Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERSEBAB Presiden Sukarno pernah ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Sukamiskin, Bandung, penghuni penjara yang dikhususkan bagi narapidana korupsi sejak 2012 ini memberi nama saung-saung yang mereka bangun "Taman Bung Karno". Dibangun pada 2013, taman itu biasa digunakan untuk berpesta, selain menerima tamu.
Bulan lalu, Tempo melihat langsung kemewahan saung ini, dilengkapi sofa empuk dan kafe. Foto Sukarno terpajang di tengah saung utama. Majalah Tempo, dalam artikel "Benarkah Bung Karno?" edisi 21 Februari 1981, mengupas surat-surat Sukarno yang ditulis ketika ditahan di Sukamiskin.
Artikel itu berawal dari pertanyaan: Betulkah Bung Karno pada 1933 meminta ampun kepada Belanda? Benarkah ia pernah menulis empat surat kepada Pokrol Jenderal Hindia Belanda, memohon agar ia dibebaskan dari tahanan penjara dan sebagai imbalannya akan bekerja sama dengan pemerintah penjajah?
Ramainya pertanyaan dimulai dengan tulisan kolumnis tersohor Rosihan Anwar di harian Kompas, 15 September 1980. Di situ bekas Pemimpin Redaksi Pedoman yang meninggal pada 14 April 2011 ini membahas soal perbedaan analisis politik antara Sukarno dan Hatta. Menurut Rosihan, Hatta jarang sekali mau berbicara di depan publik tentang perbedaan pandangannya dengan Sukarno. Bahkan konon Hatta pernah mengatakan kepada Meutia, putrinya, "Biarlah hal itu saya bawa mati."
Toh, perbedaan itu tetap bisa diketahui. Salah satu sumber informasi yang berharga, menurut Rosihan, adalah buku tulisan John Ingleson: Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934.
Menurut Rosihan, Ingleson memanfaatkan arsip di Negeri Belanda yang dulu rahasia tapi kini terbuka. Disebutnya pula beberapa orang Indonesia yang juga mempelajari dan meneliti arsip tersebut, antara lain Roeslan Abdulgani dan Mohammad Roem.
Mengutip hasil penelitian Ingleson, Rosihan menguraikan ihwal perbedaan pandangan Sukarno dan Hatta. Yang paling menarik adalah bagian terakhir tulisan Rosihan, yang menyebutkan perbedaan sikap politik kedua tokoh itu terhadap pemerintah jajahan Hindia Belanda: "Hatta bersikap teguh, konsisten, dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno, ahli pidato yang bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya pribadi."
Untuk mendukung kesimpulannya itu, Rosihan mengutip Ingleson, yang menyebutkan adanya empat surat yang ditulis Sukarno di penjara Sukamiskin pada 30 Agustus, 7, 21, dan 28 September 1933 kepada Pokrol Jenderal Hindia Belanda. Sukarno ditahan sejak 1 Agustus 1933. Dalam surat-surat itu Sukarno memohon agar ia dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya, Sukarno berjanji tidak lagi ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup selanjutnya. Ia mencantumkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Dewan Pimpinan Partindo, yang isinya permintaan berhenti dari partai.
Rosihan Anwar bukan yang pertama kali mengungkapkan tulisan Ingleson itu. Hampir setahun sebelumnya, Tempo juga mengutip adanya surat-surat tersebut (Tempo, 6 Oktober 1979). Namun reaksi yang timbul dari tulisan Rosihan ternyata cukup ramai.
Mahbub Djunaidi, kolumnis, ikut memberi tanggapan. "Saya terlongo-longo membaca artikel sohib baik saya, Al-Ustadz H Rosihan Anwar," tulis Mahbub, yang meninggal pada 1 Oktober 1995. Dia ragu terhadap keaslian surat permintaan ampun Bung Karno tersebut. "Apa bukan hasil ciptaan kaum intel yang sering punya bakat besar mengarang cerita fiktif?" tanya Mahbub.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo