Sebagai anak desa yang kebetulan mendapat kesempatan bergaul dan membaca berita tentang kehidupan orang kota, saya telah menjadi saksi kehidupan secara nyata. Sungguh sangat ironis kehidupan ini. Sanak saudara kami di desa untuk mencari uang Rp 1.000 saja bekerja keras sehari suntuk, sedangkan kehidupan para "bintang" di kota itu kelihatan sangat mudah dan serbaada. Saya sungguh iri ketika mengetahui Pemerintah dengan mudah memberikan kompensasi kepada Ibu Dewi (Soekarno) atas Wisma Yaso lebih dari Rp 5 miliar. Sementara itu, untuk ganti rugi yang lain harus lewat diprotes dulu. Saya iri ketika tahu bahwa ada orang yang punya uang miliaran rupiah hanya untuk koleksi Chopard, dan ketika para pengusaha menyelenggarakan munasnya masih mendapat sumbangan (dahulu dari SDSB), dan saya iri dengan hal-hal serupa lainnya. Saya iri sekali karena, betapa sulitnya saya dan kawan-kawan mencari bantuan bea sekolah, tak lebih dari Rp 5.000 per bulan untuk beberapa siswa yang tak mampu di sekolah kami. Juga, betapa sulitnya ketika kami ingin mencarikan bantuan untuk pengadaan prasarana dan gaji guru TK di desa kami. Bahkan, yang pernah saya terima, justru rasa curiga. "Sekolah sekarang sudah untuk bisnis," kata seorang pengurus badan usaha ketika saya mengajukan proposal. Konon banyak sekolah atau yayasan sosial atau LSM yang menyelewengkan bantuan untuk kepentingan pengurus. Tapi, bagi saya, yang sejak mahasiswa rela memotong honor tulisan untuk membiayai kegiatan tersebut, kecurigaan itu menusuk hati. Sangatmudah mengontrol saya, yang kebetulan hidup dari menulis. Jika saya terbukti menyelewengkan bantuan itu untuk pribadi, tulis saja surat ke berbagai media massa agar tulisan saya tak dimuat. Beres, kan?DARMANINGTYASDarmo Park II Blok VI/14Surabaya 60225
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini