara soal jaminan maka pertama-tama
hendaknya didasari bahwa melenyapkan suatu "kebiasaan" jelas
memerlukan waktu yang dibarengi penciptaan situasi dan kondisi
yang harus membantu untuk dapat melenyapkan "kebiasaan"
tersebut. Jelasnya, jaminan itu tidak harus semata-mata datang
dari Pemerintah, tapi dari kita semua dan kita bersama.
T: Sinyalemen bapak mengenai "sabotase" kalangan perbioskopan
terhadap film nasional dianggap tidak fair oleh fihak
perbioskopan.
J: Tentang sabotase kalangan perbioskopan tertentu terhadap film
nasional sebenarnya bukan barang baru karena Dewan Film Nasional
sendiri dalam memorandumnya pernah mensinyalir hal tersebut
dengan menyarankan jalan ke luar, agar "dibuat sebuah tempat
pertunjukan khusus untuk film-film nasional untuk dapat melihat
dan menilai kekurangan apa saja yang masih dimiliki oleh
rata-rata film nasional, terutama sekali di bidang teknik".
Lahirnya Memorandum Dewan Film ini dilatar belakangi
kepahitan-kepahitan yang dialami oleh film nasional apabila
telah masuk bioskop untuk pertunjukan umum. Dalam hubungan
inilah maka saya sepenuhnya mendukung adanya konsensus di antara
PPFI dan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail agar setiap preview
film nasional dilakukan di gedung bioskop Citra dengan alasan di
samping secara idiil lokasinya memang cocok, maka yang terutama
sekali dengan tetapnya tempat preview untuk setiap film nasional
akan selalu dapat dilakukan penilaian obyektif secara terus
menerus terhadap peningkatan (atau mungkin juga penurunan) mutu,
teknik, artistik dalam film-film nasional. Dengan demikian,
apabila memang di gedung Citra sesuatu film nasional sudah jelas
jelek teknik suara atau gambarnya, maka tidak perlu lagi ada
produser yang membuat issue adanya sabotase dari fihak bioskop.
T: Film memang bukan cuma barang dagangan. Tapi
kenyataan menunjukkan film nasional kita hingga sekarang ini
sebagian besar melulu barang dagangan saja. Usaha apakah yang
akan dilakukan oleh Pemerintah bagi lahirnya f lm-film yang
"bukan cuma barang dagangan tapi juga benda budaya"? Adakah
kemungkinan Pemerintah membentuk sebuah lembaga yang menangani
pembuatan f lm yang demikian itu?
J: Usaha menjadikan film nasional bukan cuma barang dagangan
tapi juga benda budaya sebenarnya merupakan hakekat dari
pembinaan perfilman nasional. Karena itu pada dasarnya segala
macam usaha yang telah ataupun akan dilakukan di bidang
pembinaan perfilman ditujukan ke arah lahirnya "film nasional
yang bukan cuma barang dagangan tapi juga benda budaya".
Usaha-usaha konkrit yang dalam waktu dekat akan dilaksanakan
adalah dibentuknya semacam lembaga yang terdiri dari tokoh-tokoh
film dan tokoh-tokoh masyarakat. Tugas badan tersebut antara
lain memberikan saran, rekomendasi berdasarkan hasil-hasil
penelitian mengenai bagaimana thema/corak/cerita film nasional
yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi komersilnya
(karena menyangkut pengembalian modal maupun segi idiilnya
(yaitu bobot budayanya). Pada prinsipnya sesuai dengan
kebijaksanaan umum Pemerintah yang ada, Departemen Penerangan
sebagai pembina perfilman tidak berkeinginan untuk menangani
secara langsung pembuatan katakanlah -- film-film teladan,
selama masih ada produser yang patut dianggap mempunyai
kemampuan atas prakarsanya sendiri membuat film seperti itu.
Namun demikian, Departemen Penerangan pun tidak akan menutup
pintu dan mata, apabila lembaga semacam itu memang diperlukan,
maka sudah barang tentu dapat dibentuk.
T: Setiap tahunnya, diperlukan 350 judul film untuk mengisi
kebutuhan gedung bioskop di Indonesia demikian fihak
perbioskopan menjelaskan. Setelah film impor dihentikan, maka
tugas film nasional untuk mengisi kekosongan tersebut. Yang
menjadi soal adalah bahwa seluruh karyawan f lm yang ada,
menurut Ketua KFT Sumardjono, cuma mampu membuat flm 100 judul.
Bagaimana mengisi kekurangan film yung begitu banyak?
J: Mudah-mudahan bukan "fihak perbioskopan" yang sebenarnya
memberikan penjelasan kepada saudara, karena apabila memang
mereka, maka terus terang saja saya jadi kurang mengerti.
Mengapa demikian? Pada awal tahun 1973 "fihak perbioskopan"
melaporkan bahwa untuk gedung bioskop yang pada waktu itu
berjumlah k.l. 750 buah diperlukan 600 judul film setahun. Tapi
mengapa sekarang dengan jumlah bioskop 926 buah, yang berarti
mengalami kenaikan k.l. 30%, kebutuhan film malah "menurun"
sebanyak k.l. 40% hingga menjadi 350 judul. Jadi dulu ketika
tahun 1973 itu perhitungan didasarkan apa, dan sekarang di tahun
1976 dasar perhitungannya apa? Terus terang saja jumlah film
yang diperlukan secara tcpat sekarang ini sulit untuk
ditetapkan, terutama karena disebabkan oleh belum tertibnya tata
peredaran film selama ini. Oleh karena itulah saya merasakan
urgensi untuk dibentuknya KDFI (Kerja sama Distribusi Film
Indonesia) karena dengan demikian secara tak terlalu lambat
dapat disusun tata peredaran film yang lebih baik dan tertib,
hingga akhirnya kita dapat sampai pada suatu margin jumlah film
yang setiap tahunnya diperlukan untuk mensuplai seluruh bioskop
yang ada di tanah air ini. Menyinggung ucapan saudara Sumardjono
yang mengatakan bahwa seluruh karyawan film yang ada cuma mampu
membuat film 100 judul setahun, saya anggap sebagai pernyataan
yang terlalu pesimistis. Mengapa tidak? Berdasarkan data tentang
jumlah karyawan yang ada maka baik Pimpinan Produksi, Penulis
Skenario, sutradara, cameraman, Editor, Soundman, Music
Director, Art Director, Pimpinan Unit, adalah relatif cukup.
Belum lagi diperhitungkan akan bertambahnya tenaga karena
pengembangan perfilman nasional pada umumnya. Dengan demikian
kekhawatiran berdasar jumlah karyawan, saya kira tak perlu ada.
T: Juga prasarana untuk industri film kita masih amat kurang.
Kamera, lensa-lensa, studio dengan perlengkapannya serta
laboratorium, sama sekali amat kurang. Bagaimanakah usaha
Pemerintah di bidang ini?
J: Untuk dikatakan "kurang" apalagi "amat kurang" terus terang
saya tidak sependapat, karena kenyataannya tak demikian. Sebagai
contoh dapat saya kemukakan, ketika jumlah produksi di tahun
1975 turun menjadi 41 judul setelah di tahun 1974 mencapai 77
judul, banyak laporan yang menyatakan sarana-sarana teknis milik
mereka nganggur. Apabila memang laporan itu benar, berarti
dengan sarana teknis yang telah ada tak perlu pesimistis.
Pengembangan sarana-sarana untuk menunjang produksi perfilman di
tahun-tahun mendatang diusahakan terus seperti pengadaan
laboratorium berwarna, dsb.
T: Film-film asing yang bakal masuk nantinya merupakan hasil
seleksi. Bagaimanakah proses seleksi itu siapa yang
melakukannya siapa pula yang memasukkannya ke Indonesia?
J: Saya anggap pertanyaan saudara masih terlalu prematur untuk
dijawab sekarang ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini