Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Referensi mengelola pendukung klub sebetulnya ada sejak 1990. Waktu itu tawuran pendukung dua klub yang sedang bertanding juga acap terjadi. Adalah Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara dalam Kabinet Indonesia Bersatu, yang memelopori pengelolaan pendukung sehingga menonton sepak bola menjadi menghibur.
Seperti ditulis dalam artikel Tempo edisi 17 Maret 1990 berjudul ”Antara Promosi dan Cari Untung” yang menceritakan bagaimana mengelola suporter dalam pertandingan sepak bola. Ceritanya, dalam final Kompetisi Djarum Super Divisi Utama Perserikatan pada awal Maret 1990, Stadion Gelora Bung Karno yang berkapasitas 120 ribu penonton ini dipadati penggila sepak bola dari Jawa Timur ataupun Jawa Barat.
Lempar petasan dan benda-benda keras antarpendukung Persebaya dan Persib serentak dimulai ketika wasit meniup peluit yang mengawali pertandingan di lapangan hijau. Sudah tak keruan lagi, siapa yang memulai, siapa yang menyerang, dan siapa yang diserang. Serabutan.
Mula-mula saling ejek lewat spanduk, lalu lewat mulut. Ketika ada kesebelasan yang sudah kalah, perang dilanjutkan dengan lempar-melemparkan benda apa saja. Sekitar 2.000 petugas keamanan yang diterjunkan pada malam itu tak mampu mencegah jatuhnya korban. Ada 23 orang dilarikan ke rumah sakit, ada seorang yang meninggal.
Pengorganisasian penggemar bola di masa itu adalah hal baru. Seirama dengan kemajuan teknologi, teknik menggiring massa ke Senayan makin canggih. Pendukung Persebaya dipimpin Dahlan Iskan, Manajer Persebaya yang juga pemimpin redaksi harian pagi Jawa Pos.
Dahlan mendapat ide itu setelah ia menyaksikan pertandingan bola di Inggris, Desember 1987. Ia terkesan oleh suporter kesebelasan Chelsea yang dilengkapi selendang dan topi. ”Mereka begitu kompak dan terkoordinasi. Jadi tidak ada salahnya jika hal itu saya terapkan kepada pendukung kesebelasan Persebaya,” katanya.
Ia juga memikirkan julukan apa yang cocok bagi kesebelasan kotanya. Kalau di Inggris julukannya bagus-bagus. Ada Super Blue bagi Chelsea dan Setan Merah (Red Devil) bagi klub Manchester United. Persebaya pun harus punya julukan keren. ”Dari situlah muncul julukan Green Force bagi Persebaya, yang menjuarai Divisi Utama tahun 1988,” ucap Dahlan.
Koordinasi yang bagus itu membawa gelombang baru di Senayan. Selain ada selendang dan topi, ada spanduk raksasa sepanjang 50 meter. Juga genderang dan trompet, bahkan mercon dan kembang api segala. Jarak Surabaya-Jakarta yang memakan waktu sekitar 13 jam bukan penghalang. Jawa Pos menjadi penyandang dana alias memberi subsidi, terutama untuk transpor. Langkah ini dianggap sebagai promosi yang bagus bagi koran terbesar di Jawa Timur itu. Ada 135 bus yang diberangkatkan ke Jakarta.
Pendukung Persib--kesebelasan yang berlaga di Enam Besar Perserikatan sejak 1983--juga tidak mau ketinggalan. Apalagi jarak Bandung-Jakarta hanya makan waktu sekitar tiga jam. Menurut data dari Organisasi Angkutan Daerah (Organda) Jawa Barat, diperkirakan sekitar 300 bus habis dipesan untuk mengangkut pendukung Persib ke Jakarta.
Di Bandung, ada sekitar 90 tempat pemberangkatan suporter menuju Jakarta. Tiap panitia ada yang mengkoordinasi satu bus sampai 29 bus, ditambah beberapa mobil angkutan umum bukan bus. Berbeda dengan Jawa Pos, kebanyakan koordinator di Bandung tidak memberikan subsidi kepada pendukung Persib. Bahkan koordinator ini bisa mendapat untung.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 17 Maret 1990. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201212110029/persib-juara-persib-perserikatan#.W6z1kdczaUk
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo