MUSEUM Sarawak tergolong paling tua tapi paling terpelihara di
Asia Tenggara. Makanya jarang diabaikan oleh wisatawan yang
berkunjung ke Kucing, 1/2 jam terbang dari Pontianak. Didirikan
tahUn 1891 oleh "raja putih" Sarawak yang kedua. Sir Charles
Brooke. Orang Inggeris yang mewarisi takhta kerajaan Sarawak
yang dihadiahkan oleh Sultan Brunai pada ayahnya ini menyadari
pentingnya dukungan penduduk asli (suku Dayak) guna
mempertahankan kekuasaannya. Maklumlah, orang Melayu yang sudah
lebih duhl menetap di situ, tentunya tidak menyenangi kehadiran
orang putih yang mematahkan hegemoni mereka di bidang
perdagangan, agama dan politik sejak masa kejayaan Brunai.
Didorong oleh kepentingan politis itu, dinasti Brooke lalu
mewariskan satu koleksi benda budaya yang sangat berharga bagi
dunia antropologi. Sehingga tidak kelirulah julukan museum itu
sebagai"laboratorium antropologi Dayak" paling lengkap di dunia.
Di kemudian hari siasat raja-raja putih itu pun menguntungkan
kepentingan Inggeris. Berkat pengalaman bergaul dengan suku-suku
Dayak dan jabatannya sebagai kurator Museum Sarawak, Tom
Harrison berhasil mengorganisir perlawanan orang-orang Dayak
Sarawak menghadapi 'sukarelawan-sukarelawan' Indonesia pada masa
konfrontasi. Antropolog Inggeris terkenal itu, baru saja
meninggal dunia bersama isterinya ketika mobilnya
terjungkir-balik di Sarawak, bulan Januari lalu.
Memasuki halaman museum -- itu, mata pengunjung segera tertumbuk
pada sebuah tiang berukir di sisi gedung itu. Mirip totem orang
Indian Amerika, batang pohon yang diukir bulat-bulat dan sudah
berumur 100 tahun itu di sana disebut jerunei atau kelideng.
Jerunei itu lambang kebesaran kepala suku Dayak-Melanau, tempat
menyimpan guci berisi tulang-tulang jenazahnya. Dulu, kepala
suku Daya yang berpengaruh sering mendirikan tiang jeruneinya
jauh-jauh hari sebelum meninggal. Setelah "dikuburkan" dalam
guci besar di bagian pangkal tiang yang berlubang itu, seorang
hamba sahaya kesayangannya diikat pada tiang totem itu. Budak
yang malang itu dibiarkan mati kelaparan terikat pada tiang,
supaya arwahnya dapat melanjutkan tugas melayani arwah tuannya
di alam baka. Sekarang, tiang-tiang semacam itu masih dapat
disaksikan di sepanjang sungai Telian dan Oya di Divisi ke-III.
Tapi kebiasaan membunuh budak kepala suku kini sudah sirna.
Seperti lazimnya di Eropa, di museum Sarawak pun pengunjung
dilarang memotret. Tapi dengan buku petunjuk Borneo Literature
Bureau, orang boleh memilih untuk langsung naik tangga ke lantai
dua atau berkeliling dulu di lantai pertama yang memperagakan
koleksi flora dan fauna Sarawak yang sudah diawetkan. Mulai dari
ikan, reptil dan amfibi pra-sejarah sampai koleksi monyet,
burung dan kupu-kupu yang masih menghuni hutan-hutan Sarawak
sekarang ini. Juga sejumlah peninggalan dinasti Brooke dan para
pelaut Inggeris lainnya. Di situ juga dapat ditemukan miniatur
gua-gua sarang burung Niah. Sempat ditemukan tulang-tulang dan
sisa-sisa peradaban nenek-moyang penduduk Sarawak yang sudah 400
ribu tahun umurnya.
Selain sisa-sisa peradaban Zaman Batu di kedalaman 15 kaki, di
lapisan yang lebih dangkal ditemukan pula barang pecah-belah dan
peti mati dari kayu ("kapal orang mati") yang berumur 2500
tahun. Dalam peti semacam itu jenazah orang dipersiapkan untuk
"pelayarannya yng terakhir". Penemuan itu merupakan bukti
adanya jalur migrasi yang cukup tua antara daratan Asia dan
pulau Kalimantan. Naik tangga ke tingkat dua, kita disambut oleh
lukisan dinding yang menggambarkan "hubungan internasional" yang
mula-mula antara penduduk asli Kalimantan dengan para saudagar
Cina. Orang Cina datang membawa sutera, manik-manik dan keramik,
sedang orang Dayak membarternya dengan rotan, sarang burung
kegemaran lidah Cina, buu-bulu burung, cula badak, dan burung
enggang (hornbill).
Nah, di lantai dua itulah kita dapat memasuki rumah panggung
orang Dayak (lamin, longhouse). Terang bukan rumah panjang nan
utuh yang dipasang di situ, tapi bagian-bagian yang terpenting
saja. Yakni ruang tengah, tempat seluruh keluarga berkumpul di
malam hari di sekeliling api unggun mini (dengan api kayu bakar
betul-betul, di atas papan-papan lantai kayu), beranda tempat
menyabung ayam di sore hari, dan kamar tidur untuk pasangan
suami-isteri. Di atas api unggun, pada langit-langit ruang
tengah, bergantungan tengkorak-tengkorak manusia yang terbungkus
dalam jalinan rotan. Hitam saking tuanya dan rada menciut.
Itulah "bukti kejantanan" dan "mas kawin" yang dulu selalu
dituntut dari perjaka-perjaka Dayak oleh calon isterinya. Kini,
tradisi mengayau sudah dihapus (dengan akibat sampingan ledakan
penduduk di hutan yang merusak keseimbangan hutan & tanah).
Apa Belum Siap?
Sebenarnya, istilah "Dayak" itu nanyalah "nama persatuan" untuk
penduduk asli Kalimantan anak-rumpun Melayu-Tua yang terdiri
dari berbagai sukubangsa. Secara garis besar dibagi dalam 2
golongan. Yakni Dayak Darat yang lebih dulu hijrah dari daratan
Asia, dan Dayak Laut (Iban dan Melanau). Disebut Dayak Laut
karena mereka datang dari laut mengusir Dayak Darat ke
pedalaman, dan kemudian lebih banyak tinggal di pesisir. Dayak
Darat terdiri dari berbagai suku lagi, seperti suku Kayan, suku
Kenyah, Bidayuh dan sebagainya. Suku-suku Dayak Darat ini
kebanyakan bersaudara dengan suku suku Dayak di Kalimantan
Indonesia. Di kalangan suku-suku pedalaman itu yang paling
berpengaruh adalah suku Kenyah dan Kayan. Suku Kenyah mengenal 3
kasta atau kelas. Kelas ningrat disebut Paten, sedang kelas
budak disebut Panyen. Di antaranya ada kelas menengah, yakni
hasil perkawinan kelas ningrat & kelas budak -- yang tidak
begitu sering terjadi. Lambang golongan ningrat adalah burung
enggang, karena itu tidak setiap orang Dayak boleh memakai
perhiasan bergambar enggang, atau pun sekedar bulunya saja.
Kebesaran suku Kayan, masih dapat dilihat dari sebuah tiang
totem ganda di Reservoir Park Kucing. Tiang itu dibangun oleh
Raja Kayan Avun Dian 150 tahun yang lalu di tepi Long Segaham
untuk memperingati puterinya yang tercinta, Livan Avun. Lima
tahun lamanya seniman-seniman dari Mahakam dan daerah lainnya
bekerja mengukir klitieng itu. Setelah rampung, rakyat diundang
menghadiri upacara nulang (melepaskan tulang-tulang jenazah)
puteri Livan Avun. Upacara nulang yang mengakhiri masa berkabung
dan "pantang" itu, dilanjutkan dengan pemindahan tulang-tulang
mayat itu ke dalam klirieng. Sebelum tiang kubur itu
dipancang- kan, seorang gadis budak berpakaian kebesaran
dilempar ke dalamlubang. Menurut sahibul hikayat, pacar gadis
itu juga meloncat ke dalam lubang itu. Kedua-duanya mati remuk
ketika tiang yang tingginya 42 kaki itu ditegakkan di atas jasad
sepasang merpati itu.
Selain rumah tempat tinggal orang-orang Dayak itu, berbagai
macam senjata, alat berburu bertani, alat rumah tangga, topi,
tenunan, perhiasan, ukir-ukiran dan benda seni Dayak lainnya
juga diperagakan di museum. Sungguh suatu pameran ketrampilan
memanfaatkan hasil-hasil seperti rotan, daun nipah, palem,
alang-alang, bambu dan kayu yang menunjukkan tingkat kebudayaan
yang cukup berkembang sebelum kedatangan orang Hindu, Melayu,
Cina dan Barat. Di bidang tenun dan patung, suku Dayak-Iban
tampaknya yang paling maju. Wanita-wanitanya sudah dapat menanam
kapas sendiri di kebun dekat rumah-panjangnya. Perdagangan
dengan Tiongkok telah melahirkan seni manik-manik yang paling
berkembang di kalangan Dayak Kelabit. Pada umumnya, motif-motif
yang paling disenangi dipetik dari fauna & flora di sekitarnya.
Motif-motif geometris yang lebih sederhana seperti lingkaran,
garis dan sudut lebih populer dalam seni tatu. Seni menyakiti
diri sendiri itu, dulu merupakan lambang status juga, dan
kadang-kadang bisa makan waktu sampai 5 tahun sebelum seluruh
tangan & lengan, paha dan kaki selesai ditatu. Dan bukan
monopoli pria saja, sebab wanita-wanita berderajat tinggi pun
menjalankannya.
Itulah selintas-pintas informasi yang bisa diperas oleh wartawan
TEMPO G.Y. Adicondro dari pameran barang & buku di Museum
Sarawak. Sayangnya museum itu masih terlalu Inggeris-sentris.
Pengaruh kebudayaan pendatang-pendatang Melayu tidak digambarkan
sama sekali. Ataukah itu berarti, bahwa kekuasaan para sultan
Melayu terlalu terbatas di pesisir saja, tanpa mengganggu-gugat
orang Dayak di pedalaman? Lantas siapa yang meneruskan
kontak-kontak perdagangan orang Dayak dengan dunia luar, ketika
kesultanan Brunai menguasai hampir seluruh pesisir Kalimantan
Utara? Kekurangan ini, setapak-demi-setapak tampaknya mau
ditebus oleh Persatuan Sejarah Malaysia yang baru sejak awal
1973 membentuk cabang di Sarawak. Anehnya, mengapa para turis
asing tidak pernah diundang ke Kalimantan Indonesia, dari mana
kabarnya banyak isi museum Sarawak itu berasal'? Apa belum siap?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini