Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Kekerasan Seksual di Kampus

Kekerasan seksual di kampus, pesantren, hingga pencegahan korupsi di lembaga pendidikan.

25 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekerasan Seksual di Pesantren

BARU-BARU ini ada berita Herry Wirawan, seorang pengasuh pesantren dan boarding school di Bandung, didakwa memerkosa 12 santrinya hingga hamil dan melahirkan. Menurut berita, setelah bayinya lahir, mereka dieksploitasi untuk mendapatkan sumbangan bagi sekolahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jaksa kabarnya akan memberikan hukuman berat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia meminta hakim tak hanya menjatuhkan hukuman 20 tahun penjara, tapi juga kebiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para korban Herry Wirawan mengalami trauma berat dan kesehatan mental mereka terganggu. Salah satu korban kekerasan seksual tersebut sampai berteriak ketakutan dan menutup telinga saat mendengar suara Herry dalam persidangan tertutup di Pengadilan Negeri Bandung beberapa waktu lalu.

Berkaca pada kasus ini, agaknya para orang tua perlu menimbang ulang rencana memasukkan anak mereka ke boarding school yang tertutup. Herry mengincar siswa dari kalangan tidak mampu dan membujuk mereka dengan menyediakan beasiswa. Mungkin ini modus yang umum. Karena itu, pengawasan terhadap lembaga pendidikan sejenis mesti ditingkatkan.

Sabina Nurjanah
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Mataram


Pencegahan Korupsi di Lembaga Pendidikan 

JUMLAH kasus korupsi di Indonesia meningkat tiap tahun. Hingga pertengahan 2021, ada 209 kasus dari sebelumnya 169 kasus. Korupsi marak terjadi baik di lingkungan pemerintah maupun di instansi pendidikan. Data Komisi Pemberantasan Korupsi 2015-2019 menunjukkan sekitar 86 persen pelaku korupsi adalah lulusan perguruan tinggi.

Pencegahan korupsi dapat kita lihat melalui teori fraud triangle. Dengan merefleksikan teori ini, korupsi dapat dicegah melalui pendeteksian kecurangan atau dugaan kejahatan yang bisa didukung peran serta pemerintah dan masyarakat.

Menurut Donald Cressey, ada tiga penyebab kejahatan korupsi: motif, kesempatan, dan rasionalisasi—pelaku membela diri dengan alasan yang netral dan rasional sehingga mereka tidak memiliki perasaan bersalah.

Menurut Yanuar Nugroho, mantan Deputi II Kantor Staf Kepresidenan, pencegahan korupsi pada era modern perlu dilakukan dengan cara yang canggih. Teknologi informasi dan komunikasi menjadi alat yang sangat berguna untuk memerangi korupsi.

Demikian juga peran serta masyarakat. Apabila menemukan indikasi korupsi di lingkungan sekolah, kini mereka dapat menyampaikan aduan atau keluhan melalui situs dan aplikasi Jaringan Pencegahan Korupsi Indonesia (Jaga) yang dibuat KPK. Jaga adalah bentuk implementasi e-government.

Masyarakat pun diharapkan turut berperan dengan memanfaatkan media sosial untuk membantu mengurangi kejahatan korupsi. Kampanye online telah diselenggarakan oleh Indonesia Corruption Watch sejak 2016 di platform Twitter dengan beberapa tanda pagar, seperti #GuruAntiKorupsi. 

Jihan Nuramalina
Mahasiswi Universitas Indonesia


Pelecehan Seksual di Kampus

KASUS pelecehan seksual sedang booming. Bisa dikatakan di Indonesia sedang terjadi krisis akal sehat. Berdasarkan data Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan 2021, angka kasus kekerasan seksual di ranah publik sekitar 55 persen dengan jumlah kasus sebanyak 962. Di antaranya 181 kasus pelecehan seksual. Survei Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan 27 persen kekerasan seksual terjadi di kampus.

Dengan banyaknya kasus kekerasan seksual, kampus belum aman dan diperlukan satuan perlindungan mahasiswa. Pelecehan seksual menjadi “fenomena gunung es” karena sikap permisif, tabu, dan normalisasi terhadap perbuatan tersebut. Padahal pelecehan seksual menyebabkan kondisi psikologis dan sosial mahasiswa terganggu.

Penyebab pelecehan seksual di kampus adalah power abuse, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk kepentingan pribadi. Laporan Komnas Perempuan menyebutkan mayoritas pelecehan seksual di kampus dilakukan oleh dosen terhadap mahasiswa. Power abuse berhubungan dengan budaya “patriarki”. Di kampus yang memiliki jajaran pengajar mayoritas laki-laki rentan terjadi aksi patriarki terhadap perempuan sebagai minoritas.

Kampus juga belum memiliki aturan yang jelas mengenai pelecehan seksual. Pelecehan di kampus umumnya terjadi karena dosen menggunakan relasi kuasa sehingga korban sulit melapor lantaran kampus belum memiliki aturan jelas mengenai tindakan tersebut.

Pelecehan ini terjadi karena pengawasan dan peraturan di kampus belum optimal. Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual dapat memberikan penegasan mengenai kasus pelecehan seksual, bukan hanya soal peraturan, tapi juga hukuman kepada pelaku yang setimpal dengan perbuatannya. Peraturan ini juga memberikan perlindungan dan dukungan kepada korban. 

Adhinta Najza
Mahasiswi Universitas Indonesia

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus