Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

6 Februari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Drama Fatwa di Sidang Basuki

Pengacara terdakwa Basuki Tjahaja Purnama menuduh Ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin dan Susilo Bambang Yudhoyono "bersekongkol" untuk menerbitkan fatwa. Tuduhan itu muncul karena adanya komunikasi antara Yudhoyono dan Ma'ruf beberapa hari sebelum terbitnya fatwa MUI yang menyatakan Ahok menistakan Islam.

"Apa yang sebenarnya terjadi hingga MUI begitu kuat dan cepat mengeluarkan pendapat dan sikap keagamaan," kata kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat, dalam sidang pada Selasa pekan lalu. Humphrey mempertanyakan mengapa Ma'ruf tak menerima calon gubernur selain Agus Harimurti Yudhoyono.

Humphrey mengaku tahu ada percakapan Ma'ruf dengan Yudhoyono pada 6 Oktober 2016. Ia menambahkan, selain meminta menerima Agus, Yudhoyono meminta Ma'ruf membuat fatwa penistaan agama itu.

Yudhoyono membenarkan adanya komunikasi dia dengan Ma'ruf. Isinya ucapan terima kasih karena sudah menerima Agus. Namun ia menyebutkan peristiwa dalam sidang Ahok itu sebagai indikasi percakapannya disadap. "Privasi saya yang dijamin undang-undang dibatalkan dengan penyadapan secara tidak legal," ujarnya.

31 Januari 2017 (Sidang Ahok)

Humphrey Djemat kepada Ma'ruf Amin
"Ada atau tidak telepon itu? Karena saksi sudah di bawah sumpah. Kalau ketahuan tidak benar, ada sanksi hukumnya. Saksi bilang tidak ada."

Basuki Tjahaja Purnama kepada Ma'ruf Amin
"Saya akan proses secara hukum saudara saksi. Untuk membuktikan, kami punya data yang sangat lengkap."

1 Februari 2017

Humphrey Djemat
"Statement Pak Ahok yang mengatakan ‘kami akan proses secara hukum saksi untuk membuktikan bahwa kami memiliki data yang sangat lengkap’ itu ditujukan kepada saksi-saksi pelapor pada persidangan yang lalu, bukan kepada Bapak KH Ma’ruf Amin."

Basuki Tjahaja Purnama
"Saya meminta maaf kepada KH Ma'ruf Amin apabila terkesan memojokkan beliau."

Ma'ruf Amin
"Ya, harus dimaafkan, kalau memang minta maaf."


Pengembang Dituding Sogok Nelayan

PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha PT Agung Podomoro Land, dituduh menyogok nelayan dan warga Muara Angke, Jakarta Utara. Pengurus Forum Kerukunan Nelayan Muara Angke, Diding Setiawan, menyebutkan ada 13 orang yang mengatasnamakan nelayan mendapat uang dari Podomoro. "Masing-masing dapat Rp 100 juta," kata Diding, Selasa pekan lalu.

Pengembang reklamasi Pulau G itu juga dituding menyogok ketua rukun tetangga dan rukun warga di Kelurahan Muara Angke sebesar Rp 160 juta. Tempo mendapat kuitansi pemberian Rp 160 juta kepada ketua RT di RW 11. Pada kuitansi itu tertulis duit buat biaya sosialisasi dan mendapatkan dukungan masyarakat untuk reklamasi.

Uang dibagikan di Hotel Sanno, Jakarta Utara, pada Oktober 2016. Ketua RT 03 RW 20 Muara Angke, Rahmat Hidayat, membenarkan adanya bagi-bagi uang itu. "Ada yang mendapat Rp 20 juta, Rp 5 juta, hingga Rp 100 juta. Semua dibayar tunai," ujar Rahmat.

Project Director PT Muara Wisesa Samudra Andreas Leodra membantah bagi-bagi uang. Dia juga menyangkal bukti dokumen sogokan. "Dokumen itu dibuat untuk mendiskreditkan," ucapnya.


Petinggi Pertamina Mangkir

WAKIL Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ahmad Bambang mangkir dari panggilan Kejaksaan Agung yang akan memeriksanya dalam kasus dugaan korupsi penyediaan dan operasi kapal PT Pertamina Transkontinental. Ahmad semestinya dimintai keterangan pada Senin pekan lalu. "Pemanggilan ada, tapi dia tidak datang," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Muhammad Rum, pada Selasa pekan lalu.

Ahmad akan dimintai keterangan mengenai pengadaan kapal Transko Celebes dan Transko Andalas senilai US$ 28,4 juta pada 2012-2014. Pengadaan kapal berlangsung ketika Ahmad menjabat Direktur Utama Pertamina Transkontinental. Rum mengatakan belum mengetahui alasan mangkirnya Ahmad.

Juru bicara Pertamina, Wianda Pusponegoro, menyatakan menghormati proses hukum dalam kasus penyediaan kapal ini, termasuk rencana permintaan keterangan terhadap Ahmad. "Kami berharap semua pihak berpegang teguh pada asas praduga tak bersalah," ujar Wianda.


Jaksa Kembali Membidik Dahlan

KEJAKSAAN Agung kembali menyematkan status tersangka kepada bekas Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Kali ini kejaksaan menjeratnya dengan kasus lama: dugaan korupsi pengadaan bus dengan dana dari sejumlah perusahaan pelat merah. "Sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak 26 Januari lalu," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Muhammad Rum, Kamis pekan lalu.

Kejaksaan menilai Dahlan bertanggung jawab atas pengadaan 16 mikrobus dan bus eksekutif listrik. Kendaraan itu tadinya akan dipakai sebagai angkutan resmi delegasi peserta Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada Oktober 2013. Pengadaan kendaraan senilai Rp 32 miliar itu didanai PT BRI (Persero), PT Perusahaan Gas Negara, dan PT Pertamina (Persero).

Dahlan menunjuk Dasep Ahmadi, pemilik PT Sarimas Ahmadi Pratama, sebagai pembuat bus. Ternyata mobil listrik rancangan Dasep tak bisa dipakai. Dahlan enggan berkomentar tentang status barunya itu. "Nanti sehabis sidang," ujar Dahlan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Surabaya, Jumat pekan lalu. Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, Dahlan menyatakan proyek mobil listrik itu tak melanggar aturan dan tak merugikan keuangan negara.


Irman Dituntut Tujuh Tahun Penjara

Jaksa menuntut bekas Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman dihukum tujuh tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Jaksa juga meminta hakim mencabut hak politik Irman. "Menuntut agar majelis hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi," kata jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi, Arif Suhermanto, Rabu pekan lalu.

Jaksa mendakwa Irman menerima suap untuk mempengaruhi Bulog dalam mengatur pemberian jatah gula impor. Menurut jaksa, Irman menggunakan pengaruhnya untuk mengatur pemberian kuota gula impor dari Bulog kepada CV Semesta Berjaya. Irman diduga menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandy Sutanto, direktur perusahaan tersebut.

Kuasa hukum Irman, Maqdir Ismail, menyebut jaksa tidak memiliki bukti percakapan antara Irman dan Memi yang menyepakati pemberian fee Rp 100 juta. Ia juga mempertanyakan sikap jaksa yang meminta pencabutan hak politik. "Hak politik itu hak asasi manusia yang ada sejak lahir dan diakui konstitusi," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus