Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sekali lagi menteri mashuri ...

Film impor tidak distop, masuk dengan selektif, menghindari pengaruh negatif. memberikan perlindungan & dorongan bagi film nasional. dibentuk badan pertimbangan untuk menilai mutu & bobot film nasional.(fl)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Menteri Penerangan Mashuri mengumumkan rencana penyetopan film impor, dunia film Indonesia diliputi kesibukan diskusi, termasuk komentar di ruang pembaca beberapa surat kabar. Para penonton awam pada umumnya masih kurang yakin terhadap film Indonesia untuk menggantikan kedudukan film impor secara keseluruhan, sedang orang film melihat rencana penyetopan film impor hanya bagian kecil dari suatu usaha besar untuk memperbaiki dunia film nasional. Wawancara tertulis Menteri Penerangan dengan TEMPO berikut ini secara lebih terperinci ada menjelaskan sebagian besar soal yang lagi menarik perhatian itu. Tanya: Kebijaksanaan bapak untuk menyetop flm impor, dinilai oleh sementara orang kurang sesuai dengan kebijaksanaan umum pemerintah "Orde Baru"yang sejak semula membuka pintu kepada dunia luar setelah terisolir pada zaman "Orde Lama" Ataukah kebijaksanaan bapak ini sebagian dari perubahan kebijaksanaan Pemerintah untuk secara perlahan-lahan mengurangi keterbukaan kita kepada dunia luar? Jawab: Pengimporan film dengan sistim kwota sejak 1973 secara bertahap terus dikurangi dari 600 judul -- sekarang ini 300 judul -- dan direncanakan sesudah berjalan lima tahun yaitu jatuh pada tahun 1978 kwota menjadi 0 atau hapus. Langkah-langkah ini diinterpretasikan orang bahwa Indonesia "menyetop" mati pemasukan film dari luar. Sesungguhnya tak demikian. Sebagai contoh tahun 1976 ini kwota 300 judul, di luar kwota tersebut ada 20 judul untuk film anak-anak. Sejak tahun 1978 dalam jumlah yang sangat terbatas dan seleksi ketat, pemasukan film tetap dilakukan untuk digunakan sebagai bahan perbandingan film nasional. Jelas bahwa kita menutup pintu bagi masuknya film luar yang negatif yang hanya mengeksploitir naluri-naluri rendah (sementara orang menamakan film kelas "B"), yang dapat merugikan dan merusak mental bangsa. Sedangkan secara sangat selektif film luar yang bernilai dan dapat memperkaya kebudayaan nasional tetap kita terima. T: Banyak gedung bioskop mewah yang dibangun sejak pemerintah Orde Baru. Ini kabarnya sudah bisa dipastikan tidak bisa hidup hanya dengan memutar flm-flm nasional. Bagaimana usaha pemerintah untuk mencegah kerugian para pemilik bioskop mewah yang dulu dibangun juga atas anjuran Pemerintah? J: Pembangunan Indonesia diorientasikan kepada kepentingan rakyat banyak (mayoritas). Gedung bioskop mewah seluruh Indonesia hanya sekitar 1% saja dari lebih kurang 900 buah. Sesuai dengan orientasi tersebut, kebijaksanaannya ialah bagaimana dapat memberi hiburan sehat di samping pendidikan dan penerangan secara murah kepada sebanyak mungkin rakyat. Jadi jelas orientasinya bukan pada golongan elite, tetapi pada mayoritas rakyat. Tentang "kabar sudah bisa dipastikan (bioskop mewah) tidak bisa hidup hanya dengan memutar film-film nasional" ini berbau pengusaha bioskop mewah, yang karena kelihatannya dapat melakukan semacam intimidasi halus tapi mencekam, ialah bahwa film nasional tidak laku untuk diputar di gedung bioskop mewah. Jika dipaksakan gedung bioskop akan gulung tikar. Intimidasi semacam ini sempat mencekam seorang pejabat hingga terlontar kata-katanya yang merupakan "vonnis kematian" bagi film nasional. Nyatanya dengan kebijaksanaan mengundurkan tanggal dikeluarkannya kwota, dari 1 Januari 1976 menjadi 1 April 1976, hingga film impor menjadi menipis, beberapa film nasional yang diputar di Jakarta dapat bertahan sampai lebih kurang 2 minggu. T: Gubernur Jakarta Raya Ali Sadikin merasa akan dirugikan Rp 2 milyar oleh penyetopan film impor itu. Kalau benar begitu hal semacam ini tentu juga akan dialami oleh Pemerintah Daerah di berbagai tempat. Apakah ini tidak akan mengganggu anggaran daerah? J: Bagaimana sampai dengan hitungan angka tersebut saya kurang faham, saudara sendiripun menyangsikannya, terbukti dari kata-kata "kalau benar begitu", karenanya harap ditanyakan pada yang bersangkutan. Menurut catatan, perhatian untuk menonton film nasional di daerah-daerah dari tahun ke tahun terus meningkat, dan jumlah penontonnya menjuarai penonton film dari negara-negara lain. Dari kenyataan ini saya rasa kekhawatiran saudara itu tidak berdasar. T: Penyetopan film impor antara lain dimaksudkan untuk melindungi (proteksi) film nasional. Apakah bapak menganggap industri flm nasional kita masih berada dalam tingkat infant industry? Apakah SK Bersama Tiga Menteri dulu itu masih dianggap kurang memberi perlindungan? J: Bicara soal industri, apabila kita terapkan kaidah-kaidah agar sesuatu usaha disebut industri, maka dalam usaha perfilman nasional kita, masih banyak hal yang harus dibenahi, meskipun tidak kurang di antara para produser yang sudah mempunyai cukup pengalaman. Namun justru karena itulah usaha-usaha yang menuju kepada terciptanya sebuah industri film nasional harus kita lindungi dan kita dorong terus untuk berkembang. Mekanisme-mekanisme itu antara lain dimaksud untuk: a. memberikan kesempatan dan keleluasaan yang lebih baik kepada film nasional dengan meniadakan persaingan yang tak wajar terhadap flm-film yang tidak dapat dibuat di Indonesia. b. memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada para pengusaha bioskop untuk mulai meninggalkan prasangka bahwa film nasional itu jelek dan tidak laku. c. memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada semua insan film Indonesia untuk mulai meningkatkan kepercayaan akan kemampuan sendiri. d. memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada para importir film untuk mulai bergerak di bidang produksi. Jadi SK 3 Menteri itu merupakan kontinuitas dan sekaligus pangkal tolak untuk membina lebih lanjut penataan secara menyeluruh perfilman nasional. T: Bicara mengenai proteksi, maka biasanya yang terjadi adalah subsidi. Mengingat subsidi itu berasal dari pajak rakyat, beberapa kalangan berpendapat bahwa proteksi itu hanya akan menimbulkan ketidak-adilan: yakni hanya dinikmati para produser flm. Bagaimana tanggapan bapak mengenai pendapat ini? J: Perlindungan atau proteksi, itu tidak selalu harus berbentuk subsidi, apa yang telah kami utarakan tadi di atas adalah suatu perlindungan pula. Dan perlindungan ini terjadi di mana-mana, tidak hanya di negara kita sendiri. Bahkan di Amerika pun perlindungan itu ada. T: Selama ini film-film buatan dalam negeri sebagian besar merupakan tiruan kasar dari flm-flm impor. Adakah jaminan bahwa kebiasaan itu bisa dihindari setelah para produser kita mendapat perlindungan dari Pemerintah? Mekanisme apakah kiranya yang akan dipakai oleh Pemerintah untuk membuat para produser itu untuk tidak cuma menikmati proteksi tapi juga berbuat sesuatu bagi kepentingan masyarakat? J: Pertama-tama ingin saya koreksi perkataan Saudara, yaitu "sebagian besar" yang dapat menimbulkan kesan "paling tidak lebih dari separuh" sedangkan kenyataannya tidak demikian. Jangankan "tiruan kasar", tiruan halus sekalipun nyatanya tidak demikian. Kebiasaan meniru pada dasarnya bukan hanya merupakan sifat produksi film Indonesia saja. Telah sama kita ketahui bahwa begitu Godfather, The Excorcist dan Jaws sukses luar biasa, maka lahirlah sejumlah pengikut-pengikut film-fllm tersebut sehingga bahkan timbul semacam usaha-usaha penipuan di dalam promosi dan iklan-iklan film yang disebut belakangan. Itu yang pertama-tama harus mendapat perhatian kita. Yang kedua adalah kenyataan bahwa masalah "orisinalitas" yang benar-benar murni dalam karya film, yang notabene merupakan karya kolektif, sulit untuk kita cari. Terjadinya proses pengaruh mempengaruhi atau kecenderungan untuk meniru oleh karena itu sering terjadi. Yang ketiga, yang patut pula memperoleh perhatian kita adalah bahwa lahirnya "peniruanpeniruan" dari film impor itu, justru karena terlalu banyaknya film impor yang negatif, hingga pengaruhnya terhadap film nasional negatif pula. Aspek positif dengan "distopnya" film impor diharapkan akan menghilangkan kebiasaan meniru-niru. Bicara soal jaminan maka pertama-tama hendaknya didasari bahwa melenyapkan suatu "kebiasaan" jelas memerlukan waktu yang dibarengi penciptaan situasi dan kondisi yang harus membantu untuk dapat melenyapkan "kebiasaan" tersebut. Jelasnya, jaminan itu tidak harus semata-mata datang dari Pemerintah, tapi dari kita semua dan kita bersama. T: Sinyalemen bapak mengenai "sabotase" kalangan perbioskopan terhadap film nasional dianggap tidak fair oleh fihak perbioskopan. J: Tentang sabotase kalangan perbioskopan tertentu terhadap film nasional sebenarnya bukan barang baru karena Dewan Film Nasional sendiri dalam memorandumnya pernah mensinyalir hal tersebut dengan menyarankan jalan ke luar, agar "dibuat sebuah tempat pertunjukan khusus untuk film-film nasional untuk dapat melihat dan menilai kekurangan apa saja yang masih dimiliki oleh rata-rata film nasional, terutama sekali di bidang teknik". Lahirnya Memorandum Dewan Film ini dilatar belakangi kepahitan-kepahitan yang dialami oleh film nasional apabila telah masuk bioskop untuk pertunjukan umum. Dalam hubungan inilah maka saya sepenuhnya mendukung adanya konsensus di antara PPFI dan Pusat Perfilman H. Usmar Ismail agar setiap preview film nasional dilakukan di gedung bioskop Citra dengan alasan di samping secara idiil lokasinya memang cocok, maka yang terutama sekali dengan tetapnya tempat preview untuk setiap film nasional akan selalu dapat dilakukan penilaian obyektif secara terus menerus terhadap peningkatan (atau mungkin juga penurunan) mutu, teknik, artistik dalam film-film nasional. Dengan demikian, apabila memang di gedung Citra sesuatu film nasional sudah jelas jelek teknik suara atau gambarnya, maka tidak perlu lagi ada produser yang membuat issue adanya sabotase dari fihak bioskop. T: Film memang bukan cuma barang dagangan. Tapi kenyataan menunjukkan film nasional kita hingga sekarang ini sebagian besar melulu barang dagangan saja. Usaha apakah yang akan dilakukan oleh Pemerintah bagi lahirnya f lm-film yang "bukan cuma barang dagangan tapi juga benda budaya"? Adakah kemungkinan Pemerintah membentuk sebuah lembaga yang menangani pembuatan f lm yang demikian itu? J: Usaha menjadikan film nasional bukan cuma barang dagangan tapi juga benda budaya sebenarnya merupakan hakekat dari pembinaan perfilman nasional. Karena itu pada dasarnya segala macam usaha yang telah ataupun akan dilakukan di bidang pembinaan perfilman ditujukan ke arah lahirnya "film nasional yang bukan cuma barang dagangan tapi juga benda budaya". Usaha-usaha konkrit yang dalam waktu dekat akan dilaksanakan adalah dibentuknya semacam lembaga yang terdiri dari tokoh-tokoh film dan tokoh-tokoh masyarakat. Tugas badan tersebut antara lain memberikan saran, rekomendasi berdasarkan hasil-hasil penelitian mengenai bagaimana thema/corak/cerita film nasional yang dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi komersilnya (karena menyangkut pengembalian modal maupun segi idiilnya (yaitu bobot budayanya). Pada prinsipnya sesuai dengan kebijaksanaan umum Pemerintah yang ada, Departemen Penerangan sebagai pembina perfilman tidak berkeinginan untuk menangani secara langsung pembuatan katakanlah -- film-film teladan, selama masih ada produser yang patut dianggap mempunyai kemampuan atas prakarsanya sendiri membuat film seperti itu. Namun demikian, Departemen Penerangan pun tidak akan menutup pintu dan mata, apabila lembaga semacam itu memang diperlukan, maka sudah barang tentu dapat dibentuk. T: Setiap tahunnya, diperlukan 350 judul film untuk mengisi kebutuhan gedung bioskop di Indonesia demikian fihak perbioskopan menjelaskan. Setelah film impor dihentikan, maka tugas film nasional untuk mengisi kekosongan tersebut. Yang menjadi soal adalah bahwa seluruh karyawan f lm yang ada, menurut Ketua KFT Sumardjono, cuma mampu membuat flm 100 judul. Bagaimana mengisi kekurangan film yung begitu banyak? J: Mudah-mudahan bukan "fihak perbioskopan" yang sebenarnya memberikan penjelasan kepada saudara, karena apabila memang mereka, maka terus terang saja saya jadi kurang mengerti. Mengapa demikian? Pada awal tahun 1973 "fihak perbioskopan" melaporkan bahwa untuk gedung bioskop yang pada waktu itu berjumlah k.l. 750 buah diperlukan 600 judul film setahun. Tapi mengapa sekarang dengan jumlah bioskop 926 buah, yang berarti mengalami kenaikan k.l. 30%, kebutuhan film malah "menurun" sebanyak k.l. 40% hingga menjadi 350 judul. Jadi dulu ketika tahun 1973 itu perhitungan didasarkan apa, dan sekarang di tahun 1976 dasar perhitungannya apa? Terus terang saja jumlah film yang diperlukan secara tcpat sekarang ini sulit untuk ditetapkan, terutama karena disebabkan oleh belum tertibnya tata peredaran film selama ini. Oleh karena itulah saya merasakan urgensi untuk dibentuknya KDFI (Kerja sama Distribusi Film Indonesia) karena dengan demikian secara tak terlalu lambat dapat disusun tata peredaran film yang lebih baik dan tertib, hingga akhirnya kita dapat sampai pada suatu margin jumlah film yang setiap tahunnya diperlukan untuk mensuplai seluruh bioskop yang ada di tanah air ini. Menyinggung ucapan saudara Sumardjono yang mengatakan bahwa seluruh karyawan film yang ada cuma mampu membuat film 100 judul setahun, saya anggap sebagai pernyataan yang terlalu pesimistis. Mengapa tidak? Berdasarkan data tentang jumlah karyawan yang ada maka baik Pimpinan Produksi, Penulis Skenario, sutradara, cameraman, Editor, Soundman, Music Director, Art Director, Pimpinan Unit, adalah relatif cukup. Belum lagi diperhitungkan akan bertambahnya tenaga karena pengembangan perfilman nasional pada umumnya. Dengan demikian kekhawatiran berdasar jumlah karyawan, saya kira tak perlu ada. T: Juga prasarana untuk industri film kita masih amat kurang. Kamera, lensa-lensa, studio dengan perlengkapannya serta laboratorium, sama sekali amat kurang. Bagaimanakah usaha Pemerintah di bidang ini? J: Untuk dikatakan "kurang" apalagi "amat kurang" terus terang saya tidak sependapat, karena kenyataannya tak demikian. Sebagai contoh dapat saya kemukakan, ketika jumlah produksi di tahun 1975 turun menjadi 41 judul setelah di tahun 1974 mencapai 77 judul, banyak laporan yang menyatakan sarana-sarana teknis milik mereka nganggur. Apabila memang laporan itu benar, berarti dengan sarana teknis yang telah ada tak perlu pesimistis. Pengembangan sarana-sarana untuk menunjang produksi perfilman di tahun-tahun mendatang diusahakan terus seperti pengadaan laboratorium berwarna, dsb. T: Film-film asing yang bakal masuk nantinya merupakan hasil seleksi. Bagaimanakah proses seleksi itu siapa yang melakukannya siapa pula yang memasukkannya ke Indonesia? J: Saya anggap pertanyaan saudara masih terlalu prematur untuk dijawab sekarang ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus