Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Mencari perawan & jejaka blambangan

Blambangan, kawasan yang dianggap aneh. meski terletak di jawa, bahasa & pola hidup mereka berbeda dengan orang jawa. bupati banyuwangi menganjurkan setiap bangunan memakai bentuk rumah blambangan. (ils)

3 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HERANKAH penduduk di kawasan paling timur di ujung Jawa yang bernama Blambangan? Mungkin mereka sering merenungkan diri sendiri. Sebab meski pun mereka tinggal di kawasan pulau Jawa, rasanya kok Jawa tidak, Bali bukan, apalagi Madura. Bahasa mereka pun amat berbeda. Bahkan sampai-sampai namanya terdengar aneh. Tapi bukan hanya soal bahasa. Nyaris dalam segala segi kehidupan penduduk kawasan Blambangan berbeda dengan daerah sekelilingnya. Misalnya bab meluku sawah, lamar-melamar atau melarikan calon isteri. Apalagi yang berkaitan dengan seni menyeninya. Untunglah Bupati Banyuwangi Joko Supaat Slamet, semua itu dijaga dengan hati-hati. Bahkan di samping tak segan-segan mengeluarkan anggaran ia juga menganjurkan agar setiap bangunan baru di daerahnya memakai bentuk rumah Blambangan. Ia sendiri memugar pendopo kabupaten yang lama dengan bentuk khas Blambangan. Bulan kemarin ada HUT ke VIII Radio Khusus Pemerintah Daerah Banyuwangi. Acara terpenting adalah pemilihan Jebeng dan Tole Banyuwangi. "Yang penting bukan pemenang jebeng dan tolenya. Tapi peragaan pakaian daerahnya. Hingga diketahui mana yang khas", tukas Hasan Ali, ketua penyelenggara yang ayah kandungnya penyanyi Emilia Contessa. Dan tentu saja Bupati Supaat Slamet. Sanggul & Tusuk Konde Jebeng artinya perawan desa. Sedang tole adalah jejaka desa. Tapi perawan dan jejaka yang bagaimana? Menurut Hasan Ali, para tole harus mengenakan Ikat kepala alias udeng tongkosan warna sogan. Baju komprang gulu cacing. Celana juga komprang tapi tak terlalu lebar dengan ukuran 3/4 kaki dan polos. Sarung atau kain warna sogan tidak dipakai seperti biasanya, tapi cukup diikatkan di pinggang. Sedang kalau dengan kain ujungnya sebelah kiri dilepas. dan buat melambangkan seorang jantan para tole Blambangan tak ketinggalan -- membawa parang berupa pengutik dan gelang akar bahar. Bagi si jebeng: sanggul yang dipakai harus khas Banyuwangen alias Jawa Tengahan bukan, Madura tidak, juga tak ada bau-bau Bali. Sebab sanggul di sini cukup sanggul biasa disertai sasak dengan tusuk konde gini keti renteng. Kebaya warna polos dengan lengan tak terlalu sempit, sedikit di atas pergelangan tangan dan rias sederhana, tapi pemerah bibir mesti menyala. Adapun kain panjangnya harus yang latar putih dengan motip gajah oling, gringsing atau kawung yang dipakai di atas mata kaki. Perhiasan terdiri dari anting-anting kreol, kalung agak tinggi, gelang model kayu mati atau ular-ularan, peniti renteng atau semacam brose antik alias klasik yang dikenakan sebagai peniti. Tampaknya repot dan berat juga syarat-syaratnya. Tapi tak urung ada 100 peserta yang mendatangi Hasan Ali. Dan ke 11 anggota Dewan Juri pun jadi repot dan harus lebih hati-hati tentunya. Sebab di antara yang 100 pakaian asli harus ditentukan yang benar-benar asli. Agar jadi patokan untuk tahun-tahun berikutnya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus