HERANKAH penduduk di kawasan paling timur di ujung Jawa yang
bernama Blambangan? Mungkin mereka sering merenungkan diri
sendiri. Sebab meski pun mereka tinggal di kawasan pulau Jawa,
rasanya kok Jawa tidak, Bali bukan, apalagi Madura. Bahasa
mereka pun amat berbeda. Bahkan sampai-sampai namanya terdengar
aneh. Tapi bukan hanya soal bahasa. Nyaris dalam segala segi
kehidupan penduduk kawasan Blambangan berbeda dengan daerah
sekelilingnya. Misalnya bab meluku sawah, lamar-melamar atau
melarikan calon isteri. Apalagi yang berkaitan dengan seni
menyeninya. Untunglah Bupati Banyuwangi Joko Supaat Slamet,
semua itu dijaga dengan hati-hati. Bahkan di samping tak
segan-segan mengeluarkan anggaran ia juga menganjurkan agar
setiap bangunan baru di daerahnya memakai bentuk rumah
Blambangan. Ia sendiri memugar pendopo kabupaten yang lama
dengan bentuk khas Blambangan.
Bulan kemarin ada HUT ke VIII Radio Khusus Pemerintah Daerah
Banyuwangi. Acara terpenting adalah pemilihan Jebeng dan Tole
Banyuwangi. "Yang penting bukan pemenang jebeng dan tolenya.
Tapi peragaan pakaian daerahnya. Hingga diketahui mana yang
khas", tukas Hasan Ali, ketua penyelenggara yang ayah kandungnya
penyanyi Emilia Contessa. Dan tentu saja Bupati Supaat Slamet.
Sanggul & Tusuk Konde
Jebeng artinya perawan desa. Sedang tole adalah jejaka desa.
Tapi perawan dan jejaka yang bagaimana? Menurut Hasan Ali, para
tole harus mengenakan Ikat kepala alias udeng tongkosan warna
sogan. Baju komprang gulu cacing. Celana juga komprang tapi tak
terlalu lebar dengan ukuran 3/4 kaki dan polos. Sarung atau kain
warna sogan tidak dipakai seperti biasanya, tapi cukup diikatkan
di pinggang. Sedang kalau dengan kain ujungnya sebelah kiri
dilepas. dan buat melambangkan seorang jantan para tole
Blambangan tak ketinggalan -- membawa parang berupa pengutik dan
gelang akar bahar.
Bagi si jebeng: sanggul yang dipakai harus khas Banyuwangen
alias Jawa Tengahan bukan, Madura tidak, juga tak ada bau-bau
Bali. Sebab sanggul di sini cukup sanggul biasa disertai sasak
dengan tusuk konde gini keti renteng. Kebaya warna polos dengan
lengan tak terlalu sempit, sedikit di atas pergelangan tangan
dan rias sederhana, tapi pemerah bibir mesti menyala. Adapun
kain panjangnya harus yang latar putih dengan motip gajah oling,
gringsing atau kawung yang dipakai di atas mata kaki. Perhiasan
terdiri dari anting-anting kreol, kalung agak tinggi, gelang
model kayu mati atau ular-ularan, peniti renteng atau semacam
brose antik alias klasik yang dikenakan sebagai peniti.
Tampaknya repot dan berat juga syarat-syaratnya. Tapi tak urung
ada 100 peserta yang mendatangi Hasan Ali. Dan ke 11 anggota
Dewan Juri pun jadi repot dan harus lebih hati-hati tentunya.
Sebab di antara yang 100 pakaian asli harus ditentukan yang
benar-benar asli. Agar jadi patokan untuk tahun-tahun berikutnya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini