Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa waktu lalu, Menteri Agama Munawir Sjadzali "menawarkan" perlunya negara mengatur ketentuan mengenai hukum perkawinan antaragama. Tawaran itu dikemukakan dengan alasan adanya kekosongan bidang hukum yang menyangkut soal itu (TEMPO, 25 Januari 1992, Agama). Barangkali kita semua sepakat bahwa pendapat itu boleh-boleh saja sepanjang tak merancukan kekosongan bidang hukum yang dimaksud Bapak Munawir dengan ketentuan- ketentuan mutlak (qath'i) dari agama (Islam). Tapi kebolehan itu bukan berarti kekosongan yang dimaksud oleh Menteri Agama itu telah terisi dengan jalan menggugurkan ketentuan agama yang sudah ada. Karena itu, patut dipertanyakan apakah tidak lebih baik mereka yang ingin mencari keabsahan perkawinannya dan seklaigus memperoleh legitimasi halal kembali merujuk kepada aturan-aturan agama saja. Karena persoalan yang diangkat Bapak Munawir adalah persoalan agama, tentu saja obyek hukumnya pun adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran dan tanggung jawab terhadap ketentuan agamanya. Atau, hukum itu sendiri dapat menyadarkan seseorang akan tanggung jawab terhadap ketentuan agama yang dipeluknya seperti yang terkandung dalam UU No. I/1974. Dalam Islam, ketentuan mengenai perkawinan seperti ini sangat jelas. Seperti tertera dalam Quran pada surat Al Baqarah ayat 221, Al Mumtahanah ayat 10, dan Al Maaidah ayat 5. Kalau demikian halnya, kita tidak saja menciptakan kondisi masyarakat yang taat hukum negara (UU No. I/1974), tapi juga akan menciptakan aturan baru yang bisa menimbulkan "kegaduhan", seperti yang terjadi pada tahun 1973-1974? Akhirnya, saya percaya bahwa tawaran Bapak Munawir itu di luar konsep rektualisasi-nya yang terkenal itu. Karena tanpa konsep itu pun, aturan-aturan agama mengenai perkawinan akan tetap aktual selama masih ada orang yang mau kawin. BADRUZZAMAN GHAZALI Jalan Kramat Jaya 2/22 Beji, Depok Utara 16421 Jawa Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo