Suatu hari di Taman Ismail Marzuki (TIM) terjadi acara ''pengadilan'' sepihak. Sang terdakwa, Cak Nur, panggilan akrab Doktor Nurcholish Madjid, diberi waktu sepuluh menit saja untuk menjelaskan konsep pemikirannya. Itu menutut sikap rendah hati, penajaman persepsi, baik sangka, dan banyak sikap lagi yang harus dimiliki untuk mencapai yang diinginkan bagi kepentingan ''kedua pihak''. Mengapa kita yang merasa benar harus mencari jalan pintas seperti itu? Bukankah di dalam Islam kita diajarkan untuk bersikap berbaik sangka kepada orang, apalagi sesama muslim? Mengapa di dalam mencari kebenaran kita melibatkan persoalan pribadi masa lalu, mengapa ''jaket politik usang'' selalu digunakan dalam mencari persepsi? Saudara kami, marilah kita koreksi diri kita sendiri, sebelum melihat orang lain, coba kita melihatnya dengan melepaskan detak emosi yang tidak rasional. Nurcholish Madjid datang memenuhi undangan, itu sudah merupakan sikap kesatria (jangan salah persepsi lagi). Tapi kehadirannya kita sambut dengan sikap yang sangat tidak Islami, sambil -- setelah Cak Nur pulang -- salah seorang ''kiai'' di tempat diskusi tersebut melakukan ghibah, yang dalam Islam sangat dilarang. Bagaimana hal itu bisa terjadi pada kita yang mengklaim paling benar? iNauzubillahr. Saudaraku, mari kita coba membangun pikiran, membangun persepsi, atau kalau memang melakukan teguran, yang oleh Rasulullah pun dianjurkan dengan cara yang Islami, bukan dengan tanpa etika seperti yang kita lakukan. Mari kita lihat diri kita sendiri, apakah kita sudah lebih baik dari Nurcholish, yang setelah peristiwa itu mengatakan, ''Saya sangat mengerti, saya hanya dapat bertawakal ke Yang Paling Benar.'' Mana yang lebih Islami? Saudaraku, kalau boleh saya melihat, itu hanya persoalan daya persepsi, kita satu keimanan. KOKO KRESNO Jalan Tebet Utara IV A 26 Jakarta 12820
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini