Kekhususan ilmu arsitektur

Saya ingin menanggapi surat tentang situasi pelaksanaan ujian negara teknik arsitektur di Kopertis V Yogyakarta (TEMPO, 30 Januari 1993, Kontak Pembaca). Persepsi pertama yang saya tangkap adalah si penulis surat itu memang betul-betul belum tahu apa dan seperti apa arsitektur dan pendidikannya itu. Untuk itulah saya ingin menyampaikan sedikit saran tentang masalah tersebut. Pendidikan arsitektur S-1 di Indonesia tidak dimaksudkan untuk melahirkan sarjana ''scientific'', tapi sarjana ''profesional'' (praktek desainer). Karena itulah urat nadi pendidikan arsitektur terletak pada mata ajaran ''studio''. Selain itu, dalam arsitektur, kita selalu mengacu pada norma dan menyesuaikannya dengan kasus atau persoalan yang dihadapi. Bila norma (standar) saja yang dipakai, karya arsitektur akan tampak kering, kaku, tanpa kreativitas. Kita semua tahu bahwa peraturan ujian negara cicilan bersifat umum untuk semua bidang ilmu. Karena mata pelajaran ''studio'' adalah mata pelajaran kunci dalam pendidikan arsitektur, mata pelajaran itu perlu ''diujikan'' (setahu saya, tugas akhir studio mahasiswa arsitektur PTS di wilayah Kopertis V bukanlah mata kuliah yang diujikan, melainkan tugas studio yang menghasilkan ''surat puas''). Menurut saya, kita perlu menerima aturan tambahan yang berkaitan dengan ''kekhususan'' tertentu yang merupakan jiwa kita bersama (demi kebanggaan ilmu arsitektur). Saya kok akan merasa sangat tidak bangga bila harus lulus sebagai arsitek tanpa lulus ''studio''. ACHMAD DJUNAEDI Perumahan Sidoarum Yogyakarta