Jembatan timbang masih diperlukan

Nama ''Pungli'' tampaknya sudah demikian melekat pada jembatan timbang. Dengan diaktifkannya kembali jembatan timbang pada tahun 1989 ternyata membawa berbagai konsekuensi. Sebagai Pangkopkamtib pada tahun 1982, Bapak Sudomo telah menutup hampir semua jembatan timbang yang ada. Salah satu alasannya adalah sarana yang ada hanya dipakai sebagai ''sarang'' pungutan liar ketimbang menjalankan fungsi utamanya, antara lain melakukan pengawasan di jalan raya terhadap kelebihan muatan. Memang logis bagi sopirsopir yang melanggar harus memberikan uang pelicin kepada petugas jembatan timbang, tetapi bagi pemilik truk yang beritikad jujur dan berupaya menaati peraturan sesuai dengan ketentuan yang ada tentunya menjadi resah. Soalnya, pungutan itu meningkat dari waktu ke waktu dan terasa mencekik. Bila tidak ikut melanggar, pemilik truk pasti tidak dapat bersaing, lalu akhirnya tergusur dari usahanya. Akhirnya dari pengusaha kecil sampai yang besar ikut melanggar. Semakin besar ''pelicin'' yang dikeluarkan oleh para pemilik truk ini makin besar pula pelanggaran yang dilakukan. Pelanggaranpelanggaran yang sedemikian tinggi ini merupakan cermin dari tidak berfungsinya sistem pengawasan yang ada. Sejauh ini Direktorat Jenderal Perhubungan Darat tampaknya belum mempunyai kiat bagaimana seharusnya sistem pengawasan yang efektif dapat dijalankan selama 24 jam di sekitar 40 pos atau lokasi jembatan timbang di Pulau Jawa. Mudahanmudahan tulisan ini sebagai bahan evaluasi apakah keberadaan jembatan timbang ini masih perlu dipertahankan. HARRY SUTANTO H. Jakarta