Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Jalan-jalan ke museum sarawak

Museum tertua dan paling terawat di dunia. di sini orang bisa melihat koleksi fauna dan flora sarawak yang hidup sejak pra-sejarah sampai yang masih berkeliaran di hutan kini. (ils)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSEUM Sarawak tergolong paling tua tapi paling terpelihara di Asia Tenggara. Makanya jarang diabaikan oleh wisatawan yang berkunjung ke Kucing, 1/2 jam terbang dari Pontianak. Didirikan tahUn 1891 oleh "raja putih" Sarawak yang kedua. Sir Charles Brooke. Orang Inggeris yang mewarisi takhta kerajaan Sarawak yang dihadiahkan oleh Sultan Brunai pada ayahnya ini menyadari pentingnya dukungan penduduk asli (suku Dayak) guna mempertahankan kekuasaannya. Maklumlah, orang Melayu yang sudah lebih duhl menetap di situ, tentunya tidak menyenangi kehadiran orang putih yang mematahkan hegemoni mereka di bidang perdagangan, agama dan politik sejak masa kejayaan Brunai. Didorong oleh kepentingan politis itu, dinasti Brooke lalu mewariskan satu koleksi benda budaya yang sangat berharga bagi dunia antropologi. Sehingga tidak kelirulah julukan museum itu sebagai"laboratorium antropologi Dayak" paling lengkap di dunia. Di kemudian hari siasat raja-raja putih itu pun menguntungkan kepentingan Inggeris. Berkat pengalaman bergaul dengan suku-suku Dayak dan jabatannya sebagai kurator Museum Sarawak, Tom Harrison berhasil mengorganisir perlawanan orang-orang Dayak Sarawak menghadapi 'sukarelawan-sukarelawan' Indonesia pada masa konfrontasi. Antropolog Inggeris terkenal itu, baru saja meninggal dunia bersama isterinya ketika mobilnya terjungkir-balik di Sarawak, bulan Januari lalu. Memasuki halaman museum -- itu, mata pengunjung segera tertumbuk pada sebuah tiang berukir di sisi gedung itu. Mirip totem orang Indian Amerika, batang pohon yang diukir bulat-bulat dan sudah berumur 100 tahun itu di sana disebut jerunei atau kelideng. Jerunei itu lambang kebesaran kepala suku Dayak-Melanau, tempat menyimpan guci berisi tulang-tulang jenazahnya. Dulu, kepala suku Daya yang berpengaruh sering mendirikan tiang jeruneinya jauh-jauh hari sebelum meninggal. Setelah "dikuburkan" dalam guci besar di bagian pangkal tiang yang berlubang itu, seorang hamba sahaya kesayangannya diikat pada tiang totem itu. Budak yang malang itu dibiarkan mati kelaparan terikat pada tiang, supaya arwahnya dapat melanjutkan tugas melayani arwah tuannya di alam baka. Sekarang, tiang-tiang semacam itu masih dapat disaksikan di sepanjang sungai Telian dan Oya di Divisi ke-III. Tapi kebiasaan membunuh budak kepala suku kini sudah sirna. Seperti lazimnya di Eropa, di museum Sarawak pun pengunjung dilarang memotret. Tapi dengan buku petunjuk Borneo Literature Bureau, orang boleh memilih untuk langsung naik tangga ke lantai dua atau berkeliling dulu di lantai pertama yang memperagakan koleksi flora dan fauna Sarawak yang sudah diawetkan. Mulai dari ikan, reptil dan amfibi pra-sejarah sampai koleksi monyet, burung dan kupu-kupu yang masih menghuni hutan-hutan Sarawak sekarang ini. Juga sejumlah peninggalan dinasti Brooke dan para pelaut Inggeris lainnya. Di situ juga dapat ditemukan miniatur gua-gua sarang burung Niah. Sempat ditemukan tulang-tulang dan sisa-sisa peradaban nenek-moyang penduduk Sarawak yang sudah 400 ribu tahun umurnya. Selain sisa-sisa peradaban Zaman Batu di kedalaman 15 kaki, di lapisan yang lebih dangkal ditemukan pula barang pecah-belah dan peti mati dari kayu ("kapal orang mati") yang berumur 2500 tahun. Dalam peti semacam itu jenazah orang dipersiapkan untuk "pelayarannya yng terakhir". Penemuan itu merupakan bukti adanya jalur migrasi yang cukup tua antara daratan Asia dan pulau Kalimantan. Naik tangga ke tingkat dua, kita disambut oleh lukisan dinding yang menggambarkan "hubungan internasional" yang mula-mula antara penduduk asli Kalimantan dengan para saudagar Cina. Orang Cina datang membawa sutera, manik-manik dan keramik, sedang orang Dayak membarternya dengan rotan, sarang burung kegemaran lidah Cina, buu-bulu burung, cula badak, dan burung enggang (hornbill). Nah, di lantai dua itulah kita dapat memasuki rumah panggung orang Dayak (lamin, longhouse). Terang bukan rumah panjang nan utuh yang dipasang di situ, tapi bagian-bagian yang terpenting saja. Yakni ruang tengah, tempat seluruh keluarga berkumpul di malam hari di sekeliling api unggun mini (dengan api kayu bakar betul-betul, di atas papan-papan lantai kayu), beranda tempat menyabung ayam di sore hari, dan kamar tidur untuk pasangan suami-isteri. Di atas api unggun, pada langit-langit ruang tengah, bergantungan tengkorak-tengkorak manusia yang terbungkus dalam jalinan rotan. Hitam saking tuanya dan rada menciut. Itulah "bukti kejantanan" dan "mas kawin" yang dulu selalu dituntut dari perjaka-perjaka Dayak oleh calon isterinya. Kini, tradisi mengayau sudah dihapus (dengan akibat sampingan ledakan penduduk di hutan yang merusak keseimbangan hutan & tanah). Apa Belum Siap? Sebenarnya, istilah "Dayak" itu nanyalah "nama persatuan" untuk penduduk asli Kalimantan anak-rumpun Melayu-Tua yang terdiri dari berbagai sukubangsa. Secara garis besar dibagi dalam 2 golongan. Yakni Dayak Darat yang lebih dulu hijrah dari daratan Asia, dan Dayak Laut (Iban dan Melanau). Disebut Dayak Laut karena mereka datang dari laut mengusir Dayak Darat ke pedalaman, dan kemudian lebih banyak tinggal di pesisir. Dayak Darat terdiri dari berbagai suku lagi, seperti suku Kayan, suku Kenyah, Bidayuh dan sebagainya. Suku-suku Dayak Darat ini kebanyakan bersaudara dengan suku suku Dayak di Kalimantan Indonesia. Di kalangan suku-suku pedalaman itu yang paling berpengaruh adalah suku Kenyah dan Kayan. Suku Kenyah mengenal 3 kasta atau kelas. Kelas ningrat disebut Paten, sedang kelas budak disebut Panyen. Di antaranya ada kelas menengah, yakni hasil perkawinan kelas ningrat & kelas budak -- yang tidak begitu sering terjadi. Lambang golongan ningrat adalah burung enggang, karena itu tidak setiap orang Dayak boleh memakai perhiasan bergambar enggang, atau pun sekedar bulunya saja. Kebesaran suku Kayan, masih dapat dilihat dari sebuah tiang totem ganda di Reservoir Park Kucing. Tiang itu dibangun oleh Raja Kayan Avun Dian 150 tahun yang lalu di tepi Long Segaham untuk memperingati puterinya yang tercinta, Livan Avun. Lima tahun lamanya seniman-seniman dari Mahakam dan daerah lainnya bekerja mengukir klitieng itu. Setelah rampung, rakyat diundang menghadiri upacara nulang (melepaskan tulang-tulang jenazah) puteri Livan Avun. Upacara nulang yang mengakhiri masa berkabung dan "pantang" itu, dilanjutkan dengan pemindahan tulang-tulang mayat itu ke dalam klirieng. Sebelum tiang kubur itu dipancang- kan, seorang gadis budak berpakaian kebesaran dilempar ke dalamlubang. Menurut sahibul hikayat, pacar gadis itu juga meloncat ke dalam lubang itu. Kedua-duanya mati remuk ketika tiang yang tingginya 42 kaki itu ditegakkan di atas jasad sepasang merpati itu. Selain rumah tempat tinggal orang-orang Dayak itu, berbagai macam senjata, alat berburu bertani, alat rumah tangga, topi, tenunan, perhiasan, ukir-ukiran dan benda seni Dayak lainnya juga diperagakan di museum. Sungguh suatu pameran ketrampilan memanfaatkan hasil-hasil seperti rotan, daun nipah, palem, alang-alang, bambu dan kayu yang menunjukkan tingkat kebudayaan yang cukup berkembang sebelum kedatangan orang Hindu, Melayu, Cina dan Barat. Di bidang tenun dan patung, suku Dayak-Iban tampaknya yang paling maju. Wanita-wanitanya sudah dapat menanam kapas sendiri di kebun dekat rumah-panjangnya. Perdagangan dengan Tiongkok telah melahirkan seni manik-manik yang paling berkembang di kalangan Dayak Kelabit. Pada umumnya, motif-motif yang paling disenangi dipetik dari fauna & flora di sekitarnya. Motif-motif geometris yang lebih sederhana seperti lingkaran, garis dan sudut lebih populer dalam seni tatu. Seni menyakiti diri sendiri itu, dulu merupakan lambang status juga, dan kadang-kadang bisa makan waktu sampai 5 tahun sebelum seluruh tangan & lengan, paha dan kaki selesai ditatu. Dan bukan monopoli pria saja, sebab wanita-wanita berderajat tinggi pun menjalankannya. Itulah selintas-pintas informasi yang bisa diperas oleh wartawan TEMPO G.Y. Adicondro dari pameran barang & buku di Museum Sarawak. Sayangnya museum itu masih terlalu Inggeris-sentris. Pengaruh kebudayaan pendatang-pendatang Melayu tidak digambarkan sama sekali. Ataukah itu berarti, bahwa kekuasaan para sultan Melayu terlalu terbatas di pesisir saja, tanpa mengganggu-gugat orang Dayak di pedalaman? Lantas siapa yang meneruskan kontak-kontak perdagangan orang Dayak dengan dunia luar, ketika kesultanan Brunai menguasai hampir seluruh pesisir Kalimantan Utara? Kekurangan ini, setapak-demi-setapak tampaknya mau ditebus oleh Persatuan Sejarah Malaysia yang baru sejak awal 1973 membentuk cabang di Sarawak. Anehnya, mengapa para turis asing tidak pernah diundang ke Kalimantan Indonesia, dari mana kabarnya banyak isi museum Sarawak itu berasal'? Apa belum siap?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus