Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapa Sulit Memberantas Korupsi
MEMBACA surat Bapak Samesto Nitisastro di Tempo edisi 10-16 Februari 2025, terdapat hal-hal yang menarik, khususnya kalimat “Celah kebocoran yang harus benar-benar ditutup terdapat pada belanja barang dan pengadaan proyek pekerjaan”. Jika ada pembaca atau orang lain yang pesimistis, saya salah satunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan karena saya ragu akan kemampuan Presiden Prabowo Subianto, tapi karena hal tersebut sudah lama terjadi, sistematis, dan masif. Kalau kita memperhatikan perkembangannya dari tahun ke tahun, sepertinya makin meningkat, terutama modusnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu sistem tender masih dilakukan secara manual, memungkinkan pertemuan fisik antara panitia lelang atau pihak yang berwenang dan penyedia jasa, sehingga mungkin terjadi kolusi. Sekarang tender pengadaan barang dan jasa sudah dilakukan secara elektronik. Namun, ibarat pagar, dibuat rendah agar mudah dilompati, dibuat tinggi tapi disediakan celah untuk diterobos.
Menurut saya, pencegahannya tidak cukup dengan bersuara lantang: “Siapa pun yang melakukan korupsi akan ditindak tegas”. Kalimat itu sudah lama sekali dilontarkan. Tidak cukup hanya membenahi sistem atau memasang banyak “jerat”. Masalahnya, hal itu terjadi karena perilaku atau mental seseorang.
Maryono
Semarang
Tagar #KaburAjaDulu
TANDA pagar #KaburAjaDulu masih trending di media sosial. Kedua anak saya pada saat ini sedang merantau ke luar negeri untuk menempuh studi lanjutan. Anak laki-laki saya yang berumur 28 tahun sudah masuk tahun ketiga di National Taiwan University of Science and Technology di Taipei. Sedangkan anak perempuan saya yang berusia 25 tahun baru menempuh tahun pertama di University of Glasgow, Skotlandia.
Mereka paham betapa tidak mudah mencari kesempatan kerja di negeri sendiri, terutama yang sesuai dengan disiplin keilmuan. Mereka sudah mengalami sendiri betapa sulit dan pahitnya mencari peluang. Sering kendalanya adalah masalah nonteknis. Karena itu, sudah muncul pemikiran dan niat mereka mengejar karier di luar negeri. Apakah nanti mereka akan memilih menjadi diaspora, tentu keputusan ada pada mereka sendiri.
Fenomena semacam ini banyak sekali terjadi. Saya punya banyak teman dan anggota keluarga dekat yang anak-anaknya sudah menyelesaikan studi S-2 dan S-3 memilih tidak pulang ke Indonesia. Di luar negeri, kesempatan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan disiplin keilmuan terbuka lebar, karier yang bagus menanti, dan tentunya ada penghasilan yang bagus. Kita patut berbangga karena anak-anak Indonesia terkenal pintar, cerdas, dan tekun.
Namun pemerintah tidak menganggap hal tersebut masalah serius. Bahkan para petinggi negeri ini mempunyai jawaban dan penjelasan yang berbeda setiap kali ada yang menanyakan masalah tersebut. Sudah begitu jawabannya banyak yang seperti main-main dan cenderung menyepelekan.
Jangan ragukan nasionalisme anak-anak Indonesia dan kecintaan mereka terhadap negeri sendiri. Mereka dengan senang hati kembali dan mengabdi di Indonesia apabila tersedia kesempatan yang sesuai. Karena itu, kepada para petinggi negeri ini, cobalah menanggapi secara serius tagar #KaburAjaDulu dan lakukan tindak lanjut.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Kepercayaan Publik kepada Danantara
TARGET Indonesia Emas 2045 tinggal 20 tahun lagi. Dua jargon yang sering dilontarkan dalam berbagai narasi publik adalah Indonesia Emas 2045 dan bonus demografi. Mari kita lihat Cina.
Deng Xiaoping adalah tokoh utama awal pembaruan Cina pada 1978. Kemiskinan adalah gambaran masa itu. Kekuatan pertumbuhan ekonomi terletak pada kemampuan mengubah kehidupan masyarakat ke arah lebih baik. Kajian menyeluruh ada dalam buku Keyu Jin, The New China Playbook: Beyond Socialism and Capitalism. Sebaliknya, mari lihat Malaysia.
Ketiadaan watak kenegarawanan mantan perdana menteri Najib Razak membuka skandal penipuan 1MDB. Skema penipuannya melibatkan penggelapan dana investasi negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan proyek-proyek lain. Namun dana tersebut malah digunakan untuk kepentingan pribadi Najib dan kroninya. Skandal ini telah menyebabkan kerugian negara Malaysia sekitar Rp 165 triliun.
Pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara tidak cukup hanya dilakukan dengan tepuk tangan saat pidato dan publikasi. Harus diakui di Indonesia, dalam sepuluh tahun terakhir, kita disuguhi berbagai hal yang bersifat fisik semata untuk menggambarkan keberhasilan. Faktor pembinaan manusia terabaikan. Beragam peristiwa penyimpangan perilaku sampai kriminalitas yang berat setiap hari menjadi berita di berbagai media.
Semua yang terlibat dalam pengelolaan Danantara harus bebas dari masalah serta teruji dan diakui integritasnya melalui rekam jejak, tentu juga memiliki kompetensi yang teruji. Benturan kepentingan dan rekam jejak yang tidak bersih mengurangi kepercayaan masyarakat, hal yang harus dipertimbangkan matang karena menyangkut jumlah dana yang luar biasa besar.
Pasar tidak bisa diatur dengan perintah. Koran Tempo dalam sebuah tulisan kolom ekonomi menggambarkan hal ini. Mayoritas saham badan usaha milik negara melemah pada hari peluncuran resmi Danantara. Pasar khawatir Danantara membuat keputusan investasi secara terpusat dan dipengaruhi kepentingan politik.
Jika Danantara tidak dikelola profesional, ada risiko investor asing menarik dana dari pasar saham Indonesia dan surat berharga negara. Tempo edisi 17-23 Februari 2025 membuat satu kalimat yang tepat: “Danantara memerlukan para profesional yang tak mudah goyah oleh godaan uang dan kekuasaan. Di sini kredensial dan kepercayaan publik berawal.”
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta Pusat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo